Santri Cendekia
Home » Para Ulama Yang Dibuang

Para Ulama Yang Dibuang

Ini tentang mereka yang dibuang.  Diasingkan dari dunia oleh para pemuja dunia, padahal mereka sama sekali tidak punya kemauan pada dunia. Mereka dibuang karena keteguhan mereka, keteguhan mereka mempertahankan kebenaran ilahi di depan keserakahan penguasa lalim. Mereka adalah para ulama. Para penggenggam bara pewaris para Nabi. Nabi yang tidak mewariskan dirham dan dinar, pun tidak sebuah kedudukan di mata manusia haus dunia. Nabi hanya mewariskan dakwah dan perjuangan. Kita tahu hukum besi itu ; setiap seruan kebaikan akan dihadang buasnya pengawal kebatilan. Maka para ulama adalah pedang sekaligus perisai, mereka merasai luka dan perih zaman melebihi siapapun.
Sayyid Quthb di Penjara
“Pengasingan bagiku adalah rihlah”. Ibnu Taymiyah tidak sedang menghibur dirinya ketika menyatakan kalimat itu, karena itulah kenyataannya. Sampai habis akal penguasa memadamkan cahaya wibawanya sebagai pembela tauhid. Ia diasingkan, di pengasingan ia malah mendapatkan pengikut baru. Ia dipenjara, penjara justru jadi tempatnya menyelesaikan tulisan-tulisannya, bahkan murid tersohornya Ibnul Qayyim rela menemani sang guru dalam penajra. Siapa yang tidak kenal dengan HAMKA?, tafsir al-Azhar yang merupakam magnum opus-nya itu selesai di balik jeruji. Begitu pula dengan Sayyid Qutb, ia menyelesaikan Fi zhilal al-quran di dalam pengap penjara rezim Nasser. Tidak heran jika tafsir meski ditulis dalam bahasa bersastra tinggi, membuat setiap tiran bergidik ketakutan. Merinding habis nyali.
 
Sejarah perjuangan bumi pertiwi adalah kisah ulama-ulama yang dibuang. Tuanku Imam Bonjol, imam di langgar juga imam di medan jihad. Ia berhasil ditangkap penjajah melalui muslihat licik. Ia lalu dibuang ke kampong Bali di Jakarta dan segera saja pengaruhnya menyebar di sana, ia lalu dibuang ke Cianjur hal sama terjadi lagi, meski berasal dari ujung Sumatra namun orang-orang Sunda menganggapnya ajengan mereka sendiri. Ternyata Belanda kapok juga mengasingkannya ke daerah yang Islamnya menjadi tulang sum-sum dalam tatanan masyarakat. Maka Imam Bonjol dibuang ke Ambon, tapi anggapan mereka meleset jauh, di Ambon Imam Bonjol juga menyebar pengaruh. Hampir habis akal, Belanda mengirimnya ke Lutak, Manado, sebuah daerah  basis Kristen. Namun seperti sebelum-sebelumnya, pengaruh seorang Imam Bonjol tidak dapat dibendung. Ia justru menjadikan Lutak kampung muslim ditengah-tengah daerah Kristen Manado. Begitulah, jika dakwah sudah menjadi bagian dari jiwa, menyatu dalam ruh, menjadi kegaitan serutin nafas. Setiap nafas seolah dakwah sehingga di manapun ia, selama mampu bernafas, maka ia juga mamapu berdakwah.
 
Syekh Yusuf Taju Khalwati al-Makassari malah membuat kaum imperialis lebih repot lagi dengan jiwa dakwahnya. Dimanapun ulama yang oleh orang Makassar dipanggil Tuanta Salamaka ini mampu mendakwai masyarakat  tidak hanya sampai pada kesadaran beragama biasa, bahkan sampai pada kesanggupan berjihad. Ketika Gowa-Tallo kalah dan Traktat Bongaya mengakhiri perang Sultan Hasanuddin, ia berlayar ke Jawa dan memnjadi mesin spritual perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa. Ia tertangkap, dibuang kemana-mana dan berakhir di Cape Town Afrika Selatan. Imperialis pasti tidak menyangka, di benua hitam itu pun putra asli Makassar berkulit tropis ini mampu memobilisasi perlawanan. Ya itulah, dakwah yang telah menjadi nafas.
 
Hmmm kembali pada kita, apakah dakwah telah menjadi bagain dari diri kita?. Jika kita belum mampu sedahsyat ulama-ulama tadi, minimal hati ini masih terusik melihat munkar.
Baca juga:  Menggagas Fikih Media Sosial

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

2 komentar

Tinggalkan komentar