Santri Cendekia
Home » Pandemi, Hypophobies, dan Mengapa Kita (perlu) Merasa Cemas

Pandemi, Hypophobies, dan Mengapa Kita (perlu) Merasa Cemas

PADA 1947, WH Auden pernah menerbitkan sebuah puisi tak jelas berjudul “The Age of Anxiety”— sebuah judul yang telah bergema selama bertahun-tahun sebagai distilasi sempurna dari ketidakpastian kehidupan kontemporer. Gema ini berhubungan dengan geliat para psikiater dan psikolog zaman now yang berjuang untuk mengatasi kecemasan manusia abad ke-21, dan bagaimana “Kortisol”, hormon yang bekerja dalam situasi itu, diberi label “Musuh Publik Nomor Satu”.

Jujur saja, mungkin tidak ada masa yang bisa relevan disebut “The Age of Anxiety” selain masa-masa Pandemi Coronavirus sekarang ini. Tapi mungkin tidak ada masa selain masa ini juga di mana kecemasan benar-benar kita butuhkan untuk membuat kita bertahan dalam ketidakpastian.

Jadi, begini:

SARS-CoV-2 — atau Anda mungkin mengenalnya dengan salah satu dari banyak namanya, termasuk 2019-nCoV, novel coronavirus, Wuhan coronavirus, flu Cina atau flu Wuhan, atau sekadar Corona — laiknya virus pada umumnya, adalah seuntai informasi genetik (RNA) yang, secara teknis, menyebar alias menggandakan dirinya dengan cara melompat dari gen inang satu ke gen inang lainnya.

Ini analog dengan suatu informasi/postingan viral, misalnya, yang di-share oleh satu akun lalu di-share lagi oleh akun lainnya lalu oleh akun lainnya dan seterusnya hingga seringkali hampir di setiap wall pengguna Facebook, replika dari postingan itu ada. Kenapa ada istilah “viral”, ya karena pola penyebaran informasi semacam itu agak mirip dengan pola penyebaran virus. U’know lah itu.

Kembali ke Corona, pada dasarnya, virus ini secara individual mudah dihancurkan. Setiap partikel virus terdiri dari satu set gen kecil, dikelilingi oleh bola molekul lemak bermahkota-duri (darimana asal nama “Corona”), dan karena cangkang lipid ini mudah terkoyak oleh sabun, pencucian tangan selama 20 detik secara menyeluruh dapat meluruhkannya. Cangkang lipid semacam itu juga rentan terhadap berbagai unsur; sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa Corona bertahan tidak lebih dari satu hari di atas kertas karton, dan sekitar dua hingga tiga hari pada baja dan plastik. Jadi, virus ini tidak tahan berlama-lama di dunia benda mati.

Tapi problemnya di sini: mereka membutuhkan tubuh hidup. Mereka membutuhkan sel inang untuk dibajak mesinnya agar mereka bisa menggandakan informasi genetik mereka sendiri, lalu menyebar lagi dan lagi. Dan kita memberikan apa yang dibutuhkan oleh virus-virus tersebut. Hasilnya sekarang, ketika WHO menyatakan Covid-19 (penyakit yang disebabkan oleh SAR-CoV-2) sebagai Pandemi, itu berarti gen seluruh umat manusia lintas benua sudah-sedang berada “satu kolam” bersama virus-virus tersebut (ingat kolam ingatlah jenis sperma-KPAI). Tepatnya, kita semua sedang berada dalam satu arena dengan mereka dalam pertempuran evolusioner terbuka yang diwasiti oleh Seleksi Alam.

Dalam situasi demikian, virus tidak lagi peduli dengan garis-garis pada peta, dinding rumah ibadah kita, model sistem kesehatan kita, ataupun nama tuhan-tuhan kita. Mereka hanya peduli pada bagaimana majelis Seleksi Alam bisa memilih gen-gen mereka untuk terus bertahan hidup dan menggandakan diri.

Alam adalah peperangan, Kisanak! Dan apa yang paling sering kita saksikan di alam adalah tentang perlombaan senjata. Setiap kali suatu bangsa atau suku merancang senjata baru, bangsa atau suku yang bersaing akan segera menyusun senjata tandingan.

Demikianlah tombak dan pedang memunculkan perisai dan baju zirah, dan pesawat siluman memunculkan sistem pertahanan radar. Dan sama seperti kekuatan politik kadang-kadang menempatkan lebih banyak sumber daya mereka ke dalam persenjataan dan pertahanan untuk mencegah dominasi lawan, inang dan virus juga harus berevolusi secepat yang mereka bisa untuk mempertahankan tingkat adaptasi mereka saat ini.

Baca juga:  Majelis Tarjih Tidak Menganjurkan Salat Jumat Online

Agar jelas, SARS-CoV-2 adalah “mutan” ke tujuh dalam keluarga-Corona-penginfeksi-manusia yang sudah siap dengan senjata barunya sejak kita berhasil mengalahkan berbagai generasi dari keluarga mereka sebelumnya. SARS-novel ini bukan lagi flu (OC43, HKU1, NL63, dan 229E), dan tidak sama dengan apa yang para virolog mulai sebut dengan nama “SARS-klasik” (MERS dan SARS).

Singkatnya, ini menyebabkan penyakit dengan gejala yang berbeda, dan menyebar dan membunuh dengan lebih mudah. Sementara itu, kita belum siap dengan senjata kita. “Anti-CoVir” masih semisteri biologi virus baru ini. Dan Vaksin masih dalam proses pengujian yang mungkin butuh waktu 1 atau 2 tahun lagi untuk menjadi efektif.

Atas fakta-fakta ini, pertahanan satu-satunya yang bisa kita andalkan adalah imunitas kita masing-masing. Itulah mengapa banyak orang dari ahli betulan, ahlinya-ahli, ahli surga, hingga awam, sudah bersuara; dan dari jahe hingga doa, dari telur rebus hingga bahasa roh, sudah disuarakan untuk menjaga dan meningkatkan imunitas.

Tapi belajar dari kasus penyebaran virus di Tehran dan Milan, tips perorangan untuk meningkatkan imunitas semacam itu tampak tidak akan terlalu efektif menghambat penyebaran virus ketika orang-orang itu masih tetap berkerumun. Pikirkan, misalnya, jika benar bahwa dekat dengan Tuhan — meminjam kata dukun tetangga saya — bisa menenangkan neurotransmiter di otak dan meningkatkan imunitas orang, mengapa pusat penyebaran virus ini justru tepat berada di tempat-tempat yang disukai Tuhan?

Selain itu, terlalu dini untuk memastikan bahwa orang-orang yang sembuh dari Covid-19 memiliki kekebalan terhadap infeksi di masa depan. Virus yang masih misterius ini dalam beberapa kasus bisa “menginfeksi kembali” orang yang sudah pulih (yang sudah memiliki antibodi). Apa artinya? Satu-satunya senjata pertahanan langsung dan individual kita dalam krisis ini juga bisa luluh-lantak.

Beberapa ahli mungkin mulai mengkaji strategi “kekebalan kawanan”, di mana kita membiarkan si virus melakukan apa yang telah dilakukan pandemi flu 1918: membakar dunia dan membiarkan Seleksi Alam memilih para penyintas. Skenario “kekebalan kawanan” ini akan cepat, dan karenanya mungkin menggoda. Tetapi itu juga akan memakan biaya yang sangat besar: SARS-CoV-2 lebih mudah menular dan fatal daripada flu, dan kemungkinan akan meninggalkan banyak mayat dan jejak sistem kesehatan yang hancur.

INTINYA: tanpa vaksin yang tepat, imun yang kuat, dan alat pelindung diri yang memadai, SARS-CoV-2 bukanlah musuh yang bisa dihadapi secara face-to-fucek!

Lalu ke mana orang-orang akan menaruh harap jika negara, iman dan imun (tanpa vaksinasi), belum sepenuhnya bisa diandalkan?

Di titik inilah kecemasan itu diperlukan.

Sampai vaksin berhasil ditemukan, strategi perlawanan terhadap virus yang bisa diambil tentu saja adalah memutus rantai penyebarannya. Jika penemuan vaksin menjadi fokus ilmuwan secara global, kita masing-masing secara personal bisa fokus pada bagaimana melakukan kebalikan dari apa yang disukai oleh virus, seperti membuat diri kita tetap berada di rumah dan saling menjaga jarak fisik.

Loh, bukankah itu sudah dikampanyekan?

Benar. Tapi kita masih punya problem dengan mereka yang masih suka keliaran dan mengabaikan protokol jaga-jarak. Ada beberapa teori yang bisa menjelaskan mengapa orang tidak mau berdiam di rumah, salah satunya karena kita gagal mengoperasikan sistem alarm pada diri orang-orang dengan terus berseru “Jangan panik!”, “Ini self-limiting desease!”, atau “Kecemasan membuat imunitas menurun!”.

Seruan semacam itu tidak salah. Itu hanya kurang tepat. Alih-alih membuat orang merasa nyawanya berada dalam bahaya sehingga mengambil langkah persiapan, perlindungan, atau berkomunikasi dan mendengarkan para pakar, ini malah menghasilkan kelompok orang yang, meminjam istilah ahli kecemasan University of London, Isaac Marks, disebut “Hypophobies” — orang-orang santuy yang memiliki kecemasan terlalu sedikit atau tidak memiliki keluhan dan tidak mencari perawatan kejiwaan tetapi malah berakhir di ruang gawat darurat atau ruang isolasi atau dipecat dari pekerjaannya.

Baca juga:  Perang Lawan Covid-19: Ini Badar dan Khandaq, Bukan Uhud

Seruan “Jangan panik!” mungkin lebih kepada kata perintah politis ketimbang anjuran medis, dan itu cocok dalam situasi kontra-terorisme, tapi mungkin tidak cocok dalam kontra-pandemi: Teror hanya terjadi di satu atau beberapa titik lalu digemakan oleh media untuk memenuhi imajinasi orang-orang, sementara virus hanya berjarak satu helaian napas atau secuil sentuhan Anda, dan virus itu nyata.

“Ini self-limiting desease!” mungkin cocok untuk jenis virus yang perilakunya sudah jelas terprediksi, sementara SARS-CoV-2 ini masih misterius. Dan “Kecemasan membuat imunitas menurun!” hanya bagian kecil dari keseluruhan cerita tentang kecemasan yang akan kita bicarakan — bukankah Anda bisa mengonsumsi makanan dan suplemen peningkat imun sembari tetap mempertahankan dan berdamai dengan perasaan cemas Anda sendiri?

Setiap orang harus menyadari bahwa kecemasannya bisa berguna. Kita tahu apa yang terjadi pada nelayan yang berlayar sendirian menuju badai musim dingin, atau mahasiswa yang tidak tancap gas saat tenggat waktu pengumpulan makalah sudah dekat.

Kecemasan adalah sistem alarm. Itu terprogram di neuron kita. Dengan reaksi berantai neuron yang memicu kecemasan, tubuh kita secara nirsadar menjalankan algoritma “bagaimana-jika” dan menghitung untung-rugi evolusioner tentang kesintasannya dan tentang “konsekuensi rasional” dari tindakan-tindakannya. Semua perasaan yang kita rasakan, termasuk “kecemasan situasional” akibat Pandemi ini, adalah penanda proses kalkulasi tubuh. Mematikannya berarti mematikan kemampuan tubuh untuk menilai ancaman dari luar.

Dari sekian banyak krisis yang pernah dihadapi manusia sepanjang sejarah keberadaannya, tidak ada satu pun krisis yang membuat watak cemas ini punah. Seleksi Alam tampak memilih “gen-gen untuk kecemasan” untuk bertahan dan diteruskan ke generasi berikutnya justru karena kecemasan memang berguna di saat-saat krisis. Mengapa sampai sekarang kita gampang merasa cemas, itu karena nenek moyang kita yang lolos seleksi alam adalah orang-orang yang memiliki rasa cemas. Terimalah takdir itu, kawan.

Bayangkan dua orang pemburu-pengumpul sedang berjalan di hutan. Dalam jarak sekian meter, terlihat semak bergoyang-goyang entah sebab apa. Mungkin hanya angin. Mungkin juga harimau. Entah. Informasi yang minim tentang fakta dan penyebab bergoyangnya rumput itu membuat salah satu dari mereka lari karena berpikir bahwa itu bisa saja harimau yang sedang mengendap-endap siap menerkam. Yang satunya lagi ketawa-ketiwi dan menganggap itu angin lewat belaka (“alarm palsu”). Bagaimana Seleksi Alam memilih siapa di antara mereka yang akan bertahan hidup?

Jika begoyangnya semak itu hanya karena angin belaka, baik orang yang melarikan diri maupun yang tetap di tempat tidak akan merugi. Tapi jika di balik semak itu ternyata ada harimau, maka orang yang melarikan diri berpeluang lolos seleksi alam, sementara yang ketawa-ketiwi mati diterkam harimau. Dengan kata lain, biaya terbunuh bahkan sekali saja jauh lebih tinggi daripada biaya menanggapi seratus alarm palsu. Dan individu yang tingkat kecemasannya cocok dengan analisis deteksi sinyal yang intuitif, cepat, dan akurat akan memiliki keunggulan bertahan hidup.

Dalam sebuah percobaan, ikan guppy dipisahkan menjadi kelompok-kelompok yang penakut, biasa, dan pemberani berdasarkan reaksi mereka ketika berhadapan dengan ikan bass bermulut kecil: bersembunyi, berenang menjauh, atau mengincar penyusup. Setiap kelompok guppy kemudian ditinggalkan dalam kolam-tangki bersama dengan ikan bass. Setelah enam puluh jam, 40 persen guppy penakut dan 15 persen guppy biasa masih ada, tetapi tidak ada satu pun guppy berani yang bertahan hidup.

Baca juga:  Pandemi 'Fitnah' Netizen atas Fatwa tentang Corona

Pertanyaan satu juta dollarnya sekarang adalah: dari sekian ribu korban meninggal dan positif Covid-19 hari ini, berapa persen di antara mereka yang adalah orang-orang dengan gangguan kecemasan?

Mungkin belum ada riset tentang itu. Tapi saya berani bertaruh, orang-orang agorafobia yang suka menjaga jarak dengan orang lain, orang-orang kompulsif yang suka mencuci tangan secara berlebihan, orang-orang dengan gangguan panik yang takut naik pesawat, dan sederet penderita gangguan kecemasan lainnya akan mengambil porsi sedikit (jika ada) dalam total seluruh korban. Sebaliknya, sebagian besar korban mungkin termasuk dalam apa yang telah kita sebut sebagai kaum Hypophobies.

Alasan lain mengapa kecemasan penting dalam masa-masa pandemi kali ini karena seluruh kampanye kita untuk memutus rantai penyebaran virus pada dasarnya adalah kampanye tentang perilaku yang lazim dilakukan orang-orang dengan gangguan kecemasan, tapi ganjil bagi sebagian orang dalam masa-masa normal. Kita seolah meniru perilaku orang-orang dengan gangguan kecemasan untuk menutup gerbang antara human-sphere dan virus-sphere. Dan untuk itu, kita memerlukan “kecemasan yang mirip” untuk bisa merasionalisasi apa yang tidak biasa kita lakukan dalam keadaan biasa.

Dalam perspektif evolusioner, ini mirip dengan strategi ‘mimikri’. Dalam film War World Z, ini seperti cara Brad Pitt menyuntikkan serum berisi virus ke dalam tubuhnya untuk menjadi ‘tidak terlihat’ oleh para Zombie.

Orang-orang cemas yang memakai masker di mana saja, mencuci tangan setiap saat, menjaga jarak dengan orang lain, bahkan memakai hazmat di supermarket sebagai langkah menutup gerbang antara virus dan dirinya mungkin akan tampak konyol. Tapi ingat, mereka yang tampak konyol itu bisa jadi adalah orang-orang yang akan melewati masa pandemi ini dengan selamat ketimbang Anda yang sok bersikap keren.

Memang, menjadi orang cemas akan menyusahkan. Tapi dalam perspektif evolusi, Alam tidak peduli apakah kita merasa nyaman atau tidak di dalamnya, ia hanya peduli apakah kita cocok atau tidak untuk lolos proses Seleksinya.

Jadi, alih-alih mencemaskan orang-orang dengan kecemasan yang mengambang bebas, mereka malah mungkin menemukan semacam ‘revelation’ dalam pandemi ini bahwa “apa yang saya lakukan selama ini, menjaga jarak, mencuci tangan, tidak naik pesawat, adalah benar” karena virus memberi mereka objek nyata untuk dicemaskan. Baik atau buruk, banyak orang bisa bertahan dengan kecemasan kronis sampai 14 tahun, tapi banyak orang biasa bisa mati hanya dalam 14 hari karena terinfeksi Coronavirus.

Dan alih-alih mencemaskan orang-orang yang mengalami kecemasan situasional akibat pandemi dengan melarang mereka untuk cemas, mungkin lebih baik memikirkan cara membuat kaum Hypophobies yang kita persoalkan ini untuk sedikit mengalami peningkatan kecemasan.

Untuk membuat sekelompok pemburu-pengumpul yang nomaden bisa berdiam di suatu tempat dan membentuk perkampungan dibutuhkan sebuah Revolusi Besar pemikiran. Begitu pula untuk membuat kaum Hypophobies ini mau #StayAtHome, misalnya, kita harus membuat mereka berpikir kembali tentang apa yang penting dalam hidup mereka. Dan untuk itu, sedosis kecemasan yang diresepkan secara teratur mungkin bisa berfungsi.

Sembari menunggu vaksin dan strategi kebijakan yang tepat muncul, berharap pada kecemasan mungkin terdengar tak lazim dan irasional, tapi ini bukan langkah frustrasi, dan ini tidak bertentangan dengan rasionalitas evolusi.

Sekali lagi, kita sedang berbicara dalam perspektif evolusioner.

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

1 komentar

Tinggalkan komentar