Santri Cendekia
Home » Orang-orang yang Lalai dari Akhirat (Ar-Rum 7)

Orang-orang yang Lalai dari Akhirat (Ar-Rum 7)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

” Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum: 7)

 

Ayat ini menurut Imam Al-Qurthubi berbicara tentang kriteria umum orang-orang kafir atau kaum musyrik Mekkah yang hanya memperhatikan satu kehidupan saja, yaitu kehidupan dunia. Sehingga, siapapun yang bersikap demikian, meskipun agamanya dan aqidahnya masih tercatat sebagai seorang muslim, world view-nya dalam memandang dunia masih menyerupai world view orang-orang kafir.

Bukankah ayat ini masih begitu relevan untuk kita di jaman ini? Betapa banyak orang-orang yang masih beragama islam namun cara hidupnya seperti orang kafir. Halal-haram ditabrak. Tidak peduli naik ke atas tahta, meski harus menginjak-nginjak orang lain. Berlomba-lomba sampai di depan tidak peduli meski harus menyikut orang lain. Semua serba penuh dengan tujuan-tujuan praktis dan jangka pendek. Akhirnya komunitas masyarakat pun bisa lebih biadab dari pada hutan rimba.

Siang-malam mencari uang dengan dalih “ibadah mencari nafkah untuk keluarga”, atau “mengumpulkan modal untuk masa depan”. Alih-alih menjadi sukses, uang banyak tapi anak rusak. Karena tak sempat mendidik dan mengontrol perkembangan anak. Modal kumpul eh keburu mati. Modal akhirat tak sempat di cari. Bagaimana mau mencari modal akhirat? Ngaji saja tak sempat. Dari mana kita tahu cara menjalani hidup yang tepat?

Jika pun orang-orang jenis ini memiliki kemampuan dan keahlian khusus di ilmu-ilmu yang berkaitan dengan urusan keduniaan mereka, mereka hanya tahu zahirnya saja. Mereka hanya mengetahui kulit luar dari ilmu-ilmu tersebut. Tidak mengetahui apa hakikat dari ilmu itu dan bagaimana seharusnya mereka menjadikan ilmu-ilmu tersebut sebagai sebuah jembatan yang mengantarkan mereka kepada Allah ‘azza wa jalla.

Baca juga:  Hukum Salat Jumat dan Salat Jamaah via Video Call atau Sejenisnya

Akibat sistem pendidikan sekuler dan dikotomis yang memisahkan  agama dengan ilmu sains, sistem peradaban pun rusak. Jika menurut Ustad Adian Husaini, akhirnya orang berpikir bahwa belajar agama hanyalah untuk mereka yang ingin menjadi ustad. Yang ingin mencari profesi lain, akhirnya tidak merasa punya kewajiban untuk belajar ilmu agama. Padahal di dalam islam tidak ada istilah ilmu dunia dan ilmu akhirat. Semua ilmu harus diorientasikan untuk kepentingan akhirat. Yang ada hanyalah pembedaan berdasarkan prioritas dan sifatnya ilmu Fardhu ‘ain/ Kifayah atau Ilmu Syariah (naqliyah) atau non-syariah (aqliyah).

Ilmu dienul islam, harusnya menjadi prioritas utama dalam pendidikan seorang muslim. Karena ilmu dienul islam ini yang akan menjadi tali kekang seseorang dalam memanfaatkan keilmuan sains yang mereka miliki. Developer rumah dan Pebisinis jual-beli mobil dan motor yang tidak memiliki pengetahuan syariah yang cukup, bisa terjebak dalam riba. Ahli-ahli tambang yang tidak paham dienul islam, akan membabi buta melakukan penambangan di sana-sini tanpa memikirkan efek negatif bagi lingkungan dan sekitar. Pengacara yang tidak paham dienul islam bisa bebas nilai dan membela siapa yang bayar dan bukan membela siapa yang benar. Karyawan pabrik yang tidak paham dienul islam akan membabi buta bekerja siang malam dan melupakan ibadah. Analis keuntungan tempat hiburan yang tidak paham dienul islam, biasanya akan membuat mushola yang kecil di tempat yang sulit karena baginya mushola tidak bisa menghasilkan duit. Inilah mengapa semakin banyak sarjana di negeri kita, tapi negeri kita malah makin rusak.

Imam Hasan Al-Bashri menggambarkan ayat ini dengan sebuah fenomena dimana ada segelintir orang yang hanya cukup dengan memainkan dirham dengan tangannya, mereka sudah bisa tahu berapa berat dari dirham-dirham tersebut. Namun mereka bahkan lalai dari mengerjakan salat 5 waktu.

Baca juga:  Tepatkah Kedaruratan sebagai Alasan Vaksinasi?

Betapa banyak sekarang orang-orang yang ahli dalam pekerjaannya, tapi gerakan wudhu dan salat saja masih salah. Betapa banyak orang menguasai banyak bahasa, tapi penguasaan ilmu membaca Al-Qur’an aja masih kalah sama anak TK. Paham beratus-ratus rumus ilmu eksak, tapi tak sedikitpun memahami ilmu-ilmu aqidah. Ini terjadi bukan karena kapasitas akal mereka yang tidak memadai, tetapi karena mereka lalai sepanjang hidupnya terhadap ilmu-ilmu agama. Karena menurut Imam Asy-Syaukani definisi ‘Ghafilun” adalah mereka lalai karena tidak memberi perhatian dan kepeduliaan tentang urusan akhirat, serta tidak mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan tersebut dengan menjalankan ketaatan dan amal shalih sebagai bekal meraih kebahagiaan seperti yang mereka lakukan tentang urusan kehidupan dunia mereka.

Sebagai penutup, menurut Imam An-Nawawy, seorang pencari ilmu dimuliakan apalagi tujuan pencarian ilmunya adalah Allah. Namun jika tujuannya adalah dunia atau selain Allah, maka hal itu justru membuatnya menjadi tercela. So, masih asik berlalai-ria dari akhirat mu?

 

Allahu a’lam bishshawab

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar