Santri Cendekia
Home » Menyikapi Mundurnya Awal Waktu Subuh (Fajar) Dengan Gembira

Menyikapi Mundurnya Awal Waktu Subuh (Fajar) Dengan Gembira

Oleh: Amiruddin A Faza

Bukan Muhammadiyah kalau tidak melakukan pembaruan (tajdid). Pembaruan menurut Muhammadiyah mencakup pada dua bidang, yaitu bidang ibadah dan bidang muamalat. Pada bidang ibadah, pembaruan dilakukan dengan memurnikan kembali (purifikasi) suatu perbuatan ibadah sesuai dengan nas aslinya (Al-Qu’an dan Sunah Nabi saw yang sahih dan maqbul). Sedangkan pada bidang muamalat, pembaruan diwujudkan dalam bentuk mendinamiskan kehidupan (dinamisasi) dengan tetap memperhatikan nilai-nilai di dalam nas asli.

Tidak sedikit pula, tajdid yang dilakukan Muhammadiyah harus memadu-sinergikan keduanya, yakni berbagai persoalan ibadah yang berjalin berkelindan dengan persoalan muamalat. Dalam hal ini, Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani (nas) dan burhani (ilmu pengetahuan), dengan melakukan interkoneksi antara nas dan ilmu pengetahuan. Penggunaan metode hisab hakiki wujudul hilal dalam menentukan awal bulan kamariah, termasuk awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah adalah contoh konkrit dari perpaduan bayani dan burhani tersebut. Puasa Ramadan adalah satu bentuk ibadah mahdah yang tata laksananya harus merujuk kepada nas-nas bayani, sedangkan pengetahuan tentang kapan masuk bulan Ramadan adalah persoalan muamalat yang diselesaikan dengan ilmu pengetahuan burhani sesuai dengan petunjuk-petunjuk di dalam nas.

Baru-baru ini, Muhammadiyah kembali melakukan suatu pembaruan. Pada Desember 2020 lalu, melalui forum Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih XXXI, Muhammadiyah mengambil keputusan tentang kriteria awal waktu subuh (fajar). Mengapa perlu ada pembaruan awal waktu subuh? Jawabnya tentu bukan supaya bisa bangun lebih siang atau sahur lebih lama, bukan pula  supaya bisa menonton siaran langsung sepakbola Liga Kampiun Eropa lebih lama atau hal-hal pragmatis lainnya. Menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A., Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, awal waktu subuh ini memiliki empat urgensi, yang antara lain adalah sebagai batas waktu pelaksanaan ibadah, khususnya shalat dan puasa. Azan subuh menjadi tanda akhir waktu shalat lail dan tanda awal waktu shalat subuh, sekaligus juga menjadi tanda akhir waktu sahur dan tanda awal melakukan puasa.

Oleh karena urgensi itu, Majelis Tarjih memandang penting untuk membahas dan mengambil keputusan dalam Munas Tarjih. Inti dari Keputusan Tarjih yang disepakati oleh para ulama Muhammadiyah pada Munas tersebut adalah awal waktu subuh yang digunakan selama ini, yakni matahari berada di ketinggian minus 20° (kedalaman matahari 20°) di ufuk timur, dipandang terlalu pagi. Awal waktu subuh yang dipandang lebih tepat adalah ketika matahari berada di ketinggian minus 18°, atau dengan kata lain kedalaman matahari 18° di bawah ufuk timur. Dengan Keputusan Tarjih ini, maka awal waktu subuh di Indonesia ditambah 2° atau mundur 8 menit (1° sama dengan 4 menit). Jika hari ini waktu subuh jatuh pada pukul 04.27 (jam empat lewat dua puluh tujuh menit), maka dengan tambahan 8 menit ini menjadi pukul 04.35 (jam empat lewat tiga puluh lima menit).

Baca juga:  Observatorium Pra-Islam

Keputusan Tarjih di atas ternyata mendapat respons yang beragam dari berbagai pihak. Kementerian Agama RI misalnya, melalui Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, Kamaruddin Amin, menyatakan bahwa kriteria waktu subuh di Indonesia pada posisi matahari minus 20 derajat sudah benar dari sisi fikih maupun sains. Kriteria tersebut berdasarkan hasil observasi rukyat fajar yang dilakukan oleh Tim Falakiyah Kemenag di Labuan Bajo pada tahun 2018 dan juga hasil observasi rukyat fajar di Banyuwangi yang dilakukan oleh peneliti dari Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama. Kemenag juga mengimbau umat Islam tidak ragu menggunakan kriteria waktu Subuh yang diterbitkan Kemenag. Lihat di sini.

Senada dengan itu, Kepala Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin mengatakan, waktu subuh yang digunakan saat ini sudah tepat dan sesuai kriteria yakni posisi matahari berada pada minus 20 derajat. Tokoh yang sering menjadi antitesis bagi paham hisab/falak Muhammadiyah ini menyebutkan bahwa umat tidak perlu bimbang, kriteria subuh pada posisi matahari minus 20 derajat sudah benar, tidak perlu dikoreksi. Lihat di sini.

Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat melalui Ketua Bidang Dakwah KH Cholil Nafis menyatakan, perbedaan pandangan mengenai awal waktu subuh ini tidak perlu dibesar-besarkan dan dijadikan masalah. Masyarakat hendaknya tetap berpegang dan mengikuti kepercayaan masing-masing. Perbedaan antara -18° dan -20° derajat ini perlu diadakan kajian lagi. Kiai Cholil menjelaskan, meskipun jadwal Subuh terhitung terlambat, hal ini masih terhitung masuk waktu Subuh. Kondisi ini dinilai lebih baik jika dibandingkan mempercepat jadwal, namun ternyata belum masuk waktu Subuh. Lihat di sini.

Mutoha Arkanudin, pegiat Rukyatul Hilal Indonesia dan Jogja Astro Club, dalam akun facebooknya mengomentari tentang perbedaan kriteria awal waktu subuh ini dengan ungkapan “Silahkan pilih ikuti mana yang diyakini. Semua memiliki hujjah dan ijtihadnya masing-masing sehingga tetap berpahala. Insya Allah. Selamat menyongsong bulan Ramadan.

Di akar rumput Muhammadiyah, Keputusan Tarjih ini mendapat dukungan kuat, meskipun diwujudkan dengan beragam cara. Sebagian masjid Muhammadiyah langsung menerapkan keputusan itu dengan memundurkan azan subuh 8 menit lebih akhir, yang menyebabkan sebagian masyarakat awam bingung dan bertanya-tanya. Sebagian masjid lagi, tetap mengumandangkan azan dan iqamat seperti biasa sesuai waktu yang telah digunakan selama ini, karena Keputusan Tarjih itu belum ditanfidz oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah sehingga dianggap belum resmi berlaku. Sementara sebagian masjid lainnya dengan alasan kehati-hatian, toleransi dengan orang yang berbeda pendapat atau mungkin juga karena masih ada keraguan, azan tetap dikumandangkan sesuai waktu yang selama ini digunakan, tetapi iqamatnya ditunda setidaknya sampai 8 atau 10 menit setelah azan mulai dikumandangkan.

Baca juga:  Agama, Sains, dan Mimpi-mimpi Liar Umat Manusia

Timbul pertanyaan, mana yang benar di antara ketiga praktik tersebut? Jawabnya benar semua, tidak ada yang salah, yang penting tetap shalat subuh, yang salah kalau ada yang tidak shalat subuh. Masjid yang sudah mengubah waktu subuhnya, berarti menerapkan kebenaran materiil dari Keputusan Tarjih. Hal ini karena secara sah perubahan waktu subuh tersebut memang sudah disepakati dan diputuskan di forum yang semestinya, yaitu Munas Tarjih, forum tertinggi dalam Muhammadiyah untuk membahas soal-soal keagamaan. Bisa dikatakan, praktik ini lebih memilih mengikuti kebenaran secara materiil/substansial.

Adapun Masjid yang masih menggunakan waktu subuh yang terdahulu, berarti menghormati aturan organisasi bahwa setiap Keputusan Tarjih harus melalui mekanisme mendapat Surat Keputusan Tanfidz dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebelum disebarluaskan sekaligus diberlakukan. Praktik ini bisa dikategorikan sebagai praktik yang mengikuti kebenaran formil, tidak sekedar kebenaran materiil. Sedangkan Masjid yang mengumandangkan azan mengikuti waktu terdahulu yang selama ini dipakai, baru kemudian iqamatnya disesuaikan dengan waktu baru yang sudah diputuskan, ini menunjukkan sikap hati-hati agar tidak muncul kegaduhan atau kebingungan di masyarakat awam, sekaligus juga toleransi bagi pihak-pihak yang barangkali belum dapat menerima perubahan tersebut. Dengan kata lain, kebenaran materiil tetap dapat dijalankan, sementara kebenaran formil juga tetap diakui.

Masalah penentuan awal waktu subuh ini sesungguhnya bukan hal baru. Pada kajian yang disajikan dalam buku Materi Munas Tarjih XXXI, dikemukakan aneka ragam pendapat tentang di ketinggian matahari berapa derajat waktu subuh dimulai. Dari mulai yang paling pagi yakni minus 20° hingga yang paling siang sampai di ketinggian minus 12° bahkan lebih rendah lagi. Adanya ragam pendapat ini menunjukkan bahwa para ulama/ahli berbeda pendapat dalam memahami nas-nas sumber agama dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan awal waktu subuh ini. Artinya, persoalan awal waktu subuh ini merupakan bagian dari persoalan yang bersifat ijtihadiah.

Ada ulama yang berpendapat bahwa awal waktu subuh adalah sejak awal fajar sadik yang masih gelap (ghalas), yang dari sisi sains ditunjukkan dengan posisi/ketinggian matahari di bawah ufuk masih rendah (minus 20°, minus 19°, atau minus 18°). Ada pula ulama yang berpendapat bahwa awal waktu subuh ditandai dengan mulai terangnya fajar sadik (isfar), yang dari sisi sains ditunjukkan dengan ketinggian matahari di bawah ufuk mulai naik atau lebih tinggi (minus 14°, minus 13°, atau minus 12°). Tentu, semua itu dipegangi para ulama bukan tanpa dasar, tetapi melalui kajian mendalam terhadap dalil-dalil dalam nas bahkan dengan penelitian lapangan yang tidak main-main. Jadi, dalam kajian fikih, perbedaan pendapat memang sudah menjadi hal yang niscaya, yang karena itu pula kemudian muncul banyak mazhab fikih dengan ragam pendapatnya masing-masing. Perbedaan pendapat ini merupakan kekayaan dalam khazanah keilmuan dunia Islam.

Baca juga:  Arah Angin dan Posisi Geografis Ka'bah

Alhasil, perbedaan kriteria awal waktu subuh ini hendaknya menjadi bahan pembelajaran bagi masyarakat kaum muslimin, bahwa khazanah fikih Islam itu sangat luas. Sesuatu hal yang tidak diketahui oleh seorang ulama, bukan berarti hal itu tidak ada, bisa jadi hal itu diketahui oleh ulama yang lain. Apalagi bagi masyarakat awam yang tentu lebih banyak lagi hal yang tidak diketahui. Oleh karena itu, sikap terbaik dalam merespons adanya perbedaan pendapat dalam masalah yang bersifat ijtihadiah adalah saling menghormati, bukan saling menegasi.

Bagi masyarakat muslim yang masih belum setuju dengan perubahan kriteria awal waktu subuh yang diputuskan oleh Muhammadiyah, dipersilakan tetap menggunakan kriteria lama yang masih dipedomani oleh Kementerian Agama. Adapun bagi masyarakat muslim yang setuju, dipersilakan mengikuti apa yang telah diputuskan oleh Muhammadiyah. Pun demikian bagi warga Muhammadiyah, bagi yang sudah langsung menerapkan perubahan itu, tidak perlu merasa menjadi yang paling benar sampai mengatakan yang belum mau mengubah awal waktu subuhnya berarti shalat subuhnya tidak sah. Bagi yang belum mau menerapkan perubahan karena setia menunggu Tanfidz resmi organisasi, juga jangan merasa diri sebagai yang paling taat organisasi, karena secara materiil perubahan tersebut memang sudah menjadi keputusan jama’i (ijmak) dalam forum musyawarah para ulama Muhammadiyah, yang tinggal menunggu proses teknis formalisasi organisasi. Sementara bagi yang masih menerapkan kriteria lama untuk memulai azan kemudian menunda iqamat agar shalatnya sesuai dengan kriteria baru, juga jangan merasa menjadi yang paling moderat, karena pada saatnya nanti, bahkan tidak lama lagi, juga harus menentukan pilihan untuk mengikuti perubahan.

Sekali lagi, kriteria awal waktu subuh ini merupakan persoalan ijtihadiah, yang jika benar mendapat dua pahala, jika salah mendapat satu pahala, tidak ada yang mendapat dosa, sehingga harus disikapi dengan gembira. Insya Allah.

Ditulis oleh Amirudin, yang pingin bisa bangun lebih siang, pingin sahur lebih lama dan suka menonton siaran langsung sepakbola Liga Kampiun Eropa.

 

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar