Santri Cendekia
Home » Menjadi Wanita yang Solutif

Menjadi Wanita yang Solutif

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

            Segmen kali ini, ijinkan penulis untuk menyajikan kisah seorang wanita hebat yang ditakdirkan menjadi pendamping pertama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan akhirat, Bunda Khadijah. Kisah wanita mulia yang bisa menjadi inspirasi yang luar biasa bagi para muslimah.

            ketika Rasulullah dengan langkah gontai dan payah berjalan dari tempatnya bertahannuts di Gua Hira. Setelah beliau menerima Wahyu pertamanya melalui jibril ‘alaihissalam, beliau begitu ketakutan dan kebingungan. Ketika beliau sampai di rumah, Khadijah yang melihat keadaan Rasulullah yang saat itu pucat dan hanya mampu berkata, “Selimutilah aku, selimutilah aku”, tanpa banyak bertanya dengan sigap tapi lembut membiarkan Rasulullah untuk segera merebahkan diri di dalam pangkuannya. Khadijah paham bahwa saat ini, suaminya tercinta tidak dalam kondisi siap untuk menerima berbagai macam pertanyaan. Yang beliau butuhkan saat ini hanyalah ketenangan.

       Setelah agak tenang, Rasulullah memulai ceritanya kepada Khadijah. Rasulullah bercerita tentang pertemuannya dengan Jibril. Rasulullah saat itu takut bahwa beliau terkena gangguan dari syaithan atau jin. Khadijah yang tahu betul tentang kemuliaan suaminya itu, mengeluarkan perkataan indah yang terus direkam oleh berbagai macam penulis sirah, “Demi Allah, Janganlah engkau bersedih. Allah tidak akan menghinakanmu, karena engkau selalu menyambung silahturahim, menolong fakir miskin, menghormati tamu dan membantu orang-orang yang tertimpa musibah”. Setelah itu Khadijah teringat akan sesuatu, beliau ingat sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal, seorang nasrani dan ahli kitab. Khadijah berpikir mungkin Waraqah tahu akan suatu hal tentang apa yang menimpa Rasulullah di mala mini.

Baca juga:  Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 2)

          Keesokan harinya, Khadijah dan Rasulullah pun menemui Waraqah. Setelah Rasulullah menceritakan semuanya, Tanpa ragu, Waraqah langsung berucap, “Quddus..Quddus..Itu adalah an-Namus yang dulu datang kepada Musa. Duhai sekiranya saat itu aku masih kuat. Sekiranya waktu itu tiba aku masih hidup. Waktu ketika kaummu mengusirmu”. “Apakah aku akan diusir?” tanya Rasulullah ﷺ menyambar penjelasan Waraqah. “Iya. Tidak seorang pun yang datang dengan apa yang datang kepadamu kecuali dimusuhi. Jika aku mendapati hari itu, aku akan menolongmu sekuat tenaga”, jawab Waraqah (HR. al-Bukhari dan Muslim)

.           Kita pun mengerti, bahwa inisiatif Khadijah mempertemukan Rasulullah dengan Waraqah adalah sebuah langkah yang sangat tepat. Melalui pertemuannya dengan Waraqah lah, Rasulullah mendapatkan rangkuman dan gambaran tentang betapa besar dan berat tantangan yang akan beliau hadapi di hari-hari beliau ke depannya. Bahwa beliau akan diperangi dan diusir oleh kaumnya. Hal ini tentu sangat bermanfaat bagi Rasulullah, karena memperkuat gambaran dan keyakinan beliau bahwa apa yang beliau temui di gua hira bukanlah syaithan dan jin, melainkan jibril yang datang dengan membawa risalah dari Allahu Rabbul ‘alamin.

            Di sini Khadijah memiliki kredit poin, bahwa beliau berhasil menjadi istri yang sukses sebagai pasangan hidup sekaligus partner kerja bagi suaminya. Beliau menjadi istri yang solutif ketika suaminya merasa ‘bingung’ atas permasalahan yang menimpanya. Maka duhai para istri yang solutif, begitu bahagianya para suami yang memiliki kalian. Betul bahwa suami adalah pemimpin. Namun terkadang, beban-beban berat dan banyaknya tugas yang harus diemban oleh para suami, membuat mereka juga harus ‘mentok’ ketika berhadapan dengan urusan-urusan tertentu. Terlebih lagi, jika suami anda sudah menerjunkan hidupnya untuk urusan keummatan. Maka di situlah anda memiliki peran yang vital. Percayalah, istri-istri yang dapat memberi solusi atas permasalahan-permasalahan suami, akan mendapatkan tempat tersendiri di hati suami, selayaknya Khadijah yang memiliki tempat tersendiri di hati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Baca juga:  Amal-Amal Pragmatis, Kantung Pahala pun Tipis (Al-Baqarah 200-202 End Part)

            Maka dari kisah ini, kita bisa memperjelas visi kita soal pernikahan dan berumah tangga. Bahwa pernikahan bukanlah soal urusan menghalalkan hubungan pria dan wanita, ataupun sekedar untuk mencetak keturunan. Tapi lebih dari itu, bagaimana bahu membahu dan saling menguatkan di  jalan dakwah dan kebaikan.

 

Allahu a’lam bishshawab

 

Referensi :

[1] Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyyurrahman Al-mubarakfury

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar