Santri Cendekia
Home » Pandemi Corona sebagai Titik Konflik Agama dan Sains

Pandemi Corona sebagai Titik Konflik Agama dan Sains

Kedatangan wabah corona memanggil para aktivis untuk promosi ideologi-ideologi yang mereka yakini sebagai sebuah solusi. Simpatisan Hizbut Tahrir menawarkan sistem khilafah, sambil pura-pura lupa saat wabah The Black Death mengamuk pada abad ke-14, dan kekhilafahan hanya bisa pasrah.

Orang-orang kidal menawarkan sistem komunisme sambil nyinyir kapitalisme yang mereka anggap sebagai biang kerok penyebaran pandemi corona. Mereka diam-diam juga lupa kalau kekuasaan di bawah payung komunisme telah menelan korban jiwa yang jumlahnya melebihi mayat akibat flu spanyol.

Orang-orang ateis dan deis pun juga sama, bahkan mereka lebih kampungan dari petinggi Sunda Empire. Acapkali ada suatu kejadian yang umat manusia sulit menanganinya, buru-buru mereka simpulkan Tuhan tidak ada, kalau pun ada, Dia tak peduli. Ketika manusia tampak kewalahan menghadapi corona, Anda bisa tangkap sendiri bagaimana reaksi spontan mereka. Padahal tak ada jaminan ketika Anda memutuskan jadi ateis atau deis, corona lantas minggat dari bumi.

Pada pertama sebelum masehi, seorang penyair dan filsuf Romawi Lucretius khawatir bahwa ketakutan akan kematian dapat mengarah pada kepercayaan dan tindakan tak rasional yang dapat membahayakan masyarakat. Hal tersebut tergambar jelas dari sikap orang-orang Hizbut Tahrir, aktivis kidal, petinggi Sunda Empire dan yang terbaru kelompok ateis dan deis.

Agama, Sains dan Corona

Ateis dan deis, atau sebut saja mereka yang doyan mempertentangkan agama dan sains, menjadikan kasus penyebaran corona sebagai justifikasi mutakhir bahwa keduanya harus diceraikan, minimal pisah ranjang. Bagi mereka, kebenaran agama itu mutlak, sementara sifat dari sains itu tentatif sehingga ketika dihadapkan pada satu objek material yang sama, keduanya akan terlibat dalam konflik. Saat konflik itu terjadi, pertanyaan retoris dari mereka akan muncul: jangkar kebenaran mana yang harus dipakai, agama atau temuan sains?

Baca juga:  "Aisyah", Musik, dan Hijrah Casing

Asumsi mereka berangkat dari kasus sebagian orang beragama yang terus memaksa untuk melakukan aktivitas keagamaan yang melibatkan sejumlah massa di tengah pandemi corona. Ketika temuan sains menganjurkan untuk menjaga jarak dengan siapapun agar meminimalisir penyebaran virus, sementara sebagian orang beriman mengabaikan anjuran itu, dengan spontan mereka menyebut fenomena itu sebagai konflik antara agama dengan sains.

Bagi ateis dan deis, kedatangan corona barangkali berkah karena mendapat bahan baru buat menyerang agama. Tapi tidakkah terlalu kekanak-kanakan kalau menyebut pandemi corona sebagai titik konflik antara agama dan sains.

Mereka yang tetap bersikukuh melakukan ritual secara massal hanyalah riak-riak kecil atas satu tafsir keagamaan. Bahkan mayoritas dari riak yang mengganggu itu tidak memiliki otoritas apapun dalam mengeluarkan fatwa. Dorongan untuk tetap melakukan kumpul-kumpul keagamaan yang paling kuat suaranya dari mantan Panglima TNI dan mantan ketum PSSI. Karenanya, tak bisa disematkan hal itu sebagai “argumen agama”.

Tindakan ateis dan juga deis yang menjadikan “fatwa” sebagian orang beriman sebagai argumen agama merupakan tindakan over-generalisasi. Dalam dunia akademik tindakan tersebut hukumnya makruh, bahkan bisa haram. Tapi sungguh ironi ketika praktik over-generalisasi ini dilakukan oleh mereka yang mendaku sebagai buzzer saintis.

Perbuatan mereka juga tidak fair karena hanya memandang dari satu sudut tafsir keagamaan. Padahal memandang suatu objek secara parsialistik merupakan tindakan yang memalukan bagi mereka yang open-minded. Bukankah etika saintifik harus melihat persoalan secara komprehensif?

Karena itu, kita jangan sampai mengabaikan fatwa para ulama di Arab Saudi, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Bahtsul Masail NU yang memang lebih layak ditempatkan sebagai argumen agama. Mereka telah mengeluarkan fatwa yang mengindahkan anjuran dokter untuk tidak melakukan selebrasi keagamaan secara massal. Lebih jauh Majelis Tarjih mengimbau agar melakukan penyemprotan disinfektan di tempat-tempat publik, tentu selain memanjatkan doa dan tetap tawakal.

Baca juga:  Lawan Corona dengan COVID!

Adanya fatwa dari para ulama di atas setidaknya mengkonfirmasi bahwa mereka tidak menyangkal temuan sains yang mengatakan Covid-19 dapat menyebar dengan cepat melalui kerumunan orang. Para pengurus masjid di setiap daerah juga melakukan penyemprotan disinfektan sebagai penghormatan pada temuan ahli medis bahwa corona dapat mati dengan cairan kimiawi tersebut.

Para ulama, pengurus masjid, jamaah pengajian tidak membantah anjuran dokter dengan ayat-ayat al-Quran karena memang anjurannya tak bertentangan dengan prinsip-prinsip ketauhidan. Ketika seorang dokter spesialis paru-paru mengatakan bahwa virus corona masuk melalui pernapasan, tak ada seorang ulama yang mengacungkan tangannya dan berteriak, “ini bertentangan dengan al-Quran dan al-Sunnah!!!”

Jika menganggap fatwa ulama itu hanya sebagai modus komunikasi yang lebih efisien daripada nasehat dokter, ini juga keliru. Fatwa dari ulama bukan modus komunikasi melainkan sinergi berbagai elemen untuk saling bekerjasama melawan musuh bersama yaitu Covid-19. Seorang yang mengidolakan Jokowi atau Ayu Tingting pun akan lebih patuh pada anjuran beliau-beliau ini daripada fatwa ulama atau nasihat dokter.

Jadi, saat ini semua elemen dari ulama, dokter, artis idola, penyanyi favorit, influencer, komedian dan lain-lain yang memiliki kekuatan psikologis untuk menggerakkan massa  agar berdiam diri di rumah sedang bahu membahu saling mengingatkan. Sinergitas dari berbagai kalangan merupakan kunci kemenangan melawan virus corona. Sementara itu, ateis dan deis masih sibuk mencari-cari bukti ketiadaan Tuhan atas kedatangan corona. Apa gunanya mereka?

Para pembaca mungkin akan mengatakan bahwa argumentasi yang saya ajukan di atas sangat trivial dan pasaran. Dalam artian, menarik sebuah lokus probelm dari bangunan konseptual-teoritis ke dalam kasus praktis. Bagi saya tak mengapa, karena justru sesuatu yang praktis itulah justru yang riil, yang nyata, sementara yang konseptual-teoretis baru merupakan potensi.

Baca juga:  Obsesi Viral Bukan Ciri Khas Muhammadiyah!

Baca artikel menarik lainnya tentang corona:

  1. Tinjauan Fikih: Lebih Baik Tidak Salat Jumat Selama Wabah Corona
  2. Tidak ke Masjid di Masa Wabah Corona Bukan Pembangkangan atas Syariat Islam
  3. Pandemi ‘Fitnah’ Netizen atas Fatwa tentang Corona
  4. Hadis Kontradiktif, Kausalitas, dan Coronavirus
  5. 14 Rekomendasi Muhammadiyah Amerika Serikat terkait Wabah Corona
  6. Mengenal Aliran Teologi Islam Melalui Virus Corona
  7. Tanya Jawab soal Corona, Azab, dan Masjid (1)
  8. Tanya Jawab soal Masjid dan Corona (2)
  9. Surat Terbuka bagi Mereka yang Bilang jangan Takut Corona Takutlah kepada Allah

  10. Hukum ‘Shaf Distancing’ demi Meminimalisir Penyebaran Virus Covid-19

  11. Syahidkah orang yang Meninggal Karena Virus Corona? 

  12. Hukum Salat Jamaah via Video Call atau Sejenisnya

  13. Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (1)
  14. Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (2)
  15. Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (3)
  16. Bantahan atas Cocokologi ‘Arti Corona dalam al-Quran’

  17. Tata Cara Adzan Saat Darurat Covid-19

  18. Doa dan Tata Cara Qunut Nazilah dalam Kondisi Darurat Covid-19

  19. Pandemi Corona sebagai Titik Konflik Agama dan Sains

  20. Alokasi Zakat untuk Jihad Medis Melawan Covid-19

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar