Santri Cendekia
Home » Wahai Muslim Beda Harakah, Menikahlah!

Wahai Muslim Beda Harakah, Menikahlah!

Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua) yang diusung oleh bapak proklamator Soekarno dan Hatta yang merupakan pondasi persatuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Bak kata-kata “Abrakadabra”, Bhineka Tunggal Ika ternyata juga dapat menjadi simbol untuk memunculkan suatu hal yang sangat menakjubkan. Persatuan. Ya, persatuan adalah suatu hal yang sangat menakjubkan. Tidak main-main, semboyan ini bahkan dapat menyatukan 1340 suku dengan 1211 bahasa dengan berbagai adat dan watak yang berbeda menjadi satu kesatuan NKRI. Simbol ini dapat menyatukan Suku Sunda dan Jawa yang konon penuh dengan perseturuan, Suku Batak hingga Suku Arfak, Amungme, Dani, dll yang berada di daerah Papua untuk bersatu mengumandangkan Indonesia Raya. Absolutely Amazing!

Beralih dari Indonesia ke agama Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia. Islam di Indonesia memiliki beragam kelompok ataupun ormas mulai dari Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis, FPI, Tarbiyah, Salafy dll. Kelompok ini semuanya merupakan kelompok yang bernafaskan Al-Quran dan Sunah nabi Muhammad SAW. Selaras dengan Bhineka Tunggal Ika, dalam agama Islam terdapat ayat senada termaktub dalam surat Ali Imron ayat 103 yang artinya:

“Berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…”.

Atau surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya:

Wahai manusia! Sesungguhnya kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…”.


Sayangnya, melihat realita yang ada di Indonesia, kedua ayat hebat ini belum bisa memiliki impact yang dahsyat sebagaimana Bhineka Tunggal Ika. Tanpa maksud meremehkan kedua ayat ini -na’udzubillahi min zalik- para ustad, kyai, ulama Indonesia tampak seperti gagal untuk mempersatukan umat muslim Indonesia. Jangankan mempersatukan umat muslim Indonesia, mempersatukan dua ormas terbesar (Muhammadiyah dan NU) saja tampak kesulitan sekali. Seolah tidak menggubris dua ayat diatas, keduanya terlihat sering kali berselisih –bahkan di media masa-, yang tak jarang menimbulkan ketegangan dikalangan pengikutnya. Diakui atau tidak. Kemudian muncul pertanyaan yang mengusik jiwa umat muslim,

Baca juga:  Historifobia: Penyakit di Balik Buntunya Upaya Perdamaian di Bumi Palestina

Apakah kedua ayat ini tidak memiliki power yang begitu kuat, sehingga justru terlihat kalah dengan simbol buatan manusia berupa Bhineka Tunggal Ika? Ataukah kita terlalu asyik dengan ego kita dan menganggap diri kita adalah golongan paling benar –dan yang lain salah-, lalu merasa paling berhak masuk kedalam surga Allah dan meganggap yang lain golongan neraka? Seolah diri kita sudah berani menjamin bahwa kita pasti masuk surga dan yang lain ke neraka. Seolah kita berani mengambil alih hak Allah Swt?

Hampir semua ormas diatas, mengatakan bahwa mereka adalah pejuang kalimat Allah. Tapi anehnya, (misal) ketika ada saudara dari NU maju dalam suatu bidang, ada saja oknum Muhammadiyah, Salafy atau yang lainnya merasa tidak suka, dengki dan atau justru malah menjegalnya. Begitu juga sebaliknya. Ketika ada dari golongan Muhammadiyah mengalami kemajuan, ada saja oknum dari golongan yang lain yang merasa iri dan parahnya juga ikut menjegal. Dengan begini, wajar jika muncul pertanyaan, “Sebenarnya, para kelompok itu sedang memperjuangkan kalimat Allah atau kalimat ormas? Jika memang mereka  sibuk memperjuangkan kalimat Allah, tentu mereka akan bahagia dan mendukung ketika teman sesama pejuang penegak kalimat Allah mengalami kemajuan”.

Tak heran jika kemudian ada sebuah penelitian yang membuat muslim menelan ludah pahit. Penelitian dari George Washington University tentang “Seberapa Islami Negara Islam” yang kemudian menempatkan negara-negara islam di urutan belakang. Indikator yang dipakai bukanlah ritual ibadah, akan tetapi nilai-nilai islam seperti persatuan, kebersihan, anti-korupsi, ekonomi, politik dll. Dari 208 negara yang disurvey, 56 negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Kerjasama Islam) menempati rata-rata peringkat 139 dengan Malaysia (38), Kuwait (48), Arab Saudi (131), Indonesia(140), Pakistan (147), Somalia (206). Peringkat pertama justru ditempati Selandia Baru menyusul Luksemburg (negara yang mungkin bagi sebagian orang baru pertama kali mendengarnya). AS yang banyak dihujat kaum muslim justru peringkat ke 25, Australia (9), UK (8) dan Kanada (7). Sedih? Jelas. Tidak terima dengan hasil riset? Kita boleh membuat riset tandingan jika mau. Tapi yang jelas, kita harus mengambil hikmah dari penilitian ini.

Baca juga:  Ini Tema-tema yang Akan Digodog di Munas Tarjih 2020

Senada dengan riset diatas, banyak ulama, kyai mengatakan hal yang serupa. Misal saja Muhammad Abduh yang mengatakan (kurang lebih), “saya melihat Islam di Eropa meski tidak melihat muslim, dan saya justru tidak melihat islam di Timur Tengah meski banyak melihat muslim”.

Tak usah jauh-jauh kita menyalahkan AS, Eropa, Rusia dll sebagai dalang pecah dan hancurnya umat Islam, karena sejatinya kita sendirilah yang menjadi dalangnya. Kita dengan ego ketidak mauan kita untuk bersatu. Sejarah mencatat, bangsa ini menang melawan penjajah dengan bamboo runcing yang secara logika tidak mungkin menang melawan senapan. Hal itu tidak lain karena mereka bersatu.

Maka, ormas dan jamaah kaum muslimin, mulai dari Muhammdiyah, NU, Persis, Tarbiyah, Salafy, dan lainnya bagaikan kedua sayap bagi Islam Indonesia. Jika sayap kanan mencoba untuk menjatuhkan sayap kiri (atau sebaliknya), jangan harap Islam di Nusantara bisa berkemajuan dan berjaya. Dan dengan sayap yang saling menjatuhkan, jangan harap Burung Garuda akan terbang tinggi di angkasa. Fitrah kita diciptakan untuk berbeda, oleh karena itu bersatu tidak harus sama. Bersatu adalah permasalahan menghargai sesama. Berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Salah satu jalan mengharmoniskan kepak sayap-sayap itu adalah dengan penggalakan dialog dalam wadahnya yang paling intim; pernikahan. Konon, Ahmadinejad saking bingungnya akan perselisihan antara Syiah dan Sunni yang semakin meruncing, membuat sebuah peraturan yang intinya akan memberikan hadiah kepada siapa saja yang mau menikah cross-ideologi alias nikah antara sunni dan syiah. Hal ini dilakukan agar clash antar ideologi bisa berkurang.

Ide ini menarik untuk diadopsi oleh Indonesia, agar ikatan ke-Indonesia-an antar bangsa lebih kuat dan tidak gampang goyah. Pernikahan anak Amin Rais yang cross antara NU-Muhammadiyah atau anak pak Jokowi (Kahiyang-Bobby) yang cross Solo-Batak, bisa menjadi solusi untuk memperkuat hubungan kebangsaan dan tidak menonjolkan primordialisme. Nice example dari tokoh bangsa kita.

Baca juga:  Video Katy Perry Menghina Islam? Hadapi Sesuai Tuntunan al-Qur'an

Meskipun ini akan memeperkuat persaudaraan kita,  sayangnya, menurut penulis, persatuan kita sekarang terkoyak bukan karena premodialisme, tapi lebih kepada ketidakadilan baik dalam hukum maupun (bahkan) sejak dalam berfikir. Inilah yang mesti diselesaikan jika kita ingin persatuan yang didamba itu benar-benar terwujud.

Wahai umat Islam. Ayo Bersatu! Wallahu a’lam bisshawab.

Penulis: Alda Kartika Yudha

 

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar