Santri Cendekia
Home » Mengapa Moderasi Beragama Saja Tidak Cukup

Mengapa Moderasi Beragama Saja Tidak Cukup

Ada beberapa kata yang sering dilontarkan sebagai cap buruk dalam diskursus publik kita beberapa dekade belakangan. Di antaranya radikalisme dan ekstremisme. Kedua terma ini adalah terma yang loaded; ada banyak sekali makna dan kepentingan yang menumpang padanya. Termasuk ketika ia digunakan dalam kaitannya dengan agama, dan memang selama ini penggunaan istilah ini hampir secara ekslusif digunakan dalam konteks keagamaan.

Tampaknya, selama ini baik “radikalisme bergama” ataupun “ekstrimisme bergama” selalu didefinisikan sebagai pihak lain. Oleh karena itu, penggunannyapun cenderung berkonotasi siapa saja yang cara beragamanya merugikan kepentingan si pembuat definisi, atau tidak sejalan dengan ideologinya. Sedangkan istilah yang digunukan sebagai lawan dari keduanya adalah moderat. Sama seperti dua istilah yang sering dipertentangkan dengannya itu, isitilah moderat pun kerap kali dirumuskan maknanya dengan penuh kepentingan.

Contoh yang paling gamblang adalah definisi Muslim moderat yang pernah dikampanyekan oleh RAND Corporation. Pada 2007 silam think tank negeri Paman Sam yang memang punya reputasi sebagai pendukung intelektual kebijakan luar negeri AS ini pernah membuat sebuah program bertajuk Building Moderate Muslim Networks. Di dalamnya, diidentifikasilah siapa saja parner yang bisa dirangkul. Dengan eksplisit disbutkan bahwa contoh penting yang bisa dirangkul sebagai Muslim moderat adalah kelompok seperti JIL dengan tokohnya ketika itu, Ulil Abshar Abdallah. Seperti yang kemudian disimpulkan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi (2012) dalam catatannya ketika menghadiri satu forum dengan salah satu peneliti RAND; istilah moderat bisa diplesetkan menjadi sama arti dengan liberal. Atau bahkan bisa menjadi anti Islam dan pro-Barat.

Dalam konteks kaitannya dengan negara, Jilian Schwedler telah menunjukan problematika dibalik istilah moderat. Menurut profesor ilmu politik dari City Univ of New York ini, terma “moderat” cenderung hanya dipakai untuk melabeli setiap kelompok yang dianggap tidak mengancam kepentingan kelompok elit atau penguasa. Sedangkan terma lawannya, terutama “radikal” hanya dipakai untuk menyifati kelompok yang secara tegas menentang konfigurasi kekuasaan dalam status quo (Schwedler, 2011).

Di Indonesia sendiri, radikalisme memang didefinisikan dalam kerangka relasi kelompok tertentu dengan negara. Mereka yang radikal, menurut definisi BNPT (2016), adalah mereka yang memegangi suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Jadi ekstremisme dianggap sebagai akibat dari sikap radikalisme, dan bentuk ekstremisme yang kejam itulah yang disebut terorisme. Memang perlu diakui bahwa sebuah masyarakat tidak akan berjalan normal tanpa adanya konsensus yang mengikat sebagai “aturan main” bersama. Dalam konteks ini, radikalisme menjadi problematik. Apalagi jika kelompok itu mengekspresikan pandanga radikalnya dalam tindakan-tindakan kejam yang mengancam keselamatan mereka yang tidak berdaya membela diri.

Baca juga:  Meninjau Gugatan Feminisme terhadap Institusi Rumah Tangga dari Perspektif Islam

Jadi sikap radikal dan tindakan ekstrem bisa muncul dari motivasi yang beragam. Asumsi bahwa radikalisme dan ekstremisme muncul dari agama saja adalah sebuah asumsi keliru. Asumsi-asumsi seperti inilah yang melahirkan upaya pengarus utamaan moderatisme yang kurang tepat sasaran. Dalam beberapa kasus, malah kontraprodiktif. Sebabnya, upaya pengarus utamaan moderatisme yang berangkat dari asumsi ini cenderung diarahkan untuk mengangkat suara-suara tokoh atau kelompok yang serba akomodatif. Dalam konteks Islam, seperti dalam kasus proyek RAND Corp, yang dirangkul malah kelompok liberal. Padahal pandangan keagamaan kelompok ini tidak populer. Dalam bahasa Wan Mohd Nor Mohd Daud (2017), program semacam ini malah mengalienasi dan bahkan punya potensi memantik radikalisasi baru.

Kesimpulan Wan Mohd Daud tersebut dikonfirmasi oleh evuluasi Shahar  Aziz (2017) terhadap program anti ekstremisme (Counter Violent Extremism/CVE) di Amerika Serikat. Menurut temuannya, program anti-ekstremisme AS  malah menghabiskan sumber daya untuk memata-matai umat Islam di sana. Sementara itu, program ini gagal menangani fenomena meningkatkan aksi kekerasan oleh kelompok ekstremis neo-Nazi. Akibatnya, program ini malah semakin menguatkan argumen kelompok teroris bahwa umat Islam memang dizalimi. Padahal, menurut Shahar Aziz, Narasi “dizalimi” (narrative of oppression and injustice) inilah yang kerap sukses merayu pemuda Muslim untuk bergabung dengan kelompok teroris. Akhirnya, ekstremisme ISIS tidak tertangani, malah muncul potensi radikalisasi baru, dan kekerasan oleh kelompok ekstremis yang tidak terkait Islam menjadi tidak tergubris sama sekali. Sepertinya cukup jelas bahwa akar kegagalan CVE ala Amerika Serikat adalah karena ia berangkat dari asumsi keliru bahwa agamalah akar dari radikalisme-ekstremisme itu. Semoga program serupa di Indonesia tidak terjatuh pada jurang yang sama.

Memang sudah banyak peneliti yang mengkritik pandangan simplistik yang hanya melihat aspek ideologis dari radikalisme-ekstremisme. Alih-alih terlalu fokus kepada persoalan ideologi (termasuk agama), banyak peneliti kini berfokus kepada fakta bahwa radikalisme-ekstremisme, bahkan dalam konteks beragama, itu bersifat multidimensioanl (Wibisono, Louis, dan Jetten, 2019). Kumar Ramakrishna bahkan berpendapat bahwa ada faktor bawaan lahir (human nature) dalam diri kita yang membuat kita berpotensi menjadi ekstremis. Namun tetap saja potensi yang dinamainya Manichean mindset itu hanya menjelma ekstremisme dan terorisme jika berada dalam kondisi-kondisi sosio-politik-kultural tertentu (Ramakrishna, 2015).

Baca juga:  Dewesternisasi Ilmu; Upaya Al-Attas Mengobati Kanker Epistemologis

Tentu tetap harus digaris  bawahi bahwa memang agama, dalam hal ini Islam, bisa saja dipahami dengan keliru untuk menjustifikasi suatu pendirian dan tindakan ekstrem. Itulah sebabnya, baik al-Qur’an maupun hadis memperingatkan agar tidak terjebak sikap-sikap demikian. Islam bahkan mengecam sikap ekstrem di semua dimensi hidup; dalam ibadah ritual, dilarang untuk ghuluw  (QS. 4:171), untuk muamalah dilarang keras untuk israf (QS. 7:31), bahkan ketika harus berperang, maka tidak boleh ada tindakan-tindakan ekstrem di dalamnya (QS. 2:190). Konsep-konsep dasar ini menjadi pijakan oleh para ulama sehingga seperti yang ditegaskan oleh Wan Daud, selama 14 abad usianya, ideologi-ideologi ekstrem selalu marginal dan tertolak dalam Islam. Ide-ide marginal itu baru dilirik orang ketika kondisi hidup mereka porak-poranda. Munculnya ISIS dari puing-puing perang Irak, Taliban-Alqaeda dari reruntuhan Perang Afgan-Soviet adalah bukti yang nyata. Tidak mungkin hanya karena membaca ayat tentang jihad, lalu langsung menjadi teroris.

Dengan keinsafan bahwa ekstremisme, bahkan yang memakai bahasa agama, tidak muncul di ruang hampa, maka perlu pulalah konseptualisasi moderatisme yang lebih sesuai. Relevanlah argume yang diajukan Prof. Haedar Nashir dalam pidato pengukuhan guru besar beliau dulu. Tuntutan untuk bersikap moderat tidak lagi semata-mata ditujukan kepada kaum beragama dengan segenap kecurigaan. Namun juga kepada berbagai aspek dan elemen bangsa. Dengan demikian, sikap moderat bukan lagi berbentuk senarai ciri-ciri yang harus diikuti oleh umat beragama agar tetap dianggap orang baik-baik. Moderat menjadi lebih bermakna, menjadi sebuah standar etik yang mesti diperhatikan oleh semua agar tindak-tanduknya tidak melanggar konsensus  bersama dan menggilas kemanusiaan orang lain.

Menurut sosiolog bersahaja itu, moderatisme Indonesia dan keindonesiaan bisa ditempuh melalui empat jalur. Pertama dengan menempatkan Pancasila dengan proporsional sebagai konsensus bersama. Memposisikan Pancasila vis a vis agama dengan demikian adalah bentuk ekstremisme. Kedua, moderasi dalam manajemen sosial-ekonomi. Ketiga moderasi dalam pembangunan. Dalam pandangan beliau, persekongkolan segelintir oligarki politik dengan pengusaha hitam yang menyetir arus pembangunan dalam ekonomi eksploitatif adalah bentuk ekstremisme. Beliau bahkan mengingatkan bahwa dalam sikap nasionalisme sekalipun, kita harus moderat sehingga tidak berkembang ke ultra-nasionalisme atau chauvinisme.

Baca juga:  Membesarkan Anak di Tengah Fitnah LGBT (Catatan Seminar Sexual Education and Islamic Parenting)

Suasana kehidupan berbangsa yang rusak akibat ragam ekstremisme yang disinggung Haedar ini pada gilirannya akan melahirkan sikap tak percaya terhadap negara. Wujud dari ketidakpercayaan itu bisa saja menjadi apatisme. Namun bisa pula berkembang menjadi keinginan revolusioner untuk menghacurkan tatanan lama dengan cara-cara yang ekstrem. Sebab dalam visi ini, negara tidak bisa lagi diperbaiki dengan cara baik-baik. Kekerasan adalah satu-satunya jalan. Sikap inilah yang disebut radikalisme-ekstremisme-terorisme dalam konsepsi BNPT.  Menurut Vedi Hadiz (2008), di Indonesia radikalisme Islam sebenarnya terkait dengan peran Islam yang kerap digunakan sebagai media artikulasi protes terhadap isu-isu keadilan sosial. Maka bisa disimpulkan bahwa ragam ekstremisme berbangsa yang disebutkan oleh Haedar Nashir pada akhirnya akan melahirkan radikalisme-ekstremisme berbaju Islam.

Akhirnya, sikap ekstremisme dalam semua bentuknya itu adalah sesuatu yang terkutuk dan berbahaya. Itu karena para ekstremis cenderung tidak menghargai kemanusiaan siapa saja yang dianggap menghalangi visi ekstremnya. Sesungguhnya, dibalik banyak kematian tragis yang terjadi akhir-akhir ini di negeri kita tercinta, ada ekstremisme terkutuk itu. Gerombolan mujahid palsu di Sigi tega menghabisi nyawa orang tidak berdosa karena ekstremisme beragama. Tapi perlu pula diingat bahwa jika sebuah sistem dibangun dengan maksud agar semua suara terdengar, seperti apa yang kita yakini berlaku di negeri ini, maka upaya untuk membungkam dissenting opinions adalah indikasi radikalisme dalam definisi BNPT. Betapa tidak, upaya seperti itu adalah indikasi adanya keinginan untuk mengubah suatu nilai mendasar, yakni hak menyampaikan pendapat. Apabalia pembungkaman itu menjelma tindak kekerasan apalagi pembunuhan terhadap para penyampai aspirasi itu, maka tidak salah lagi, pelakunya adalah seorang ekstremis; dan terkutuklah para ekstremis itu!

Tulisan ini pernah dimuat di majallah Tablig. Silakan baca versi printnya di link ini, pak buk.

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar