Santri Cendekia
Home » Pandemi ‘Fitnah’ Netizen atas Fatwa tentang Corona

Pandemi ‘Fitnah’ Netizen atas Fatwa tentang Corona

Corona memang menggemparkan, tapi tak kalah menggemparkan dari itu, komentar-komentar para netizen atas fatwa or maklumat yang merespon bahaya virus ini. Bagi kita-kita yang aktif di berbagai media sosial – Facebook, Instagram, Twitter dan WhatsApp – dengan mudah akan mendapatkan “wabah” komentar netizen yang skalanya tidak main-main itu. Aneh bin miris rasanya membaca berbagai respon netizen.

Pembuat Fatwa tentang Corona Lemah Akidah?

Ada komen yang meragukan akidah pembuat fatwa atau lembaga fatwa, hanya karena menyarankan ODP (Orang Dalam Pengawasan) agar shalat di rumah. Dengan nada yang penuh keyakinan, ada yang menulis komentar “fatwa ini tidak akan menggoyahkan aqidah saya”.

Tentu tidak hanya menghujat, ada pula yang mendukung sikap kehati-hatian dari fatwa itu. Sayangnya, mereka yang mendukung pun juga kena efek komentar negatif,  “ketahuan sih yang dukung pasti emang gak pernah ke masjid.” Ada juga pihak yang dengan sabar menjelaskannya melalui alur logika dan qaidah fikih. Tapi karena bawa-bawa akal dan logika, ia pun kena damprat“sejak kapan iman pakai akal?”

Upaya Mencerahkan

Menanggapi berbedaan respon netizen sebenarnya sederhana saja. Banyak tulisan yang bagus-bagus sudah mengulasnya dari berbagai perspektif. Di website santricendekia.com, telah diulas dengan sederhana dan ciamik oleh saudara Niki Alma Febriana Fauzi tentang bagaimana kita menempatkan sikap fikih dalam menghadapi corona ini pada tataran pertingkatan bangunan hukum Islam.

Bisa juga kita membaca tulisan renyah Ilham Ibrahim yang menggambarkan secara kronologis riwayat wabah yang pernah menyerang dunia dan mematikan jutaan manusia serta kemungkinan di masa depan munculnya wabah-wabah yang lebih dahsyat lagi.

Atau juga menengok website intelektual-intelektual Muhammadiyah di ibtimes.id. Paling mudah, membaca status-status Facebook para ahli mengenai hal ini. Jika kita baca semua artikel itu dengan penuh kesabaran, penerimaan dan keterbukaan, niscaya semua percekcokan ini bisa surut redam penuh sentosa.

Perbedaan Pendapat antara Umar bin Khatab dan Abu Ubaidah

‘Ala kulli hal, sebagai warga negara Indonesia yang ikut resah atas komentar  para netizen – saya pun bagian dari komunitas netizen itu -, saya juga ingin sumbang pandangan.

Perlu saya tekankan terlebih dahulu, bahwa meski sedang meruncing dan lagi hangat-hangatnya, saya berusaha untuk tetap pada keadaan jiwa yang tenang dan senantiasa berusaha berada pada level kesadaraan tinggi bahwa segala komentar bisa terucap di media sosial, tidak terkecuali pada kasus ini. Sehingga memberi tanggapan dengan nada menggebu-gebu bukan sikap yang bijak.

Percekcokan yang terjadi ini lumrah dan bagian dari keniscayaan. Seniscaya perbedaan pendapat antara Umar bin Khattab dengan sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah.

Baca juga:  Syamsul Anwar: Ismun ‘Alā Musammā

Satu ketika, Umar bin Khattab yang berposisi sebagai amīr al-mu’minīn mendapat informasi adanya wabah di Syam. Umar beserta rombongan besar yang hendak ke Syam berhenti untuk bermusyawarah.

Diundanglah para sahabat golongan Anshar dan Muhajirin. Perbedaan terjadi. Mayoritas menyarankan untuk tidak melanjutkan perjalanan karena di tengah rombongan itu banyak sahabat-sahabat kibār. Umar pun memutuskan untuk kembali.

Mendengar keputusan itu, seorang Sahabat yang tidak diragukan keimanan dan loyalitasnya untuk umat, Abu Ubaidah bin Jarrah berkomentar dengan nada bertanya “a firāran min qadarillah (apakah kita mau lari dari takdir Allah)?

Mendapati kesangsian pada pertanyaan itu Umar menjawab: “Na’am nafirru min qadarillah ilā qadarillah. Araita lau kānat laka ibilun fahabathta wādiyan lahu ‘udwatāni ihdahumā khasbatun wa al-ukhrā jadbatun a laisa in ra’aita al-khasbah ra’aitaha biqadarillah wa in ra’aita al-jadbah ra’aitaha biqadarillah?” (iya –wahai Abu Ubaidah bin Jarrah- kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah –yang lain.

Apa pendapatmu, jika kau memiliki satu ekor unta, lalu engkau bawa kepada satu lembah yang di satu sisinya penuh rumput subur dan di sisi lainnya tandus. Tidakkah –jika engkau- membawa kepada sisi yang subur, itu karena takdir Allah, pun –jika engkau- gembalai ke tanah tandus –juga- karena takdir Allah?)

Pelajaran yang Bisa Diambil

Perbedaan sikap mengenai wabah, seperti yang direkam oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya itu sudah terjadi sejak zaman Sahabat. Adakah yang berbeda antara sikap Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah dengan perdebatan para netizen menyikapi maklumat atau fatwa tentang corona di masa kini?

Sepertinya ada, di antaranya: Pertama, Abu Ubaidah tidak pernah meragukan aqidah Umar yang menghindari wabah, sementara ada netizen yang meragukan aqidah pembuat fatwa; Kedua, Juga tidak pernah mengklaim Umar sebagai orang yang kurang kuat iman; sementara di sisi lain, ada komentar netizen yang menyangsikan iman sang pembuat maklumat;

Ketiga, Abu Ubaidah tidak menyimpulkan pribadi Umar sebagai pribadi yang menjalankan agama hanya dengan akal; sedang komentar netizen zaman now, punya kesimpulan bahwa yang mendukung fatwa tentang corona teridentifikasi sebagai si pemalas jamaah, jarang jumatan dan menjalankan syariat hanya dengan akal;

Keempat, Perbedaan itu oleh Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah, diletakkan pada persoalan khilafiyah biasa dengan bisa menerima satu sama lain; beberapa netizen kita menempatkannya dalam persoalan serius, antara takut Allah atau takut virus.

Baca juga:  Tetap Bertakwa Setelah Lebaran

Kira-kira seperti itu kesimpulan subjektif saya. Mudah-mudahan salah, tapi seperti itulah yang bisa ditangkap dari komentar-komentar itu secara sharih apa adanya.

Siapapun pasti tidak mau jika dituduh saling bahu membahu dalam menentang takdir Allah dan saling tolong menolong untuk tidak memenuhi perintah Allah. Siapa yang mau? Tapi apa benar sang pembuat fatwa Corona, dan para pendukungnya adalah komunitas yang ingkar atas ketetapan Allah dan komplotan pemalas shalat jamaah yang bahagia karena menemukan momentum?

Hemat saya tidak. Baik yang mendukung maupun yang tidak mendukung, kita semua, orang beriman adalah orang yang selalu meminta pertolongan kepada Allah. Tidak ada dari kita yang lari dari pertolongan Allah. Sehingga maklumat dan fatwa yang menyarankan untuk tidak berjamaah bagi ODP bukan sikap tidak meminta tolong kepada Allah.

Tidak Jamaah di Masjid adalah Bentuk Mu’awanah (Pertolongan)

Meminta pertolongan (isti’anah) adalah satu sisi dan saling menolong (al-mu’awanah) sisi yang lain. Ketika menjelaskan lafal wa iyyaka nasta’īn (dan hanya kepada Engkau [Allah] kami meminta pertolongan) tafsir at-Tanwir Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan sikap meminta tolong hanya kepada Allah sebagai zat yang Maha Menyelamatkan.

Tapi bukan berarti kita tidak boleh untuk meminta pertolongan atau pun memberi pertolongan kepada orang lain. Sebab saling tolong menolong itu adalah perilaku yang diperintahkan dalam Islam, atau yang dikenal dengan istilah al-mu’awanah.

Bagian dari al-mu’awanah ini, dalam konteks kekinian adalah menjaga diri kita untuk tidak memberikan dampak buruk kepada orang lain. Bagi orang yang ODP, tidak shalat berjamaah di masjid, – dengan ia tetap shalat di rumah, atau di ruang isolasinya- sesungguhnya sudah mewujudkan aspek al-mu’awanah itu dalam konteks menjaga diri untuk tidak menyebarkan virus.

Ayat perilaku al-mu‘āwanah  salah satunya didapati pada penggalan firman Allah surat al-Maidah ayat 2, “…wa ta’āwanū ‘alā al-birri wa at-taqwā…” (dan saling tolong menolonglah kalian atas kebaikan dan ketaqwaan).

Dalam artinya yang paling sederhana, taqwa dimaknai sebagai sikap kehati-hatian. Kehati-hatian yang terkandung dalam kata taqwa oleh al-Qur’an digunakan kepada tiga subjek: Allah; neraka (an-nār) dan fitnah.

Seperti apa fitnah yang kita harus bertaqwa (berhati-hati) atasnya? Allah berfirman (Q.S. al-Anfal [8]: 25): wa ittaqū fitnah lā tusībanna allażīna zhalamū minkum khāsshah… (dan bertaqwalah [berhati-hatilah] kalian kepada fitnah yang [akibatnya] tidak hanya tertimpa kepada pelaku fitnah yang zhalim itu di  antara kalian). Menghayati ayat ini saya mendapati dua konteks penting.

Baca juga:  Doa dan Tata Cara Qunut Nazilah dalam Kondisi Darurat Covid-19

Pertama, pelaku fitnah itu adalah orang yang zalim. Mengikuti pengertian yang diberikan oleh Hamka, zalim itu adalah perilaku menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Berarti pula melakukan sesuatu yang tidak tepat. Kedua, fitnah itu dampaknya tidak hanya berpulang kepada orang yang melakukan tetapi juga kepada pihak lain.

Ultimatum ayat ini bagi saya pribadi adalah peringatan bijak bagi siapa saja yang hendak berkomentar mengenai Corona. Tidak terkecuali komentar netizen yang bernada negatif atas berbagai ultimatum dan fatwanya.

Virus corona itu lebih berbahaya dari darah vampir. Orang baru bisa jadi vampir kalau digigit. Corona jauh lebih hebat dari itu. Cukup menyentuh, maka yang tersentuh kemungkinan besar sudah bisa terkontaminasi.

Bisa dibayangkan, para netizen yang berkomentar miring di berbagai media sosial itu, lalu komentar-komentar ini menjadi alam pikir banyak orang. Akhirnya ketentuan-ketentuan itu tidak diindahkan.

Perkumpulan dalam bentuk massa yang banyak tetap dilakukan, bahkan orang yang telah ODP sekalipun karena mengikuti komentar para netizen dengan asumsi berjamaah menunjukkan ketakutan kita itu hanya pada Allah, tidak pada virus corona, tetap ikut berjamaah.

Lalu qadarullah –atas perizin Allah- menjadi super spreader yang mengkontaminasi mayoritas jamaah. Maka komentar-komentar itu, jika di lihat dari sudut pandang ultimatum ayat di atas, punya dampak seperti dampak fitnah yang dilarang.

Tentu kemungkinan seperti itu sangat tidak kita harapkan betul-betul terjadi di negeri tercinta kita, seperti yang terjadi di Malaysia di mana salah satu penyebarannya terjadi di Tabligh Akbar atau seperti di Jemaat Gereja Korea Selatan.

Untuk menghindari hal itu, salah satu paling mudah adalah menahan diri untuk memberi komentar yang berlebihan dan mengikuti indahan para ahli dan kebijakan-kebijakan yang telah ada. Jangan sampai, komentar kita menjadi “pandemi fitnah” yang dampaknya bisa tertimpa kepada kita dan seluruh orang yang tinggal di sekitar kita.

Baca artikel menarik lainnya tentang corona:

  1. Tinjauan Fikih: Lebih Baik Tidak Salat Jumat Selama Wabah Corona
  2. Tidak ke Masjid di Masa Wabah Corona Bukan Pembangkangan atas Syariat Islam
  3. Pandemi ‘Fitnah’ Netizen atas Fatwa tentang Corona
  4. Hadis Kontradiktif, Kausalitas, dan Coronavirus
  5. 14 Rekomendasi Muhammadiyah Amerika Serikat terkait Wabah Corona
  6. Mengenal Aliran Teologi Islam Melalui Virus Corona
  7. Tanya Jawab soal Corona, Azab, dan Masjid (1)
  8. Tanya Jawab soal Masjid dan Corona (2)
  9. Surat Terbuka bagi Mereka yang Bilang jangan Takut Corona Takutlah kepada Allah

Qaem Aulassyahied

Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) PP Muhammadiyah

1 komentar

Tinggalkan komentar