Santri Cendekia
Home » Hikayat Karya Gagal; Menuju Karya Jariyah

Hikayat Karya Gagal; Menuju Karya Jariyah

Judul                     : Hikayat Karya Gagal

Penulis                 : Yusuf Maulana

Tahun                   : 2016

Penerbit              : Pustaka Saga

Halaman              : xii + 247 hlm

 

Ide di kepala laris dimana-mana, gundah hati membara di benak ribuan pembaca, semua hanya percuma kalau tertuang dalam karya sarat ambisis belaka, lantas bagaimana seorang aktivis menempa ide agar membahana?

 

Kalimat tersebut akan dijumpai ketika pertama kali membuka buku bersampul hitam nan elegan. Cukup memotivasi untuk memperbaiki berbagai macam tulisan dan ide yang pernah melintasi benak-benak pikiran. Banyak karya yang dibuat, namun apakah bisa berpengruh dalam dunia yang kita pijak ini? Apa yang disampaikan Yusuf Maulana melalui hikayat karya gagal ini?

Yusuf Maulana memberikan sudut pandang baru bagi dunia literasi. Sudut abstrak yang biasanya jarang diangkat dalam dunia kepenulisan. Sudut yang membawa para penulis kepada jenjang yang lebih abadi dan jenjang yang lebih bermanfaat. Sudut agar ide-ide tersebut bisa dicerna dan merambah ke kedalaman hati para pembacanya hingga menjadi amal jariyah bagi penulis. Bukan hanya sebuah kegagalan, tetapi hal-hal yang bisa dijadikan pelajaran untuk menyadari kemampuan diri ketika hendak menjadi seorang penulis. Setidaknya terdapat pelajaran yang diambil dari berbagai kisah karya gagal. Letak kegagalannya bermacam-macam, di bagian awal, tengah, akhir, tergantung bagaimana karya itu dibuat.

Di bagian awal, biasanya pikiran selalu membuat penjara otomatis yang memisahkan antara menulis dan berbicara seakan itu berbeda dan membuatnya menjadi sulit. Jika sudah berkompromi dengan pikiran kita, segeralah awali ide yang telah terlintas untuk diaktualisasikan.

Menulis sesungguhnya memindahkan pengalaman batin kita secara eksplisit. Di sini kemauan untuk tidak sekadar berpuas dengan kata-kata tuturan atau lisan menjadi penting. Harus ada kesadaran bahwa menulis tidak ada bedanya dengan berkata-kata. Hanya bedanya di media pengungkapan. Yang satu di mulut, satunya lagi di tangan. Hlm.2

Menulislah untuk menangkap cahaya yang telah berpendar di bumi. Meskipun menulis semudah mengekspresikan kata-kata melalui tulisan, tetap etika harus dijaga. Meskipun teknologi sudah bergerak ke arah yang lebih canggih, tapi kita tak pernah berhenti jika ia tak di hadapan. Menulislah dari yang terdekat dengan kehidupan. Janganlah berbangga dengan daftar bacaan yang banyak jika akhirnya tak menambah bergizi tulisanmu. Gunakan berbagai kemudahan itu bukan berkilah untuk menghindar dari berkarya.

Baca juga:  Euthanasia dalam Pandangan Sekular Barat dan Agama Islam

Jika kita menengok sejarah, menulis merupakan sebuah warisan dari para pendahulu ummat untuk menjaga dan menjalankan agama Islam ini. Menulis memanjangkan langkah, lisan dan pikiran tiba di kalangan masyarakat. Menulis memberikan ruang-ruang pikiran, kritikan, ide, masukan untuk pengembangan ummat.

Tokoh-tokoh ummat Islam Indonesia angkatan Natsir memberikan satu pelajaran penting. Dalam perjuangan ideologisnya mereka perhatikan dua ranah secara bergandengan: pengaderan dan kepenulisan. Pengaderan berbicara melahirkan generasi pelanjut berikutnya. Sementara kepenulisan adalah satu keterampilan dalam perjuangan itu sendiri. Hlm.79

Sebagai sebuah keterampilan, menulis perlu diasah dan dipertajam jiwa dan raganya. Bagaimana seorang penulis menguatkan nyali untuk dikritik, bahkan di terror atas isi tulisannya — lihat cerita Risiko menulis. Mungkin juga dia akan dikucilkan karena tema-tema tertentu tidak sesuai dengan tempat dia hidup. Meskipun disukai khalayak ramai. Bagian Fokus ini bercerita terkait rintangan dan godaan-godaan yang biasanya dialami oleh penulis  berupa godaan terkait pendirian penulis, memasukkan ruh ke dalam tulisan, maupun godaan finansial.

Di bagian ketiga yang kumpulan cerita subbab Cermin merupakan sebuah refleksi atas perjalanan tulisan ketika selesai di produksi. Hikmah yang didapat setelah menulis bisa saja membahagiakan untuk penulisnya maupun bagi pembacanya. Maulana memberikan contoh tulisan yang dijadikan mahar di hari pernikahannya adalah upaya tersendiri bagi penulis. Begitu pula dengan menulis penulis bisa beramal banyak melalui hasil tulisannya. Bahkan tulisan bisa dijadikan karya yang elegan untuk berdebat.

Ide di kepala dan gundah hati membaca; semua hanya percuma kalau tertuang dalam karya sarat ambisi belaka. Membahananya gagasan di teks, yang diikuti perubahan kea rah kebaikan oleh public, sungguh sebuah saham bagi jiwa penulis , bahkan hingga bagi anak keturunannya. hlm.246

Baca juga:  Buya Hamka: Pribadi yang Berjiwa Besar dan Pemaaf

Inilah jawaban dari pertanyaan yang muncul di awal buku. Menulis menjadi saham untuk penulisnya. Semoga menjadi amal jariyah. Aamiin.

Ila Shalihah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar