Santri Cendekia
Home » Agama, Sains, dan Mimpi-mimpi Liar Umat Manusia

Agama, Sains, dan Mimpi-mimpi Liar Umat Manusia

Kemajuan sains dan teknologi telah memungkinkan manusia menjelajahi realitas yang bahkan tak terjangkau oleh mimpi paling liar manusia primitif. Penemuan kompas membuka cakrawala baru petualangan manusia. Layar-layar kapal dibentangkan, para pelaut yang gagah berani mulai menarik tali sekuat tenaga demi mendapatkan angin. Mereka berbondong-bondong menjelajahi misteri dunia. Petualangan manusia telah membuka khazanah baru tentang dunia sekaligus menumbuhkan hasrat untuk menumpuk kekayaan.

Saat para penjelajah itu pulang membawa hasil rempah dari negeri jajahan. Mereka lantas membikin kota-kota sibuk dengan arus perdagangan antar wilayah. Mobilitas menjadi alas tumpuan peradaban manusia sekaligus menjadi lahan berkembang biak paling ideal bagi patogen. Akibatnya, wabah The Black Death mengamuk pada abad ke-14. Virus cacar meledak pada abad ke-16. Penyakit sepilis dan tuberkulosis tumbuh subur di Kepulauan Hawaii pada abad ke-18. Flu spanyol menjadi mimpi buruk bagi manusia awal abad ke-20.

Pada awal abad ke-21 tsunami-tsunami wabah terus berlanjut dengan karakter virus yang lebih canggih. Walau dunia kodekteran dapat memukul mundur mereka dengan merekayasa bakteri yang mampu memproduksi pengobatan, membuat biofuel, dan membunuh parasit-parasit. Namun kedatangan rombongan kuman seakan lebih sering hadir mengetuk pintu kehidupan manusia. Tahun 2002 virus SARS, tahun 2003 wabah flu burung, tahun 2009 flu babi, dan tahun 2014 epidemi ebola.

Pada tahun 2019, semua orang mengira bahwa armada kuman telah sepenuhnya kalah di tangan umat manusia. Kedokteran modern memang telah berhasil menjinakkan sebagian besar wabah paling mematikan dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk pelayanan dan industri medis. Namun kemenangan sesaat ini membuat kita lengah. Pada akhir tahun 2019, kerabat terdekat virus SARS yang bernama COVID-19 mengintai kita di suatu sudut. Pada awal tahun 2020 mereka tiba-tiba menyapa umat manusia dan membuat geger seluruh bumi.

Sekarang kita kewalahan menghadapi bala tentara corona. Mereka dapat bergerilya dengan begitu cepat dari satu tubuh ke tubuh yang lain. Saat satu tubuh manusia terkena serangan corona maka sama artinya dengan membawa satu kargo pasukan virus dalam tubuhnya. Karenanya, menghadapi keuletan virus ini harus dengan menganggap semua orang sebagai mata-mata corona. Kita harus berpikir bahwa di suatu tempat di antara triliunan sel dalam tubuh seseorang terdapat ranjau-ranjau mikroskopis yang ditanam oleh pasukan-pasukan kuman tak kasat mata.

Baca juga:  Problem Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Merajut Kembali

Apa yang harus kita lakukan dalam situasi perang melawan pandemi global ini? Al-Ghazali dalam kitab al-Hikmatu fi Makhluqati al-Illah mengajak kita untuk merenungi setiap hikmah yang terhampar luas di semua gugusan semesta. Kita mestinya percaya bahwa wabah corona telah menjadi bagian integral dari rencana kosmis Tuhan agar manusia kembali menyusun ulang makna kehidupan. Tuhan selalu memiliki berbagai cara agar manusia merenungi setiap proyek apa yang mereka kerjakan dan menegurnya manakala terlalu liar dalam mewujudkan hasrat manusia itu.

Dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah disebutkan bahwa pengertian agama bukan hanya sebatas pada aturan-aturan normatif dari Allah melainkan juga penghayatan manusia terhadap kehidupan. Derajat keislaman seseorang ketika purna melaksanakan salat lima waktu tidak serta merta langsung menuju tingkatan yang kaffah. Kemuliaan manusia akan diangkat derajatnya oleh Allah manakala dapat bersabar dalam ujian dan cobaan (QS. 2: 155). Manusia yang memahami dengan baik hakikat bencana akan mempersepsi bahwa wabah corona sebagai sebuah kebaikan (QS. 16: 30) dan medium meningkatkan kualitas iman dan akal.

Dalam Fikih Kebencanaan menyebutkan bahwa bencana yang menimpa manusia bukan semata-mata bentuk amarah Allah kepada ras manusia tertentu. Sebaliknya bencana merupakan bentuk kebaikan dan kasih sayang (rahmah) Allah kepada manusia. Jadi bencana bukan sebagai masalah melainkan anugerah. Kita dapat memposisikan pandemi global ini sebagai media untuk introspeksi seluruh perbuatan manusia yang mendatangkan peristiwa yang merugikan manusia itu sendiri.

Walau kita mafhum bahwa seluruh peristiwa yang terjadi merupakan wujud dari kehendak Allah terhadap alam, manusia tidak mampu menjangkaunya. Jika Allah menghendaki musibah pada suatu kaum, maka akan menimpa orang shalih juga orang kafir, tetapi Allah akan membangkitkan dalam kondisi yang berbeda-beda. Masa depan hanya Allah saja yang tahu, manusia tidak tahu. Manusia tahu ketika ketetapan itu sudah terjadi, dan mengakumulasi ketetapan-ketetapan Allah yang telah terjadi itu untuk menyusun strategi menyongsong masa depan.

Baca juga:  Kalender dan Tradisi Interkalasi Bangsa Arab Silam

Karenanya, musibah merupakan cara Allah agar manusia kembali pada kebenaran (QS. 7:168). Jika manusia berhasil menyikapi pandemi corona ini dengan tepat sasaran, maka dia menjadi hamba terkasih dari Allah. Begitu sebaliknya, jika manusia tidak berhasil menyikapinya dengan baik, maka dia termasuk orang perlu mendapatkan ujian lebih banyak lagi. Artinya kuman-kuman itu akan lebih sering menyerang sel-sel paling rapuh dalam tubuh manusia.

Menurut Jared Diamond dalam bukunya yang terkenal Guns, Germs & Steel menyebutkan bahwa domestikasi hewan menjadi awal dari pindahnya sejumlah mikroba ke dalam tubuh manusia. Flu burung berasal dari ayam, flu babi berasal dari babi, ebola berasal dari kelelawar dan monyet, dan virus corona datang dari ular dan kelelawar yang jadi santapan. Jadi wabah merebak bersamaan dengan keangkuhan manusia untuk mendomestikasi hewan liar demi menopang kantong-kantong perut mereka.

Ancaman kepunahan spesies manusia bukan dari hewan mamalia besar, melainkan dari makhluk mungil yang bahkan tak memiliki taring. Kemunculan wabah merupakan teguran dari Allah karena manusia telah melenceng dari tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Teguran yang Allah berikan ini menjadi penanda penting agar jangan sampai menangkapi hewan secara membabi-buta, menjadikan mereka obyek tontonan dan santapan manusia.

Dalam jangka pendek kita harus menaati arahan dari para ahli medis. Berdiam di rumah, tidak melakukan kegiatan massal, saling mengingatkan untuk hidup bersih. Dalam jangka panjang, manusia harus merawat keberlangsungan lingkungan dengan menerapkan prinsip-prinsip keafiran ekologis. Menghentikan industri yang merusak lingkungan, menghijaukan hutan-hutan yang telah ditebang, memberikan kenyamanan rumah bagi satwa-satwa liar. Jika kita mengabaikan hal ini, teguran Allah pada manusia dalam bentuk virus akan lebih kejam lagi.

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar