Santri Cendekia
Home » Menyambut Gelombang Kedua “Lautan Jilbab”

Menyambut Gelombang Kedua “Lautan Jilbab”

Berikut ini adalah tulisan dari Ustad Ahwan Fanani dengan sedikit komentar dari saya (Ayub). Anggaplah saja artikel ini adalah semacam artikel “reaction”, seperti video-video di Youtube it lho. Cuma ini bentuknya artikel. Tulisan ini disebarkan akun yang saya kenal di media social, sehingga asumsinya, artikel ini sudah diizinkan oleh beliau untuk dimuat. Lagipula, Ustad Ahwan sudah beberapa kali menjadi contributor penting di SantriCendekia. Mari kita baca bersama, kamerad!

Mas Menteri Gercep Soal Jilbab

Akhir-akhir ini ramai berita tentang siswa yang harus berjilbab di sekolah negeri di Sumbar. Kebijakan itu sudah berlangsung 15 tahun dan sekarang menjadi ramai. Hal sebaliknya terjadi di dua propinsi di Indonesia Tengah dan Indonesia Bagian Timur. Siswi-siswi dilarang mengenakan di sekolah negeri jilbab dan harus melepasnya.

Tetapi pejabat tampaknya bersuara beda dengan dua kasus yang sebenarnya sama. Bedanya satu mewajibkan, yang kedua melarang. Kalau mau moderasi harusnya jibab jangan diwajibkan, untuk sekolah negeri, khususnya bagi yang nonmuslim pun jangan dilarang. Kecuali guru agama menganjurkan sebagai bagian Kompetensi Inti (KI) 1, Aspek Spiritual.

Bukankah berjilbab bagian dari perintah agama? Bukankan memahami dan melaksanakan ajaran agama itu bagian dari KI 3 dan 4, sebagai rangkaian dari karekterisasi peserta didik?

Indonesia dan Sekulerisme

Sejak awal pergerakan kemerdekaan, orang berjuang untuk kebangsaan itu atas dasar agama, kebangsaan, atau kerakyatan. Tetapi pada akhirnya kita sampai kepada kompromi. Soekarno yang berpolemik dengan Muh Natsir berpendapat bahwa negara yang bediri suatu saat harus dipisahkan dari agama.  Natsir sebaliknya bahwa agama (Islam) adalah realitas sosiologis sebagian besar bangsa Indonesia. Dalam demokrasi, realitas terbesar itu representasi yang harus diakui.

Namun akhirnya semua sepakat bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar pertama negara kita, tetapi Islam bukan menjadi dasar negara. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk menjalankan agama dan keyakinannya.  Lebih jauh ada yang berpendapat bahwa kita bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Pandangan ini cukup moderat meski dimana batasnya tetap akan menjadi negosiasi kekuatan sosial yang ada.

Baca juga:  Ketua Majelis Tarjih: Sudah Saatnya Muhammadiyah Perbaharui Falsafah Pelayanan Kesehatan

Belajar pada Pengalaman

Sebelum tahun 1990-an banyak aktivis muslim yang tidak berjilbab, bahkan tidak berkerudung. Di pesantren santri berkerudung, sebagaimana lazimnya perempuan di Afghanistan, Iran, Lebanon dan sebagainya. Namun ada foto klasih yang beredar di WA bahwa pejuang-pejuang muslimah berjilbab.

Sejalan dengan kesadaran agama, mulai terbentuk mode jilbab yang menutup secara lebih rapat tubuh muslimah. Alquran jelas mengatakan agar istri-istri Nabi SAW menarik kain penutupnya hingga menutupi saku. Nah saku baju perempuan di mana? Di dada atau di sisi baju setentang atas paha? Itu masalah ikhtilaf semata. Yang pasti arus berjilbab semakin kuat. Ada peneliti Inggris yang menganalisis bahwa trend berjilbab itu muncul sejak Perang Iraq tahun 1990.

Ya, saat itu Bush menyerang Iraq yang dilawan dengan rudal scud buatan Rusia. Saat itu nama Saddam, nama Presiden Iraq, sangat populer dan menjadi nama banyak bayi di Indonesia. Tren jilbab pun ikut berkembang.  Kadang orang beragama itu semakin semangat dan heroik kalau ditekan keras-keras. Greg Fealy, peneliti Australia, bahkan sudah memperingatkan bahwa tekanan kepada kelompok Islam secara berlebihan ibarat memukulkan palu ke paku yang menancap di kayu. Semakin dipaku, semakin menancap.

Lautan Jilbab

Sebelum tahun 1990-an, kehadiran simbolik agama memang belum semarak. Di sekolah-sekolah umum masjid masih jarang. Bahkan di kampung-kampung pedalaman masjid masih jarang ditemui. Siswi di sekolah berjilbab sangat langka dan kalau berfoto tetap harus membuka jilbabnya.

Rhoma Irama pernah menyanyikan lagu: “Katakan, Tuhan itu satu!” Saat itu pula ia disebut tidak Pancasilais. Di kampus-kampus umum nuansa agama jarang ditemui sehingga Imaduddin Abdul Rahim berjuang dengan membentuk kader-kader dakwah dan DDII milik Pak Natsir membuka pelatihan agama di dekat kampus umum dan menerjemahkan karya-karya keislaman. Tanaman mereka tumbuh subur dalam kesadaran agama dikalangan terdidik yang mendorong penguatan Islam di ranah publik.

Baca juga:  Kiyai Dahlan, Merdeka Belajar, dan Dilema Palsu Pendidikan Kita

Belakangan, mereka yang berjuang menanam itu hendak digusur dengan tuduhan radikal dan seterusnya secara tidak sopan dan tanpa penghargaan. Bahwa ada ekses turut pula aktivitas yang kontraproduktif bukan berarti semua tanaman itu harus dibabat. Jas merah! Sopanlah dan tahu adablah sedikit! Sekarang bahkan Rektor Peguruan Tinggi Umum yang berlatar nasionalis pun fasih mengutip ayat Alquran atau hadis dalam acara resmi!

Jilbab saat itu masih menjadi kontroversi karena ada sekolah-sekolah yang melarang. Awal tahun 1990 ada pertemuan besar pemuda dan pemudi muslim di Gedung Nasional Indonesia di sebuah kabupaten. Mereka menuntut larangan jilbab dicabut. Aksi tuntutan pencabutan larangan jilbab dan tuntutan pelarangan kupon SDSB adalah demo terbesar awal 1990-an pada masa Orde Baru.

Buku kumpulan puisi Emha Ainun Najib “Lautan Jilbab” seolah menjadi bacaan wajib. Saya ingat saat masuk SMA ada teman yang membaca puisi Ema dengan sangat menyentuh. Dengan serban ala Yasser Arafat, ia sangat emosional dan menghayati pembacaan puisi sehingga membakar jiwa perlawanan kaum muda.

Untungnya Pak Harto sudah lebih Islami dibandingkan tahun 1970-an atau 1980-an sehingga aksi-aksi demikian ditolerir. Keberadaan ICMI, dengan Pak Habibie Si Anak Emas Pak Harto di dalamnya, cukup mempengaruhi Pak Harto. Bahkan pada tahun 1990-an itu pula masjid-masjid banyak berdiri di kampung-kampung yang sebelumnya minim agama karena angin kekuasaan semakin ramah terhadap agama Islam.

Lautan Jilbab Sekarang

Lautan jilbab sudah tercapai sekarang. Jilbab menjadi biasa, bahkan banyak kehilangan arti selain aksesoris. Hal demikian ajar dalam tren sosial. Bahkan Soren Kierkegaard, filosuf eksistensialis Denmark, pernah mengkritik umat Kristen pada masanya. Pada masa lampau ber-Kristen itu berarti pengorbanan. Yah, karena pada masa Kaisar Nero orang-orang Kristen dibunuh dan disiksa karena imannya. Namun kemudian ber-Kristen, setelah ia menjadi populer, seaksn hanya aksesoris semata.

Baca juga:  Kunci Reformasi Pendidikan Menurut Rafi'al Thatawi

Jilbab pun demikian. Ada fenomena jilboob yang mendegradasi arti jilbab itu sendiri. Di sisi lain ada semangat keagamaan yang mungkin berlebih, seperti kewajiban berjilbab di sekolah umum negeri di propinsi mayoritas muslimdan larangan berjilbab di sekolah umum di propinsi-propinsi mayoritas nonmuslim. Dua kebijakan itu sama-sama berlebihan. Jangan bilang yang memaksakan agama itu radikal dan yang menolaknya itu moderat!

Marilah kembali ke dasar pemahaman tentang sekolah umum dan batas jaminan kebebasan pelaksanaan agama! Jika semua diletakkan secara proporsional akan lebih baik. Biarlah agama menjadi kesadaran yang tumbuh bersama keimanan seseorang! Saat kesadaran itu bertumbuh, berilah ruang sepanjang tidak menghapus dan mencabut hak orang lain yang berbeda agama.

Menanti Gelombang Kedua Lautan Jilbab

Ulasan Ustad Ahwan menjadi menarik sebab ia mencoba mengaitkan ribut-ribut ini dengan fenomena maraknya orang berjilbab di akhir Orde Baru dulu. Cak Nun menyebut fenomena ini “Lautan Jilbab” dalam puisinya yang melegenda itu. Dari ulasan ustad Ahwan, kita tahu bahwa gelombang lautan jilbab itu lahir secara kultural, meski tentu dengan kelindan sentimen politik (dalam artinya yang luas) di baliknya. Gelombang kultural itu justru muncul dalam iklim politik dan sistem yang tidak ramah pada simbol keislaman.

Maka mestinya, perubahan yang muncul setelah SK itu membawa kepada ikhtiyar untuk mencipta gelombang jilbab kedua. Lagipula, gelombang lautan jilbab hasil perjuangan aktivis Islam jaman dulu itu kini seolah mulai kehilangan ruhnya. Jilbab seperti tampak terkooptasi industri fesyen, orang berjilbab menjadi sekedar ikut-ikutan saja. Bukannya itu tidak baik, tapi jilbab yang lahir dari kesadaran iman yang penuh lebih diinginkan dari jilbab sekedar ikut-ikutan.

Jilbab yang merupakan manifestasi pandangan hidup Islam akan lebih tahan godaan. Ia juga lebih mampu mewujudkan substansi tujuannya sebagai penegas identitas dan pelindung marwah kaum Muslimah. Insyaallah, gelombang jilbab kedua, yang lahir dari kesadaran itu, akan lebih dahsyat!

 

 

Ahwan Fanani

Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar