Santri Cendekia
Home » Merumuskan Maqashid Syariah; Antara Ibnu Taimiyyah dan Jumhur Ulama

Merumuskan Maqashid Syariah; Antara Ibnu Taimiyyah dan Jumhur Ulama

Mukadimah

Maqashid Syariah merupakan kajian ushul fiqh yang berkembang pada paruh kedua abad ke 8 H. Masa ini ditandai dengan lahirnya ulama dari Granada Abu Ishaq As-Syatibi. hal ini dikarenakan pada perkembangan awal. Ushul Fikih sebagai dasari filsafat dari hukum islam menaruh perhatian besar pada kajian kebahasaan, hal ini jelas terlihat dari perdebatan ulama yang berkisar pada kaidah “al ‘Ibrah bi umum al-Lafzh laa bi Khusus as-Sabab” yang dipegang oleh mayoritas ulama dan kaidah “al Ibrah bi khusus as-Sabab laa bi Umum al-Lafzh” yang dipeka engang oleh minoritas ulama.

Pada perkembangan selanjutnya, kadiah-kaidah kebahasaan ini sudah tidak memadai lagi unutk menjadi dasar hukum islam dalam memecahkan masalah-masalah yang terus berkembang. sehingga mermulai mengkaji prinsip-prinsip nilai yang terkandung dalam  Syariat. untuk selanjutnya, meski belum secara eksplisit menyebutkan Maqashid as-Syariah, dapat diidentifikasi bahwa kajian terhadap tujuan-tujuan umum hukum islam ditemukan pada kaijan masalik al-‘Illah. kelebihan maqashid as-Syariah yang menjadi dasar hukum islam, menurut Prof Syamsul Anwar, diantaranya mengubah wajah syariat islam menjadi lebih luwes, fleksibel dan sesuai dengan konteks zaman.

Maqashid as-Syariah itu sendiri menurut ulama maqashidiyyun, secara umum-sebagaimana yang dipaparkan oleh al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasfa, adalah kajian terhadap maslahat manusia yang terdapat dalam dalil-dalil hukum islam, baik itu pada al-Qur’an dan as-Sunnah.

Tulisan ini adalah seri pertama dari dua tulisan tentang  konsep Maqashid as-Syari’ah menurut Ibnu Taimiyah. Dalam seri pertama ini, konsep Ibnu Taimiyyah tentang lima hal utama yang harus dijaga syariat (dharuriyat al-khamsah) akan dibandingkan dengan pendapat jumhur ulama. Sumber utama tulisan ini adalah kitab karya Abdul Rahman Yusuf al-Qaradhawi berjudul , Naẓariyyah maqāṣid as-Syarī’ah ‘inda Ibni Taimiyah wa Jumhūr al-Uṣūliyyin.

Konsep Maqashid as-Syari’ah Ibnu Taimiyah

Untuk memahami konsep Maqāṣid as-Syarī’ah Ibnu Taimiyah ada baiknya kita berangkat dari rumusan umum para Jumhūr usul fikih. Secara umum. Kebanyakan ulama usul fikih merumuskan tujuan puncak dari penetapan syariat didasari pada tiga aspek, aspek ḍarūriyyāh, ḥājjiyyāh dan taḥsīniyyāh. aspek ḍarūriyyāh dalam kehidupan yang menjadi usul, dibagi lagi menjadi lima segi; segi menjaga agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Menurut ‘Abdullah al-Qaraḍāwi, penetapan dalam pandangan ini berangkat dari pemahaman bahwa dasar dari ditetapkannya pembagian tersebut berasal dari hukum pidana yang dibuat oleh syāri’ yang bertujuan untuk menjaga ke lima hal tersebut, seperti dalam perinciannya[1]:

  1. menjaga agama sebagai hal yang ḍarūriyyāh, karena syāri’ menetapkan hukuman bagi orang murtad dan balasan bagi orang yang berjihad dijalan Allah.
  2. menjaga jiwa sebagai hal yang ḍarūriyyāh, karena syāri’ menetapkan hukum qisaṣ dan ketentuan dalam perang
  3. menjaga akal sebagai hal yang ḍarūriyyāh, karena syāri’ menetapkan hukum cambuk bagi peminum khamr
  4. menjaga keturunan sebagai hal yang ḍarūriyyāh, karena syāri’ menetapkan hukum bagi pelaku zina
  5. menjaga harta sebagai hal yang ḍarūriyyāh, karena syāri’ menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri.
Baca juga:  Asas-Asas Maqashid Syariah Menurut Ibnu Taimiyyah

Sementara menurut Ibnu Taimiyah bahwa konsep yang didasarkan pada hukum pidana seperti ini kurang memadai, karena rumusan ini mencerminkan bahwa kebanyakan para ulama usul hanya memandang maslahat berdasarkan maslahat harta dan jasad semata. Padahal terdapat dasar masalahat yang harusnya lebih dipertimbangkan seperti masalahat dan mafsadah yang diukur dari hati dan jiwa[2], yaitu Maslahat yang terwujud dari keimanan dan kemafsadahan yang disebabkan oleh “kelalaian” sebagaimana yang difirmankan Allah:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا [١٨:٢٨]

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (Q.S.al-Kahfi : 28).

Berdasarkan hal ini, maka Ibnu Taimiyah memiliki rumusan tersendiri dalam konsep “menjaga agama” dan “menjaga akal”, yang berbeda dari rumusan para Jumhūr usul fikih:

  1. “Menjaga Agama” Menurut Ibnu Taimiyah

      Kebanyakan ahli usul fikih menjelaskan makna “menjaga agama” adalah menjaga eksistensi agama yang didasarkan pada hukum-hukum pidana yang telah ditetapkan syariat. Sehingga dalam pembahasannya mereka lebih banyak membicarakan tentang hukum-hukum murtad, pelaku bid’ah dan ketentuan-ketentuan jihad dijalan Allah. Ibnu Taimiyah memberikan pandangan yang lain dengan menganggap bahwa penjelasan yang diberikan Jumhūr sangatlah sempit[3]. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa menjaga agama itu adalah mengikuti dan mematuhi ajaran agama itu sendiri. Agama dalam pengertian yang luas, melingkupi sumber-sumber pokoknya dan ketetapan syariat yang dirumuskan dari sumber-sumber tersebut. Karena tanpa risalah agama ini, maka kehidupan manusia tidaklah bermanfaat, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah

أَوَمَن كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ [٦:١٢٢]

Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan[4].

Manusia adalah makhluk yang “mati” di bawah naungan  kebodohannya, lalu Allah menghidupkannya dengan risalah keagamaan yang menyinari dan menghilangkan gelapnya kebodohan. Risalah agama adalah ruh kehidupan yang membedakan antara hidupnya orang beriman yang betul-betul hidup dengan hidupnya orang kafir yang pada hakikatnya mati karena tidak mengikuti risalah agama[5].  Untuk itu, mengikuti agama sebagai aplikasi dari pemeliharaan agama adalah hal yang paling penting dan paling ḍarūriyyāh dari pada semua hal, bahkan lebih dibutuhkan dari pada butuhnya orang yang sakit dari obat. Hal ini juga didasarkan bahwa risalah agama merupakan penopang dasar dalam menegakkan kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Tanpa mengikuti risalah agama maka kemaslahatan dunia dan agama tidak bisa terwujud. Karena manusia sebagai mukallaf di dalam mencapai mashalah, dituntut untuk mengusahakan hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi hal-hal yang mafsadah.

Baca juga:  Humanisme dan Dekonstruksi Syariah

Disinilah salah satu fungsi risalah agama, yaitu menjadi penjelas dan pembeda terhadap hal-hal yang memberi manfaat dan hal-hal yang membawa pada kerugian. Menerangkan kebaikan, keburukan, kebenaran dan kesalahan yang semua itu diukur dari kadar hakikatnya. Sebab penjelasan syariat atas semua hal di atas tidak berdasarkan rasa dan panca indra saja. Karena jika begitu, maka tidak ada bedanya dengan apa yang dinalar oleh hewan sesuai insting mereka. Juga tidak ada bedanya dengan manusia yang tidak bisa membedakan segala hal secara hakikat hanya dengan akal mereka.

Berdasarkan pentingnya hal ini, maka dituntut bagi semua mukallaf untuk berusahas sebaik-baiknya, mengerahkan segala kemampuannya untuk memahami risalah agama dan mematuhinya. Untuk itu, mengetahui sumber-sumber syariat yang didasarkan pada periwayatan dan penukilan merupakan hal yang wajib (ḍarūriyyāh), sebab –sebagaimana yang telah dijelaskan- akal tidak cukup untuk memahaminya[6].

  1. “Menjaga Akal” Menurut Ibnu Taimiyah

Jumhūr ulama berpendapat bahwa tujuan ditetapkannya syariat juga untuk memelihara akal, dari situ maka Allah menetapkan hukum bagi peminum khamr. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah sepakat dengan para Jumhūr uṣūliyīn, akan tetapi, beliau meluaskan jangkauan dari “menjaga akal”, yaitu tidak hanya pada larangan meminum khamr, akan tetapi juga larangan bermain judi, catur dan undian dengan dadu. Beliau memberi alasan bahwa semua permainan yang di dalamnya ada kerugian maka hal itu diharamkan berdasarkan kesepakatan, begitu pula dengan permainan yang mencegah dari hal yang wajib dan mendorong untuk berbuat yang haram. Hal ini juga mencakup permainan-permainan yang berpeluang untuk memperlambat dari melakukan kewajiban dan kebaikan seperti mengerjakan shalat, belajar, atau menghambat dalam memahami agama[7]. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah:

Baca juga:  Dari Rasulullah untuk Mu'adz, dari Mu'adz untuk Kita

تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَىِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلاَّ قَلِيلاً[8]

dan berdasarkan firman Allah:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا [٤:١٤٢]

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.[9]

Begitu juga permainan-permainan yang membuat sibuk pemainnya sehingga lalai dari melakukan amalan-amalan sunnah sebagai pelengkap amalan wajib, atau menyibukkan orang dari perbuatan yang lebih baik untuk diri sendiri dan untuk orang lain; melalaikan dari menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang mungkar. Semua hal ini berdasarkan kesepakatan diharamkan, contohnya saja berdusta atau bersumpah yang jelek meski itu dalam perlombaan. Maka jika hal yang demikian saja diharamkan lalu bagaimana dengan catur dan permainan dadu yang memang dalam kebiasaan selalu mendorong pada hal-hal yang tidak baik bahkan tidak dibolehkan?[10]. Untuk permainan dadu itu sendiri, terdapat sabda Rasulullah saw yang menjadi larangannya:

[11]عن أبي موسى عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : من لعب بالنرد فقد عصى الله ورسوله

Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah berbeda dari sebagian ulama syāfi’iyah dan ulama lainnya yang membolehkan permainan catur selama tidak melakukan taruhan. Karena mereka menganggap bahwa lafal al-maysir yang terdapat dalam surat al-Mā’idah : 91, hanya menunjukkan pada permainan yang mengandung taruhan,sehingga yang diharamkan adalah memakan harta yang bathil[12].

—————————————————————————————————————–

[1]  ‘Abdurraḥman Yūsuf al-Qarḍāwi, Naẓariyyah maqāṣid as-Syarī’ah ‘inda Ibni Taimiyah wa Jumhūr al-Uṣūliyyin, (Mesir, Jāmi’ah al-Qāhirah, 2000), hal. 171

[2]  ‘Abdurraḥman Yūsuf al-Qarḍāwi, Naẓariyyah maqāṣid as-Syarī’ah ‘inda…, hal. 172

[3]  Ibid, hal. 177

[4] (Q.S. al-An’âm : 122)

[5]  Ibid

[6]  Ibid, hal 180

[7] Ibid, hal. 196

[8] Hadis ini terdapat pada ṣaḥiḥ Muslim (2/110), Sunan at-Tirmiżi (1/301), ṣaḥiḥ Ibn Khuzaimah (1/171) dan lain-lain.

[9] (Q.S.an-Nisâ’ : 142)

[10]  Ibid, hal. 197

[11] Hadis ini terdapat pada Sunan Abi Dawud (2/958), Sunan Ibn Mājah (4/691), Musnad Imam Aḥmad (4/394) dan lain-lain.

[12] Ibid, hal. 199

Qaem Aulassyahied

Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) PP Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar