Santri Cendekia
Home » Menimbang Pemikiran M. Amin Abdullah (2)

Menimbang Pemikiran M. Amin Abdullah (2)

Pendekatan kesejarahan hingga gerak lingkar Hermeneutis

Dalam memahami epistemology keilmuan, Amin Abdullah tidak membatasi diri pada pertanyaan “bagaimana memperoleh pengetahuan saja?” akan tetapi pengetahuan yang dimungkinkan oleh manusia tidaklah sama antara periode saat ini dengan periode seratus-dua rahun lalu, maka perlu juga memahami pengetahaun berdasarkan pada periode kesejarahan yang menjadi latar belakang, backround, sketsa lingkungan, dimana ilmu dilahirkan. Pendekatan kritis terhadap sejarah juga tetap digunakan, bahwa dalam hal ini, semua ilmu yang merupakan hasil dari pemikiran manusia, tidak hanya pada wilayah filsafat, ilmu kedokteran, tetapi juga termasuk ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu kalam dan ilmu fiqh semua harus terbuka pada kritik, falsifikasi, koreksi sesuai dengan kaidah dan metodologi ilmu-ilmu sosial lain, sebagaimana pendapat Arkoun bahwa ilmu keislaman harus qābilun li al-niqāasy wa at-taghyīr, bisa diperdebatkan serta diubah. Maka, Amin Abdullah juga mengoreksi pandangan para penafsir al-Quran yang kurang memanfaatkan asbab al-nuzūl yang berkembang dalam tradisi ulūm al-Quran untuk mengetahui sebab-musabab turunnya ayat. Tetapi, ia mengkritik, bahwa konsep itu belum sepenuhnya digunakan, karena pemikiran yang dominan adalah penafsiran bersifat lexiografis, kata per kata, kalimat per kalimat, bahkan tanpa peduli secara penuh terhadap konsep asbab al-nuzūl yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi ulūm al-Quran sendiri. Asbab al-nuzūl sebenarnya mengandung makna bahwa al-Quran merupakan kitab suci yang bersifat historis, terbuka, sehingga peluang dialog juga akan terbuka lebar, sedangkan penafsiran lexiografis berpotensi menjadikan umat Islam eksklusif, tertutup, serta menolak adanya peruabahan dan kemajuan dalam pemikiran. Tidak hanya terhadap penafsiran al-Qur’an, pemaknaan terhadap hadist menurut Abdullah pun bercorak tertutup, sehingga tampak kaku, beku. Begitu juga dalam ranah keilmuan lain seperti Kalam, Fiqh, Filsafat dan Tasawwuf. Kalam dan fiqh yang Nampak sangat kering dan formal di satu sisi, dan filsafat yang terlalu rasional di sisi lain, menyebabkan keduanya kurang behubungan secara harmonis, sehingga menepikan dimensi dzauq dan hati dalam tasawwuf (Abdullah, 2006: 136-145).

Pendekatan sejarah yang digunakan Amin Abdullah, sedikit banyak memiliki kesamaan dengan pendekatan historis yang digunakan Jasser Auda (2007) dalam mengembangkan teori ushul al-fiqh, karena barangkali terinspirasi darinya. Amin Abdullah membagi fase sejarah menjadi tiga, yaitu: Tradisional, Modern, dan Post-Modern. Pertama, pada fase sejarah tradisional (pra-modern), pemikiran-pemikiran keislaman yang berkembang sangat terbatas pada konteks serta setting sosial kala itu. Sehingga pendekatan epistemologis yang digunakan pun terbatas, sempit, terkotak-kotak, bahkan sectarian, sehingga pemahaman yang terutup seperti ini sangat berpotensi pada konflik antar komunitas muslim. Abdullah (2008) mengungkapkan bahwa dalam masa tradisional, ilmu keislaman yang lahir disebut sebagai Ulūm ad-Dīn. Ilmu ini diantara didominasi oleh corak pemikiran kalam, fiqh, tafsir, nahwu, farāidh dan cabang ilmu yang berkaitan dengan pendekatan tekstual-skriptual-deskriptif. Secara epistemologis, dengan mengutip Abid al-Jabiry, Amin Abdullah menyatakan bahwa dalam Ulūm ad-Dīn masuk ke dalam kategori epistemology bercorak Bayāni; berpedoman pada teks-teks keagamaan (tektsual), tanpa saling dialog dengan epistemology burhāni apalagi ‘irfāni.

Kedua, fase modern. Pada masa sejarah ini pemikiran keislaman tidak lagi bertumpu pada teks semata, tetapi juga bertumpu pada ayat kauniyyah, sehingga pendekatan yang digunakan pun cenderung kea rah filosofis-scientifik, mempertimbangkan adanya hubungan kausalitas (sebab-akibat), bersifat demonstrative, ekploratif, verivikatif dan ekplanatif. Pada masa ini, akal (rasio) digunakan dalam upaya memberikan pemahaman pemikiran keislaman. Amin Abdullah menyebut kluster ilmu yang lahir dari fase modern ini dengan Al-Fikr Al-Islamiy (Islamic Thought). Masa transisi dari Ulūm ad-Dīn ke Al-Fikr Al-Islamiy juga tidak berlangsung mudah, sebab masih banyak kalangan pecinta Ulūm ad-Dīn yang terus memperdebatkan bahkan mencurigai akal. Apalagi pendekatan yang dilakukan Al-Fikr Al-Islamiy merupakan pendekatan historis, kritikal, sehingga membuat pendukung ‘ulum ad-dīn terkejut dan bersikap reaksioner. Pendekatan yang bersadar pada metode saintifik menjadikan burhāni menawarkan pemahaman yang utuh-komprehensif, non-sektarian, dan tidak sempit (Abdullah, 2006: 203-17; & 2008).

Perkembangan sejarah, dengan segala perubahan dan proses yang dinamis mengarahkan pada pertumbuhan kluster ilmu baru, yaitu Dirasāt Islamiyyah., dimana berkembang dalam fase/masa post-modern. Berbeda dari dua kluster keilmuan sebelumnya, metode yang digunakan dalam Islamic Studies ini semakin komprehensif, karena bertumpu pada metode historis-empiris-ilmiah, studi komparatif, dan pengamatan lapangan. Metode keilmuan lain seperti psikologis, antropologi, sosiologi dan sejarah juga dipadukan dalam kluster keilmuan ini, karena penelitian dan observasi lapangan sangat penting dalam memahami keilmuan Islam secara komprehensif . Kluster keilmuan ini tidak sebatas pada bayani-tekstual-subjektif dan burhani-objektif, tetapi mengarah kepada intersubjektif, yang mencoba menggabungkan antara epistemology bayani-burhani-‘irfani dengan harmonis.

Baca juga:  Fikih al-Maun; Membela Mustad’afin, Mengusir Hantu PKI
bagan sejarah
Sumber: (Abdullah, 2013b)

Gambar (kurva) di samping menunjukkan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam tiga masa, tradisional-modern-postmodern, yang dihubungkan dengan tiga kluster keilmuan, merupakan representase dari fase kesejarahan, yaitu Ulum ad-Din fase tradisional, al-fikr al-Islamiy fase modern dan Dirasat Islamiyyah (islmic studies) representase dari fase postmodern. Ketiganya mempunyai hubungan yang bisa disebut tidak begitu harmonis, karena keinginan masing-masing pegiat ilmu tersebut untuk mempertahankan dan menyerang kluster keilmuan lain. Selain itu, perbedaan yang terjadi antara ketiganya juga disebabkan karena adanya pendekatan epistemology yang berbeda; epistemology bayani misalnya masih menganggap metodologinya-lah yang paling valid, dan menyalah-curigai apistemologi lain (burhani dan ‘irfani), begitu juga pada burhani yang mencurigai bayani dan ‘irfani. Dalam pola hubungan tadi, tampak setiap epistemolgi berjalan sendir-sendiri tanpa ada hubungan-komunikasi dan dialog antar ketiganya. Hubungan semacam itu disebut Amin Abdulah sebagai pola hubungan parallel. Pola hubungan lain, yaitu linier, yang menganggap bahwa salh satu dari ketiga epistemology itu akan mejadi primadona, mendominasi, menghegemoni pendekatan lain. Epistemology yang dipilih dianggap paling baik, benar, the best antara yang lain sehingga akan mendogma-kan pilihan epitemologi tersebut (truth claim). Kedua pola hubungan tersebut akan berujung pada pertikaaian bahkan stagnasi pemikiran, karena tidak ada nya proses take and give yang dilakukan ketiganya. Maka, beliau menawarkan model hubungan ketiga, yang disebut pola hubungan sirkuler atau al-Ta’wil al-‘Ilmiy, dalam arti bahwa ketiga corak epistemology itu mempunyai keterbatasan dan menyadarinya sehingga membutuhkan manfaat dari kelebihan epistemology lain, sehingga mampu memperbaiki segala kekuarangan yang melekat dalam tradisi epistemology-nya sendiri. Tidak ada truth claim, merasa paling primadona diantara yang lain. Corak hubungan bersifat melingkar, berputar sehingga tidak adanya finalitas, on going process, selalu terbuka pada kritik, dan perbaikan (Abdullah, 2006: 215-24).

Baca juga:  Menimbang Manfaat dan Mudharat E-Cigarette/Vape (II)

untitled

Inilah ilustrasi Amin Abdullah untuk menjelaskan, apa yang beliau sebut dengan al-Takwil al-Ilmiy, dimana ketegangan antata dimensi normative ilmu, yang dalam istilah Lakatos disebut sebagai hardcore; normal science oleh Kuhn dan historisitas-empiris (revolutionary sciences; protective belt) bisa dijembatani dengan mendialogkan, mengkomunikasikan mereka pada wilayah epistemologis—baik bayani, burhani maupun ‘irfani—yang senantiasa saling menyadari keterbatasan masing-masing dan mengakui kelebihan epistemology lain, senatiasa mengoreksi terbuka pada kritik dan perubahan mengarah pada kemajuan (idea of progress).

Dalam wilayah ini pula, menurut saya, corak integrative-interkonektif Ian G Barbour dan Holmes Rolston III sebagaimana dikutip Amin Abdullah (2013a: 9-20), yaitu semipermeable, intersubjektive testability, dan creative imagination. Semipermeable yang dimaknai sebagai hubungan saling menembus antara satu ilmu dengan disiplin imu lain dalam wilayah epistemologis sangat diperlukan, agar dapat mengarahkan kepada hubungan dialog dan integrative. Dengan memakai al-Ta’wil al-‘Ilmiy, proses perembesan ini dapat berlangsung dengan harmonis. Jika rambu awal itu sudah dilakuakan akan mudah juga untuk melakukan intersubjektive testability guna melakukan validitas intersubjektif, sebagaimana pendekatan ‘irfani, yang tidak lagi bertumpu pada binary subjektif-objektif tetapi mengarah kepada intersubjektif, sehingga para pegiat keilmuan (dengan epistemologinya) harus mampu menjadi actors-cum-spectators. Hal itu perlu didukung dengan rambu creative imagination yang mementingkan imajinasi creative, bagaimana mendialogkan ketiganya dengan baik, sehingga akan tercipta kemashlahatan bukan menambah permasalahan. Melalui imajinasi creative ini diharapkan para pegiat disiplin ilmu mampu merangkai dari berbagai pendekatan berbeda menjadi satu kesatuan pemahaman utuh dalam menelaah permsalahan sosial yang muncul.[1]

 

Bersambung …..

[1] Pembahasan ini juga dibahas lebih dalam pada bagian awal buku Membuka Pintu Intelektulitas: Perbincangan Pemikiran creative-minority (2015).

Baca juga:  Millah Kekufuran (Al-Baqarah 120 part 2)

 

Arif Widodo

Masih belajar membaca dan menulis.

1 komentar

Tinggalkan komentar