Santri Cendekia
Home » KH. Hasan A. Sahal; “Nyatakanlah Kebenaran, Jangan Hanya Benarkan Kenyataan!”

KH. Hasan A. Sahal; “Nyatakanlah Kebenaran, Jangan Hanya Benarkan Kenyataan!”

Adalah suatu kebahagiaan bagi kami untuk bisa kembali mendengarkan nasihat-nasihat dari KH. Hasan Abdullah Sahal secara langsung. Alhamdulillah, kesempatan itu datang ketika beliau berkunjung ke Jogja untuk mengisi tablig akbar yang diadakan teman-teman FE. UII. Berikut adalah tausiyah dari beliau. Perlu dicatat bahwa sebagian isinya adalah paraphrase tanpa merubah substansi, sedang lainnya adalah kutipan langsung. Semoga nasihat ulama kharismatik ini bisa menjadi suluh bagi hidup kita. Selamat merenungi, jangan salahkan kami jika nanti kau menjadi lebih cendekia.

“Anakku, jika melihat keadaan saat ini, pilihanmu adalah menjadi boneka, badut atau budak yang tidak merdeka, kecuali jika kalian berani merdeka. Lalu apa itu merdeka? Jika misalnya keempat mantan presiden kita tanyakan apa arti merdeka dan penjajahan. Bila jawaban mereka  berbeda,  berarti kita tidak layak merdeka sebab visi pemimpin kita pun beda soal dua konsep mendasar itu.  Lalu apa merdeka itu?

Sebentar lagi kita puasa. Puasa itu tujuannya untuk memerdekakan diri dari kehidupan yang membelenggu. Lihatlah ayat tentang puasa; dimuali dengan sapaan ya ayyuhalladzina amanuu. Ini adalah panggilan penghormatan.  Alasan kita cukup terhormat untuk puasa sebab kita beriman.

 Ingat, jawaban untuk “Mengapa” dan “Untuk apa” harus dibedakan. Misalnya, mengapa menikah? “Untuk menolak maksiat”  adalah jawaban yang salah. Jawaban buat mengapa adalah ‘karena.’ Misal ‘saya menikah karena saya manusia’ Sama ketika ditanya, mengapa kita puasa? Jawabannya bukan untuk menahan nafsu. Tapi karena kita beriman. Dengan iman itulah puasa jadi berarti. Puasa menjadi puasa yang dihendaki oleh perintah Allah.

Iman di jaman ini sungguh sedang dalam ujian. Misalnya pertanyaan “kafir jujur vs muslim koruptor” seolah iman bukan lagi hal yang bisa membuat seseorang terhormat, bukan lagi sesuatu yang bisa mendorong seseorang berbuat baik. Orang muslim yang baik ditutupi, yang tidak beriman dibuat tampak sungguh baik. Padahal, seburuk-buruk muslim, imannya adalah modal yang besar, membuatnya terhormat. Iman itu bisa menggiringnya taubat.

Baca juga:  Perubahan Fikih dan Usul Fikih dalam Kajian Sosial Humaniora (1)

Kuatkanlah ketakwaan. Takwa kuat sebab biasa dengan ujian. Salah satu ujian yang paling ringan adalah tidak makan dan tidak minum.  Mari kita ingat Nabi Adam, ia diberi izin memakan semua isi surga kecauli satu pohon. Puasa Nabi Adam hanyalah satu pohon itu saja, tapi ternyata beliau pun tergelincir oleh Iblis. Itulah puasa yang pertama kali”

Hingga kini pun ujian itu masih ada, sepanjang umur kita; kaya adalah ujian seperti halnya miskin, pintar adalah ujian sebagaimana kebodohan, dan seterusnya. Maka orang kaya yang pelit sama gagalnya dengan orang miskin yang sombong.

Kunci melewati semua ujian itu adalah kepandaian menahan diri, jaga diri. Dengannya kita bisa menjadi kuat, punya jati diri. Menjadi  manusia yang sayang kepada Allah dan disayangi oleh Allah. Kepandaian menahan diri harus dimulai dari yang kecil-kecil,  misal di jalan atau ketika sedang makan.

Tidak bisa menahan diri adalah awal bencana.  Manusia menjadi egois, tega memakan saudaranya sendiri. Setelah kita bisa mengusir penajajah asing, kini sesama bangsa manusia saling jajah sebab egois. Maka bukalah hati dan tajamkan akal. Jangan langsung buka mulut!  Agar tidak jadi manusia-manusia “jaduul”  sukanya berdebat saja, berebut omongan sedang akal dan hatinya mati.

Saat ini, egoisme memang tersebar, sudah jadi kenyataan. Siapa lagi yang bisa membendungnya? Janganlah jadi generasi yang hanya membenarkan kenyataan, tapi jadilah generasi yang menyatakan kebenaran. Bila mulutmu harus bicara, jangan sampai ia hanya mengeluarkan pembenaran atas kenyataan-kenyataan pedih yang salah. Jika harus bicara, nyatakanlah kebenaran. Hal itu hanya bisa dilakukan jika mulutmu terakhir terbuka. Sebelumnya mata, telinga, hati dan akal pikiran sudah mencerna kenyataan, menemukan kebenarannya, barulah mulut terbuka untuk melantangkan kebenaran.

Baca juga:  Lawan Israel dengan Teori Interogasi-Interkoneksi

Menyatakan yang benar saat ini susah nak. Misalnya, jika ada perempuan berpakaian tidak senonoh  lewat mondar-mandir di depan seorang tua dan si tua melirik sepintas. Kira-kira apa komentar yang banyak diucapkan orang saat ini? “Dasar orang tua bangka, mata jelalatan” atau “Duh, anak perempuan kok pakaiannya tidak sopan.” Mana komentar yang akan diterima kini? Saat ini lebih banyak orang yang akan menyatakan yang pertama dan takut mengucapkan yang kedua. Sebab jika mengucapkan yang kedua kau akan diteror! Diteror sebagai sok alim, diteror misogenis dan lainnya. Semua orang pun mengucap yang pertama, membenarkan kenyataan. Semua orang pun menjadi budak sikon (situasi dan kondisi)! Budak kenyataan! Inilah bentuk kebudakan yang paling rendah.

Nak, jadilah kau orang yang merdeka. Orang yang tidak tunduk pada kenyatan, pada sikon. Qum fa anzhir! Ingatlah ayat awal-awal di surah al-Mudatrsir. Kamu sekrang ini berselimut dengan keadaan  yang tak menyenangkan. Politik dijajah, ekonomi dijajah, sosial dijajah, budaya dijajah, hankam dijajah, hukum dijajah, ideologi dijajah! Kamu sekarang ini terkurung dan dikurung oleh keadaan.

Kalian saat ini adalah orang-orang terselimuti. Banyak orang yang akhirnya merasa nyaman, nyenyak dalam selimut itu. Bagaimana denganmu? Bangulah! Qum fa anzhir! Bangun dan nyatakan kebenaran dengan lantang! Bangun dan nyatakan kebenaran! Ketahuilah Nak, keadaan yang menyelimutmu sekarang ini adalah hal yang dibuat, sesuatu yang dirancang.  Kau bisa merubahnya dan membuat keadaan yang lebih baik dari ini.

Apa yang kami sampaikan ini adalah wasiat bagi anak muda. Semoga kita dibukakan jalan diberi kekuatan untuk menyalahkan yang salah, membenarkan yang benar. Menjadi generasi yang menyatakan kebenaran, bukan membenarkan kenyataan. Renungkanlah baik-baik tujuh ayat al-Mudatsir itu. Bacalah untuk kamu, bukan untuk diajarkan pada orang lain. Renungkanlah ayat-ayat puasa, untuk dipakai, bukan untuk diajarkan!

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar