Santri Cendekia
Home » Nabi pun Berijtihad

Nabi pun Berijtihad

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

            Kita semua sepakat bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang manusia dan Nabi yang ma’shum. Ma’shum di sini, para Ulama memberikan pengertian bahwa Rasulullah dijamin terbebas dari berbagai kesalahan dan dosa yang sifatnya berhubungan dengan dasar-dasar hukum syari’ah. Namun ternyata sebagai seorang manusia juga, Rasulullah pernah melakukan kesalahan, loh kesalahan bagaimana maksudnya? Tentu saja kesalahan-kesalahan yang berhubungan dengan ijtihad beliau dalam sebuah persoalan yang dimana belum turun Wahyu atau nash-nash dari Allah ‘azza wa jalla untuk membahas hukum dari persoalan tersebut. Terkadang Wahyu turun langsung untuk meluruskan ijtihad Nabi yang kurang tepat, terkadang Nabi sendiri yang mengubah hasil keputusan dari ijtihadnya berdasarkan masukan para sahabat-sahabat beliau yang mulia.

            Tentu hal ini bukanlah sebuah kecacatan bagi beliau, melainkan justru sebuah hujjah dan bukti bahwa apa yang selama ini beliau sampaikan bukanlah perkataan yang muncul dari hawa nafsu beliau. “dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm 3-4). Dari fenomena semacam ini pula, kita bisa memahami betapa luas, besar, dan jantannya jiwa Rasulullah untuk tak segan menyampaikan kesalahan beliau atau mengubah pendirian dan pendapat beliau di depan umat dan masyarakat yang dipimpinnya. Hal yang mungkin begitu sulit untuk kita lakukan.

            Kondisi semacam ini pula, yang justru menjadi Hikmah dan pelajaran besar bagi umat muslimin sepanjang zaman. Bahwa peran ijtihad begitu penting untuk menyambut tantangan zaman yang memiliki permasalahan yang terus berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Dengan memahami ini pula, kita akan menjadi lebih menghargai ijtihad-ijtihad para ulama salaf dan khalaf yang mewarnai bangunan peradaban islam selama 14 abad ini.

Baca juga:  Imam Asy-Syafi'i Lemah Dalam Hadits?

            Adapun 2 contoh ijtihad yang pernah Rasulullah lakukan dan mendapat ‘teguran’ langsung dari Allah ‘azza wa jalla melalui wahyu ;

  1. Selepas kemenangan di perang badar, Rasulullah SAW berdiskusi dengan Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra mengenai tindakan yang akan mereka lakukan kepada para tawanan perang. Adapun Abu Bakar mengusulkan agar tawanan diampuni nyawanya dan muslimin meminta tebusan kepada Quraisy untuk pembebasan para tawanan tersebut. Sedangkan Umar bin Khattab setuju agar para tawanan itu dihukum mati dengan cara dipenggal. Akhirnya Rasulullah lebih setuju dan condong terhadap pendapat Abu Bakar dan meninggalkan pendapat Umar. Ternyata keesokan harinya, Umar mendapati Rasulullah dan Abu Bakar sedang menangis berdua di dalam masjid. Ternyata Rasulullah dan Abu Bakar menangis karena turunnya teguran Allah atas keputusan mereka mengambil tebusan untuk membebaskan tawanan, Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Al-Anfal : 67).
  2. Perkara yang menjadi sebab turunnya surat Al-Mujadilah. Khaulah binti Tsa’labah ra mendapatkan perlakuan zihar (mengumpamakan fisik istri dengan ibu) dari suaminya yang sedang marah, Aus bin Shamit ra. Menurut kebiasaan jahiliyyah, perlakuan zihar yang dilakukan seorang suami kepada istrinya berarti si suami telah mengharamkan sang istri bagi dirinya. Lalu Aus bin Shamit pun pergi berkumpul bersama kawan-kawannya. Setelah mereda, ia pun kembali dan hendak mengumpuli Khaulah. Khaulah menolak karena merasa telah mendapatkan zihar dari suaminya. Khaulah pun mengadu kepada Rasulullah untuk mendapatkan keputusan hukum. Namun Rasulullah saat itu memutuskan untuk memberi nasehat kepada Khaulah agar bertaqwa dan kembali ke rumah suaminya. Saat itulah surat Al-Mujadilah turun, Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al-Mujadilah :1) Hingga ayat seterusnya.
Baca juga:  Dari Demokrasi Islami ke Demokrasi Muslim: Memahami Perubahan dalam Pemikiran Politik Islam (4)

           Sedangkan contoh ijtihad Rasulullah SAW yang beliau ubah setelah mendapatkan masukan dan koreksi dari sahabat antara lain;

  1. Ketika menjelang perang badar, Rasulullah berijtihad untuk menentukan lokasi yang akan digunakan muslimin sebagai base camp selama berhadapan dengan Quraisy. Namun seorang sahabat bernama Hubab bin Mundzir memberikan masukan agar muslimin memilih tempat lain yang lebih strategis. Rasulullah pun menyetujui pendapat dari sahabat tersebut dan akhirnya memindahkan markas kaum muslimin.
  2. Ketika para sahabat anshar yang mayoritas berprofesi sebagai petani kurma bertanya kepada Rasulullah apakah lebih baik mereka membiarkan pohon-pohon kurma mereka mengalami penyerbukan secara alami, atau mereka yang melakukan penyerbukan itu. Rasulullah berkata kepada mereka agar mereka membiarkan penyerbukan terjadi secara alami. Namun ketika musim panen tiba, ternyata pohon-pohon kurma sahabat anshar tidak berbuah sebanyak biasanya. Para sahabat Anshar pun mengeluhkan kondisi ini. Rasulullah memberikan jawaban bahwa mereka lebih tahu dalam urusan dunia mereka dibanding Rasulullah. Maka untuk selanjutnya mereka bisa melakukan sesuai apa yang mereka tahu.

         Dengan mengetahui fakta-fakta ini, tentu hendaknya bertambah besar penghargaan dan penghormatan kita terhadap berbagai hukum produk ijtihad para ulama kita, termasuk perselisihan di dalamnya. Jangan sampai dengan aji pamungkas “kembali kepada Al-Qur’an dan As-sunnah”, kita tinggalkan dan kita kecilkan berbagai fatwa ulama salaf dan khalaf selama 14 abad ini.

 

Allahu a’lam bishshawab

 

Referensi :

[1] “Tafsir Qur’anul Azhim”, Ibnu Katsir

[2] “Ar-rahiqul Makhtum”, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar