Santri Cendekia
Home » Munajat Semesta; Sebuah Untaian Renungan

Munajat Semesta; Sebuah Untaian Renungan

Muhammad Qorib*

Malaikat tak hendak membantah Allah dalam proses penunjukan manusia sebagai khalifah. Mahluk tak bersyahwat tersebut pernah mencatat pengalaman pahit yang dilakukan manusia. Ini jejak kelam yang tak akan lekang dari rahim sejarah. Sifat tercela yang lekat dalam diri manusia adalah suka membuat kerusakan dan gemar menumpahkan darah. Malaikat sontak terdiam, ketika Allah menjelaskan bahwa Dia Maha Mengetahui apa yang malaikat tidak tahu.

Akhirnya manusia dinobatkan menjadi khalifah di muka bumi ini. Amanah sakral itu datang dari Allah. Uniknya, predikat untuk menjadi pemangku amanah sebelumnya ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung, namun semuanya enggan. Dengan sangat berani namun rapuh, manusia menerima hal tersebut.

Nestapa Global

Benar saja, kekhawatiran malaikat sejurus dengan bukti. Sifat iri dan dengki, enggan mengakui eksistensi dan kelebihan orang lain, serta kesenangan menodai bumi dengan percikan darah adalah nestapa perdana dan prahara karena ulah manusia. Nyawa sebagai hasil kreasi Zat Yang Maha Suci menjadi tak berarti di hadapan Qabil, anak Adam yang dikenal buruk perangai itu. Dengan mudahnya ia membunuh saudara sedarahnya, Habil. Modusnya sangat sederhana, yaitu iri, dengki, tak ingin tersaingi dan jiwa serakah. Itulah pembunuhan pertama yang dilakukan manusia dalam catatan bumi.

Pembunuhan demi pembunuhan di kemudian zaman tetap langgeng dan seolah tak bertepi. Pembunuhan seperti mahluk  biadab dengan sejuta nyawa, kekar dalam raga namun tanpa rasa. Pembunuhan tersebut tak pernah padam dan terus bergelora. Predikat manusia sebagai pengelola bumi yang lahir dari cetak biru ilahi terkapar kaku di jalan buntu. Alih-alih merangkak dan berjalan sesuai skenario Allah, tindakan manusia justru melahirkan petaka semesta.

Dalam langkah gontai dan ayunan kaki yang hampa, Allah menurunkan agama untuk manusia. Agama seumpama lentera dalam gelap, berfungsi sebagai penunjuk jalan dan selimut untuk menghangatkan jiwa. Tidak dengan tiba-tiba, agama berproses dan menyejarah lewat ajaran para nabi dan rasul.

Banyak yang bersorak sorai dengan kemunculan agama, namun tak sedikit yang mencibir bahkan memaki-maki agama. Yang bersorak sorai juga terbelah ke dalam dua rombongan. Sorak sorai pertama menunjukkan kegembiraan yang otentik. Dengan agama, kegamangan hidup umat manusia menjadi sirna berganti keteguhan hidup dan optimisme.

Sorak sorai  kedua menunjukkan bahwa agama adalah injeksi psikologis paling ampuh untuk meninabobokkan umat manusia. Nalar sehat mereka mudah sekali diarahkan sesuai dengan keinginan desainer dan pengelola agama itu.

Baca juga:  Ardian Syaf, Korban Jahatnya Disinformasi

Dalam konteks ini, agama tak lebih dari sekedar korporasi nestapa yang bersifat global. Korporasi tersebut sering tampil gegap gempita namun kering makna dan tak membekas. Agama mestinya menjadi jalan lurus yang berujung pada ketenangan hidup. Agama juga mestinya menjadi melati sukma, harum semerbak yang berujung pada rasa damai dan tenteram serta cinta sesama.  Tapi ternyata idealitas itu tak lebih sebagai teks beku dalam narasi kitab suci.

Seperti pinang dibelah dua, sikap beragama tersebut sebangun dan seirama dengan manusia yang meninggalkan agama secara total. Keduanya berseteru secara simbolik namun bersekutu secara substantif. Agama menjadi momongan yang lucu dan menghibur pada satu sisi, namun juga pedang terhunus dari para pendekar mabuk yang haus apresiasi dan kekuasaan pada sisi lain. Secara kasat mata mereka saling berhadapan, namun sesungguhnya dipertemukan dalam hasrat dan cita-cita.

Demikianlah, menembus labirin waktu, dunia dikuasai oleh para penyamun global. Manusia dengan predikat tersebut melahap apa saja yang tersaji di altar kehidupan. Etika agama dan etika publik tak lebih dari bait-bait syair yang didendangkan untuk melepas kepenatan perebutan kesenangan. Duka dan lara, haus dan lapar, jerit dan tangis adalah jenis film dokumenter yang sangat menghibur.

Manusia memiliki tangan ajaib. Apapun yang disentuhnya bisa menjadi mainan. Semua keinginannya terimplementasi tanpa ada hambatan berarti. Terlebih ketika ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sejenis tuhan baru, manusia mempensiunkan Allah dari nalar mereka. Allah hanyalah narasi abstrak yang selalu dihayalkan oleh orang-orang yang malas berpikir.

“Bukankah semesta ini ada dengan sendirinya? Bukankah dengan kemandiriannya manusia bisa melakukan semuanya?” Inilah sinisme yang dilontarkan manusia secara pongah.

Perang, apakah atas nama agama atau demi kepentingan politik, adalah drama yang kerap dipertontonkan manusia. Tangisan, jeritan, dan kondisi sekarat pihak-pihak yang dikorbankan menjadi fragmentasi berseri dalam drama itu. Rasa puas belum mencapai grafik klimaks ketika radius korban masih sangat sempit. Perlu perluasan bencana. Hal tersebut menjadi indikator keberhasilan. Senjata perang, mulai dari yang konvensional sampai yang sangat modern, mulai dari yang kasat mata sampai yang abstrak, menjadi standar kemuliaan manusia.

Itulah sebabnya, persoalan makan dan minum serta kesejahteraan hidup manusia kerap terabaikan demi koleksi berbagai senjata pemusnah massal itu. Semakin dikoleksi semakin ada saja yang terasa kurang. Dunia yang begitu luas dan layak dihuni oleh semua manusia dikuasai atas nama sebuah bangsa atau korporasi.

Baca juga:  Kerangka Konsep Tauhid Ekologis

Benarlah, bagi manusia, dunia tak lebih dari sebuah panggung sandiwara. Masing-masing memiliki peranan. Ada peran yang wajar namun ada pula peran yang lompat ke luar batas kewajaran. Yang akan keluar sebagai pemenang tentunya sutradara yang paling canggih dalam menyusun alur cerita.

Kini manusia bermunajat kepada Allah. Bahwa apa yang dilakukannya selama ini ternyata merupakan fatamorgana. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagian menjadi bumerang mematikan. Ini dibuktikan dengan munculnya virus pada skala global.

Sejenak hiruk pikuk dunia terhenti, terdiam dan membisu. Hampir semua wilayah di dunia ini terjajah oleh mahluk mematikan itu. Virus itu tak mengenal kasta. Mulai dari bangsawan dan raja-raja sampai kelompok manusia yang tak berkasta tak lepas dari incarannya.

Banyak pemimpin dunia berurai air mata. Mereka seolah menyerah berperang dengan pasukan perang yang bergerak abstrak tersebut. Padahal sebelum wabah global ini muncul, para pemimpin dunia menunjukkan berbagai kemajuan dan keunggulan negaranya masing-masing. Tak terkecuali keunggulan dalam ranah kesehatan. Kini keunggulan itu menjadi cerita duka yang porak poranda. Banyak Negara adi daya kini berubah menjadi tak berdaya.

Tragedi ini menimbulkan ribuan bahkan mungkin ratusan ribu korban jiwa. Ada yang menjadi syahid, tak sedikit diantaranya yang meregang nyawa. Hidup manusia kini dihantui kecemasan, seperti sedang menanti kedatangan malaikat maut. Sebuah penantian yang paling dibenci oleh sebagian besar manusia. Rasa cemas semakin menguat dengan pemberitaan di berbagai media, terutama media sosial, atas pembantaian tragis virus itu.Hidup sepertinya akan segera berakhir ketika beberapa sahabat dekat berpulang dengan begitu cepat.

Selain penyakit biologis, yang tak kalah pentingnya adalah munculnya penyakit psikologis. Rasa takut mencuat menjadi momok tersendiri. Takut berbicara kepada orang lain, takut memegang berbagai benda, takut berbelanja, sampai takut menyentuh perkakas makan di rumah masing-masing, adalah diantara persoalan yang menciptakan ruang nestapa tersendiri. Demikianlah kepanikan yang tak beralaskan protokol kesehatan dan basis keimanan yang kokoh. Manusia disiksa oleh lingkungan dan perasaan yang diciptakannya sendiri. Mestinya jiwa menjadi raja yang siap mengatur bala tentaranya.

Baca juga:  Liberalisasi Pendidikan dan Keberhasilan Dakwah (Catatan Kuliah Bersama Ust. Adian Husaini)

Fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi harus ditinjau kembali. Keduanya bukan tuhan. Sesungguhnya ada Allah yang selama ini diabaikan. Sesungguhnya Allah Maha Penguasa dan Pengatur semesta. Namun Allah disebut ketika bencana menerpa. Allah dilupakan ketika tawa dan pesta pora.

Mestinya Allah tetap dijadikan rujukan dalam setiap keadaan, menembus batas ruang dan waktu. Manusia kini bersimpuh dan bertekuk lutut di hadapan Allah. Mereka bermunajat kepada Allah secara mondial. Ternyata manusia sangat rapuh. Kekuatan manusia tidak berarti sedikit pun di hadapan Allah.

Mestinya manusia membayangkan kehancuran dunia secara total. Dalam kitab suci keadaan itu disebut Hari Kiamat. Hari itu merupakan kehancuran yang sangat dahsyat. Pandemi virus yang kini ada boleh jadi merupakan pengantar dari Hari Kiamat yang sesungguhnya. Meskipun masih sebuah pengantar, manusia kocar-kacir dan berhamburan tunggang langgang.

Menuju Allah

Manusia mesti telanjang dan benar-benar bersih, suci lahir dan batin. Allah tidak salah ketika menunjuk manusia sebagai khalifah di bumi. Allah melengkapinya dengan manusia-manusia suci dan kitab-kitab suci. Kesemuanya untuk menjadi pelita yang harus diikuti. Allah juga menetapkan perintah dan larangan. Keduanya adalah materi ujian.

Allah Maha Tahu, dari perintah dan larangan akan keluar para pemenang dan para pecundang. Khalifah terbaik ditunjukkan dengan kehadirannya yang membawa manfaat untuk kehidupan. Khalifah yang sesuai dengan cetak biru Allah sibuk mengikuti berbagai festival kebajikan. Allah menjelaskan bahwa kebajikan yang ditanam tidak akan membuahkan hasil kecuali kebajikan pula. Allah juga menjelaskan bahwa keburukan pasti akan kembali kepada inisiatornya.

Hidup di dunia bagi manusia adalah pilihan. Ada jalan keburukan dan ada jalan kebaikan. Beruntunglah manusia yang menempuh jalan kebaikan dan merugilah manusia yang menempuh jalan keburukan. Hidup manusia sebagai khalifah penuh dengan tanggung jawab. Tentu tanggung jawab yang abadi ketika khalifah itu sudah kembali kepada Ilahi Rabbi.

Sebagai khalifah, mari sesegera mungkin kita kembali kepada Allah sebelum terlambat. Munajat dapat kita lakukan pada konteks individual, regional, nasional maupun semesta. Kita basahi pipi dengan air mata taubat dan kita bagi kebahagiaan kepada mereka yang tak seberuntung kita, terutama pada momen-momen pandemic seperti ini.

Semoga bermanfaat.

*Wakil Ketua PWM Sumut dan Dekan Fakultas Agama Islam UMSU

Muhammad Qorib

Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammaidyah Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Agama Islam UM Sumatera Utara

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar