Santri Cendekia
Home » Menunggu (Revisi) Fatwa MUI Tentang Ibadah Dalam Situasi Wabah Covid-19

Menunggu (Revisi) Fatwa MUI Tentang Ibadah Dalam Situasi Wabah Covid-19

Kurang tepat ketika MUI membuat kategori kawasan dengan penularan tinggi, sangat tinggi dan rendah, karena keberadaan virus ini sangat unpredictable

Oleh: Amiruddin

Berkenaan dengan mewabahnya Coronavirus Disease atau Covid-19, maka hampir semua aktifitas harus dilakukan dengan protokol kesehatan tertentu, antara lain menjaga kebersihan dengan cuci tangan pakai sabun (CTPS) atau menggunakan hand zanitizer, menjaga jarak dengan orang lain minimal 1 s.d. 2 meter atau social distancing dan physical distancing, penyemprotan disinfektan, etika batuk dan bersin serta beberapa hal lainnya.

Hal ini karena Covid-19 dapat menular dengan sangat mudah melalui droplet (cairan yang keluar dari hidung atau mulut karena batuk dan bersin) yang menempel pada tangan atau benda yang sering tersentuh tangan, sementara keberadaannya sangat sulit untuk dideteksi, karena gejala awal yang dialami hanya seperti flu biasa atau bahkan tidak muncul gejala sama sekali.

Keadaan seperti ini menyebabkan banyak kegiatan di masyarakat harus disesuaikan dengan serangkaian protokol kesehatan terkait Covid-19 tersebut, baik itu kegiatan sosial, bisnis, hiburan dan lain-lain termasuk kegiatan keagamaan.

Ada banyak kegiatan yang harus diubah caranya secara daring menggunakan teknologi informasi, ada yang tetap diadakan tetapi dengan sangat terbatas dan dengan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat, ada yang harus ditunda waktu pelaksanaannya bahkan ada pula yang harus dibatalkan atau ditiadakan.

Menyikapi situasi tersebut, kalangan keagamaan khususnya agama Islam pun memberi respons cepat, agar umat Islam tetap dapat menjalankan kewajiban ibadahnya dengan baik dan tenang.

Majelis Ulama Indonesia misalnya, segera mengeluarkan Fatwa No. 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 tertanggal 21 Rajab 1441 H / 16 Maret 2020 M dan Fatwa No. 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz al-Jana’iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19 tertanggal 27 Maret 2020.

Dari kedua fatwa yang dikeluarkan sebagai respons atas mewabahnya Covid-19 di Indonesia oleh MUI di atas, Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19, menurut hemat penulis perlu mendapat perhatian serius dan dilakukan pencermatan ulang. Pada fatwa tersebut, khususnya pada Keputusan Kedua tentang Ketentuan Hukum disebutkan antara lain,

  1. Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  2. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.
  3. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.
  4. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
  5. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19.
Baca juga:  Menelaah Konsepsi Bid’ah Menurut Muhammadiyah

Dari butir-butir fatwa MUI tersebut, terlihat ada dua pokok pikiran.

Pertama, tentang potensi penularan Covid-19 pada suatu kawasan, dibuat kategori tinggi, sangat tinggi dan rendah.

Atas dasar ini, kemudian ditentukan hukum yang berbeda; pada kategori kawasan dengan potensi penularan tinggi dan sangat tinggi, ada kebolehan meninggalkan shalat berjamaah baik Jum’at maupun shalat-shalat lainnya, sementara pada kategori kawasan dengan potensi penularan rendah, tetap melekat kewajiban-kewajiban di atas dengan beberapa syarat dan ketentuan.

Kedua, tentang kondisi penyebaran Covid-19, dikategorisasikan menjadi kondisi tidak terkendali dan kondisi terkendali, yang kemudian berimplikasi pada hukum yang berbeda; pada kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali, dilarang menyelenggarakan shalat Jumat dan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak lainnya, sementara pada kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, kewajiban shalat Jum’at tetap melekat dengan kebolehan menyelenggarakan kegiatan ibadah yang melibatkan orang banyak lainnya.

Mencermati fatwa MUI di atas, ada beberapa pertanyaan yang terlintas dalam benak penulis, atas dasar apa MUI menentukan pemberlakuan kawasan dengan potensi penularan tinggi, sangat tinggi dan rendah?

Atas dasar apa pula MUI menentukan adanya kondisi penyebaran Covid-19 terkendali dan tidak terkendali?

Apakah atas dasar pengamatan MUI sendiri, atau ada rekomendasi dari para ahli atau pihak berwenang, baik ahli kesehatan dan ahli tentang virus atau pun Pemerintah?

Hal ini penting ditanyakan, karena seperti diketahui, menurut penjelasan para ahli Covid-19 adalah virus corona varian baru.

Oleh sebab itu, belum ada atau belum ditemukan vaksin untuk virus ini, belum pula dapat diketahui secara lebih seksama tentang sifat-sifat virus ini. Yang pasti, seperti halnya virus lain, Covid-19 juga tidak kelihatan karena ukurannya yang sangat kecil.

Baca juga:  Dari Demokrasi Islami ke Demokrasi Muslim: Memahami Perubahan dalam Pemikiran Politik Islam (2)

Ia menular dari orang ke orang secara sangat cepat dan tidak disadari. Penularan bisa terjadi melalui droplet yang keluar dari mulut atau hidung orang yang sudah terinfeksi dan kemudian terlibat kontak langsung dengan benda atau orang lain.

Benda atau orang lain itu akan terpapar virus. Benda menjadi tercemar dan orang terinfeksi.

Orang yang terinfeksi akan menunjukkan gejala umum seperti batuk dan demam, tapi tidak serta merta muncul setelah terinfeksi pertama kali, karena masa inkubasi virus ini sampai dengan 14 hari. Bisa saja seseorang baru merasakan gejalanya setelah hari yang keempat atau kelima, padahal sudah berinteraksi dengan banyak orang pada hari pertama sampai ketiga.

Bahkan, ada pula orang yang terinfeksi tetapi tidak menunjukkan gejala umum di atas sehingga tidak diketahui apakah ia terinfeksi atau tidak, yang kemudian dikenal dengan istilah Orang Tanpa Gejala (OTG).

Dengan kondisi yang demikian, menurut hemat penulis, sepertinya kurang tepat ketika MUI membuat kategori kawasan dengan penularan tinggi, sangat tinggi dan rendah, karena keberadaan virus ini sangat unpredictable, tidak diketahui ada di mana, dibawa oleh tangan siapa dan akan menulari siapa.

Kurang tepat pula ketika digunakan istilah penyebaran yang terkendali dan tidak terkendali. Siapa yang bisa mengendalikan virus ini?

Virus ini kasat mata, tidak kelihatan, tidak atau belum ditemukan obat atau vaksinnya, jika sudah masuk ke dalam tubuh ia tidak bisa ditangkap atau disedot hingga hilang.

Setidaknya, fatwa yang dibuat pada medio Maret tersebut, yang pada waktu itu kondisinya mungkin masih bisa dikatakan “baik-baik saja”, untuk kondisi sekarang sudah kurang up to date lagi, karena perkembangan penyebaran Covid-19 terjadi begitu cepat, meluas sampai ke seluruh wilayah di Indonesia dan korban pun semakin banyak berjatuhan.

Baca juga:  14 Rekomendasi Muhammadiyah Amerika Serikat terkait Wabah Corona

Oleh karena itu, penulis mengusulkan agar MUI berkenan meninjau ulang fatwa ini dengan tidak membuat kategori-kategori seperti di atas. Atas dasar ketidakmampuan mendeteksi keberadaan virus ini, maka semua kawasan berstatus sama, dalam darurat Covid-19.

Jadi tidak ada lagi istilah kawasan dengan potensi penularan rendah, tinggi maupun sangat tinggi dan istilah penyebaran virus terkendali dan tidak terkendali.

Hal ini untuk menjaga agar penyebaran Covid-19 tidak semakin meluas, khususnya melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak orang seperti shalat jamaah.

Bukankah dalam butir-butir pertimbangan fatwa MUI sudah menyebut banyak kaidah fikih, yang antara lain adalah; la darara wa la dirara (tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain), dar’ul-mafasidi muqaddamun ala jalbil-masalihi (menolak kerusakan didahulukan dari pada mecari kemaslahatan), dan ad-dararu yuzalu (bahaya harus ditolak)?

Saat ini, cara yang paling efektif untuk menghentikan atau setidaknya meminimalisir penularan Covid-19 ini adalah memisahkan antara orang yang sudah terinfeksi dengan orang yang belum terinfeksi, sebagaimana juga diisyaratkan oleh Nabi saw dalam al-Hadis.

Orang yang sudah terinfeksi dirawat agar sembuh. Sementara orang yang belum terinfeksi dijaga agar kuat imunitasnya dan tidak tertular. Ikhtiar yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan social distancing maupun physical distancingsecara ketat, termasuk dalam hal ibadah.

Seluruh kegiatan ibadah yang melibatkan banyak orang atau berjamaah tidak perlu diadakan di semua masjid/musala maupun tempat lainnya di seluruh Indonesia.

Lebih-lebih masjid adalah tempat yang mulia, jauh lebih mulia dari tempat-tempat lain seperti pasar, terminal, stasiun, bandara, warung makan, pusat perbelanjaan dan lain-lain. Masjid harus menjadi contoh bagi seluruh umat dan bangsa dalam memutus rantai penyebaran Covid-19.

Bagaimanapun juga, mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Tidak perlu menunggu ada orang yang terpapar di sekitar masjid, baru kemudian ibadah jamaah ditiadakan, tetapi kegiatan ibadah jamaah ditiadakan justru untuk menjaga agar tidak ada penularan.

Tidak perlu menanti suatu daerah dikategorikan sebagai zona merah baru kemudian masjid/mushala menghentikan kegiatan ibadah jamaahnya, tetapi masjid/mushala mestinya menghentikan kegiatan ibadah jamaahnya agar daerah tersebut tetap menjadi zona hijau.

Tidak perlu menunggu diterapkan PSBB baru kemudian masjid/musala menghentikan kegiatan ibadah jamaahnya, tetapi hentikan dulu kegiatan ibadah jamaah supaya PSBB tidak perlu diterapkan.

Demikian, mohon maaf atas adanya kekurangan, teriring doa semoga pandemi ini segera berlalu.

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar