Santri Cendekia
Home » Meninjau Ulang Gagasan Waris Satu Banding Satu (Bagian 1)

Meninjau Ulang Gagasan Waris Satu Banding Satu (Bagian 1)

Salah satu hukum fikih Islam yang selalu diserang dan dianggap misoginis adalah permasalahan kewarisan dimana yang dilihat hanyalah satu ayat al-Quran Surat an-Nisa: 11

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ

Artinya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.

Jika dilihat sejenak maka ayat ini memang terlihat tidak adil bagi wanita. Argumen yang dipakai biasanya adalah pembagian 2:1 bertentangan dengan konsep maslahah (kemaslahatan) wanita.

Selain itu, tentunya rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat dimana ada perasaan tidak rela ketika wanita mendapatkan setengah bagian, sedangkan kontribusi terhadap orang tua terkadang justru lebih besar daripada anak laki-laki.

Apalagi jika anak laki-lakinya dimisalkan sudah sekolah sampai S3 ke luar negri dan mendapatkan istri yang juga S3 dan memiliki ekonomi yang baik, sedangkan saudari perempuanya hanya sekolah sampai SMA karena harus menemani orang tua, dan kemudian juga mendapatkan suami dari golongan yang sama. Apakah kemudian waris 2:1 bisa dikatakan adil?

Maka sebelum masuk ke wilayah progresif-moderat-berkeadilan atau tidak, mari kita lihat bagaiamana hukum Islam sejatinya berkaitan satu sama lain.

Pada kenyataanya hukum kwarisan Islam hanyalah salah satu aspek dari banyak aspek yang ada dalam hukum keluarga Islam. Sehingga, keadilan yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam, tidak bisa dan tidak boleh dilihat dari satu aspek masalah saja, yaitu masalah perbandingan bagian waris laki-laki dan perempuan.

Keadilan harus dilihat dari seluruh aspek yang berkaitan yang ada dalam hukum keluarga Islam, seperti kewajiban mahar, kewajiban nafkah kepada istri, anak, orang tua, dan kerabat perempuan, dan bahkan kewajiban nafkah kepada istri ketika suami meninggal (ketika suami meninggal, disyariatkan ada sebagian harta yang diwasiatkan untuk nafkah setahun istri yang ditinggal, dan tidak berlaku sebaliknya QS al-Baqarah; 240).

Baca juga:  'Memberadabkan' Islam: Bias dan Beban Sejarah Feminisme

Dari presmis diatas, selain argument bahwa menurut mayoritas ulama (bisa dikatakan ijma’ juga) ayat tentang waris adalah ayat yang sudah qat’i baik dari segi tsubut-nya maupun dalalah-nya, argument logic-nya adalah sebagai berikut:

Jika konsep kewarisan diubah menjadi 1:1 atas dasar keadilan, maka seharusnya pandangan kita mengenai mahar dan nafkah juga harus direkontruksi ulang. Artinya, mahar dan nafkah seharusnya bukan menjadi kewajiban laki-laki lagi.

Lalu jika sudah tidak ada kewajiban mahar dan nafkah, tentunya hak talak dan juga hak suami untuk mendapatkan ketaatan istri juga seharusnya berubah. Mudahnya, jika permasalahan waris ini harus direkontruksi ulang, maka sudah seharusnya, semua hukum yang memiliki kaitan dengan hukum kewarisan (dan bisa jadi semua aspek dalam hukum keluarga Islam) juga harus direkontruksi ulang.

Hal ini dikarenakan merubah satu aspek dalam hukum keluarga akan menyebabkan efek domino dengan munculnya ketidakadilan dalam aspek lainya.

Persoalan Mahar

Pada kenyataanya, tidak semua Muslimah dunia, itu seperti Muslimah Indonesia yang masya Allah, merupakan Muslimah terbaik karena sedikitnya mahar yang mereka minta. Banyak Muslimah Indonesia yang mau dinikahi hanya dengan mas kawin seperangkat alat shalat saja.

Di tempat lain, ada yang maharnya bernilai ratusan juta. Bahkan jika melihat mahar Nabi kepada Khadijah, yaitu 20 ekor unta terbaik, dimana jika unta tersebut dihargai 50 juta perekor (ada yang berpendapat unta terbaik jenis mahar nabi jika dikonversikan adalah seharaga 50 juta per ekor), maka maharnya adalah 1 Milyar!

Itu baru mahar, belum biaya resepsi pernikahan atau uang adat semacam uang panai yang juga tidak murah.

Persoalan Nafkah

Salah satu alasan kenapa laki-laki mendapatkan jatah dua bagian adalah beban nafkah. Tidak hanya pada dirinya sendiri, akan tetapi kepada istri, anak-anaknya, orang tuanya jika sudah tidak mampu, dan saudari perempuanya yang belum ditanggung orang lain.

Baca juga:  Mengapa Orang Pandai pun Bisa Keselek Klepon?

Disisi lain, perempuan dalam Islam, tidak memiliki kewajiban yang berkaitan dengan nafkah. Jika kita menganggap bahwa 1:1 adalah cara pembagian yang adil, maka seharusnya laki-laki juga dibebaskan dari kewajiban ini. Karena tidak adil bagi laki-laki ketika haknya diambil, tapi kewajibanya tetap ada.

Maka nantinya, secara sosial tidak boleh ada lagi kata-kata “laki-laki tidak bertanggungjawab” ketika ada suami tidak menafkahi istri dan anak-anaknya.

Karena hal itu bukan lagi menjadi kewajibanya. Maka menjadi tidak fair, ketika soal waris, ada perempuan yang minta disamakan, akan tetapi, ketika urusan nafkah juga dibebankan kepada laki-laki.

Jika banyak perempuan karir yang merasa mampu menafkahi dirinya sendiri dan tetap meminta bagian 1;1, maka silahkan dibayangkan nasib wanita yang hanya dirumah yang jumlahnya bisa jadi jauh lebih banyak daripada perempuan yang mempunyai pekerjaan.

Karena jika hukum 1:1 disahkan, maka hal tersebut akan berlaku universal, untuk semua kalangan laki-laki dan wanita.

Dalam hukum waris Islam, bukanlah hal rahasia ketika dikatakan bahwa dua jatah laki-laki, digunakan untuk bersama, sedangkan satu jatah perempuan adalah milik seorang. Suami, bahkan anak sekalipun tidak punya hak untuk minta.

Adapun, kenyataan dimana banyak perempuan yang membantu kewajiban nafkah suaminya, hal itu adalah bentuk kemuliaan pribadinya.

Dari sini dapat dilihatnya, sebenarnya, jika pembagianya 1:1 disahkan, hal ini justru menguntungkan bagi pihak laki-laki. Sudah tidak perlu hamil, menyusui, memberi mahar, dan tidak pula wajib menafkahi.

Adapun jika pada kenyataanya ada laki-laki yang hanya mau menerima waris akan tetapi tidak mau bertanggungjawab atas nafkah keluarga, maka hal itu yang harus dikecam, bukan hukum warisnya.

***

Bersambung ke bagian 2: Meninjau Ulang Gagasan Waris Satu Banding Satu (Bagian 2)

Alda Yudha

Muallimin Yogyakarta, Univ. Al-Azhar, UIN Sunan Kalijaga, UII Yogyakarta || Saat ini jadi Mahasiswa PhD Frankfurt Goethe University

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar