Santri Cendekia
Sumber gambar: https://www.pexels.com/
Home » Metafora al-Quran Dalam Melukiskan Makna Kehidupan Bagi Manusia

Metafora al-Quran Dalam Melukiskan Makna Kehidupan Bagi Manusia

Manusia senantiasa menjadi misteri saat ia meletakkan dirinya sebagai objek perenungan, karena akalnya pada titik tertentu akan berhenti pada ketidaktahuan.

Ia tentu tidak akan menjadi makhluk yang utuh, kosong dan kehausan makna jika tidak ada rujukan yang dapat menjelaskan keberadaan dirinya secara utuh.

Dalam hal ini, Islam adalah risalah yang diklaim paling sempurna (superior) dan lengkap, sebagai rujukan dalam menjelaskan konsep diri dan makna hidup bagi manusia dengan berbagai asepknya yang menyeluruh (kāffah).

Islam memiliki konsep yang khas dan unik terkait diri manusia. Konsep diri dan makna kehidupan bagi manusia dalam Islam salah satunya dapat dijelaskan dengan sistem akar kata dengan mengikuti berbagai derevasinya sebagai satu konsep yang utuh.

Sistem kata tersebut terdapat dalam bahasa Arab yang kemudian disempurnakan dengan bahasa al-Quran pada berbagai sisinya. Sistem akar kata inilah yang secara mandiri dapat menjelasakan berbagai kata kunci dalam Islam, yang menyibak berbagai konsep dan makna yang terkandung dibaliknya.

Sebelum mengulas akar kata yang dimaksud, perlu diketahui al-Quran sebagai rujukan utama Islam mengumpamakan kehidupan manusia sebagai suatu perdagangan atau permodalan (تِجَارَة).

Hal ini sangat sejalan dengan tabiat manusia sebagai makhluk economicus, yang selalu mengukur kehidupan dengan neraca untung dan rugi. Tidak ada manusia yang ingin rugi. Namun sebaliknya, setiap manusia ingin mencari keuntungan dalam hidupnya.

Lalu bagaimana pertautan konsep perdagangan tersebut dengan diri manusia ?

Agama dalam Islam dikenal dengan istilah دِيْنٌ (QS. Ali ‘Imran: 19), yang berasal dari kata َدَان, yang memikiki arti berhutang.

Hutang dalam bahasa Arab juga disebut dengan ٌدَيْن. Di sini, Islam mengartikulasikan agama dan hutang dengan jumlah dan susunan kata yang sama, dan dengan pelafalan yang nyaris serupa. Oleh sebab itu manusia yang beragama dalam pandangan Islam disebut sebagai yang berhutang ( ٌدَائِنٌ/مَدِيْن).

Baca juga:  Beragama Perspektif Psikologi

Lalu hutang apakah yang dimaksud Islam atas diri manusia tersebut ? Ialah hutang eksistensi, hutang daya dan hutang fasilitas berkehidupan. Lantas, kepada siapa manusia itu berhutang ?

Dalam Islam, seorang yang beragama hakikatnya sedang berhutang dan meminjam modal untuk melakukan amanah jual-beli (بَيْعَة) dan pertukaran barang jual-beli (اشْتَرَى).

Beruntung atau tidaknya perdagangan (رَبِحَ اتِجَارَة أو مَا رَبِحَ اتِجَارَة) ialah tergantung pada rasa tau diri sebagai yang berhutang dan penunaian janjinya kepada Pemberi hutang (الدَيَّان), yakni Allah ‘Azza Wajalla.

Rasulullah sendiri sebagai utusan Allah disebut sebagai دَيَّان, yaitu orang yang mengatur transaksi hutang piutang manusia dengan Allah ‘Azza Wajalla, beliaulah yang mengajarkan manusia bagaimana cara membayar hutang tersebut dengan cara yang baik. Dalam bahasa yang senada Allah ‘Azza Wajalla berfirman :

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS. Al-Baqarah: 245).

Qardh (قَرْضٌ) dalam bahasa Arab berarti pinjaman; amalan yang baik. Pinjaman pada umumnya tentu memiliki batas tempo. Lalu kapankah batas tempo tersebut ? Yakni ketika tegaknya pengadilan dan penghakiman (دَيْنُوْنَة). Pada hari apakah itu ? Ialah pada hari pembalasan (يَوْمُ الدِيْن).

Pada hari itu, para depkolektor Allah ‘Azza Wajalla dari kalangan malaikat akan bertanya tentang beberapa perkara terkait pinjaman manusia kepada Allah. Di antaranya ialah tentang umur, untuk apa ia digunakan ? Ilmu, pernahkah ia diamalkan ? Harta, dari mana dan ke mana ia dibelanjakan ? Tubuh, untuk apa saja ia difungsikan ? Dan seterusnya.

Makna pinjaman yang dimaksud dalam istilah qardh tersebut bukanlah sebagaimana makna pinjaman yang terdapat dalam kebanyakan transaksi perbankan atau mualah sesama manusia pada umumnya.

Baca juga:  KH. Hasan Abdullah Sahal Tentang Hakikat Ulama dan Pesantren (2)

Jika sebuah bank penyedia modal melazimkan pembebanan bunga hutang kepada pihak nasabah saat membayar, maka sebaliknya Allah ‘Azza Wajalla justru memberikan tambahan keuntungan yang berkali lipat besarnya kepada manusia yang ikhlas dan benar dalam mengembalikan pinjaman dari-Nya.

Pada titik ini, jelas bahwa perdagangan dan permodalan dalam konsep Islam terkait dengan diri manusia sangat bertolak belakang dengan konsep perbangkan atau mualamah secara umum. Namun, itulah pointnya.

Manusia yang melakukan pinjam meminjam yang baik dan benar dengan Allah tidak akan pernah rugi (خَاسِرُوْن), karena manusia tidak saja mendapat apa yang diusahakan, melainkan juga diberikan tambahan yang berlipat ganda dari apa yang ia usahakan (مُفْلِحُوْن).

Lebih jauh, derevasi kata ٌدِيْن itu jika dihubungkan satu sama lain sebagai sebuah konsep kehidupan bagi manusia, maka konsep tersebut akan menayangkan sebuah organisasi masyarakat kosmopolitan dan beradab, lengkap dengan undang-undang, pemerintahan dan keadilan, kesusilaan, akhlak dan ilmu.

Selain itu, penjabaran al-Quran tentang makna دِيْنٌ memiliki beberapa makna yang lebih gamblang seperti undang-undang (QS. Yusuf: 76), hukum (QS. An-Nur: 2), aturan (QS. Asy-Syura: 21), pembalasanan (QS. An-Nur: 25), dan penyembahan atau ibadah (QS. Al-A’raf: 29).

Pada tatanan inilah kemudian untuk pertama kalinya puncak peradaban Islam yang dibangun oleh Rasulullah yang berpijak pada al-Quran disebut sebagai مَدِيْنَة atau kota Madinah, yang sebelumnya kota tersebut disebut dengan Yatsrib.

Kata مَدِيْنَة sesuai makna asalnya memiliki arti berbudaya, atau dapat juga dipahami dengan padanan lain seperti تَمَدُّنٌ, yang berarti per-adab-an. Dengan demikian, kedua kata tersebut memberikan natijah bahwa satu-satunya budaya dan peradaban yang menjadi rujukan oleh penduduk kota tersebut sebagai generasi terbaik adalah Islam.

Baca juga:  Cara Bijak Merespon Isu Terorisme

Kota Madinah menjadi kota yang identik dengan orang-orang muslim, yakni orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan Rasulullah-Nya dan mengakui keberhutangan diri mereka kepada Allah serta taat dalam mengemban amanah perdagangan tersebut dengan penuh kerelaan.

Dengan satu akar kata yang sama, yakni دِيْنٌ, kita dapat memahami makna yang utuh tentang diri manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan dan berper-adab-an sebagai mana yang tergambarkan pada masyarakat kota Madinah kala itu. Dan manusia tidak akan puas akan dirinya dan senantiasa kehilangan makna jika ia tidak merujuk kepada Islam sebagai sumber dari segala makna. Ini menunjukkan bahwa hanya Islam saja yang dapat memberikan makna yang utuh, sempurna dan menyeluruh bagi manusia. Wallahu Ta’alā A’lam.

Sumber :

Risalah untuk Kaum Muslimin karya Syed Naquib al-Attas

Rolan Al Fatih

Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhamamdiyah PP Muhamamdiyah

1 komentar

Tinggalkan komentar

  • Mohon pencerahanya.
    Sering dalam melakukan ibadah Kita mengalami nain turun.
    Pernah saya baca dalam satu ayat. Yang mengatakan bahwa.
    Wa maa tasyaauuna illa anyasaa allah.
    Disatu sisi ini memberikan pengertian krpada kita, bahwa Allah yang menjafikan kita bisa berbuat sesuatu.
    Namun kadang ayat ini pula membuat saya pasrah bongkokan.
    Gimana ya cara memahami ayat ini agar tetap semangat dalam menempuh jalan Allah.