Santri Cendekia
Home » Pelajaran Penting dari Perang Uhud dan Hunain

Pelajaran Penting dari Perang Uhud dan Hunain

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ 

            Perang Hunain dan Uhud, dua perang yang meninggalkan kesan dan pelajaran yang cukup mendalam dalam benak muslimin. Tanpa mengabaikan berbagai macam pelajaran yang Allah berikan di setiap perang besar yang dialami oleh Muslimin, mengingat hampir setiap perang besar yang dilalui Muslimin direkam dengan tuturan yang indah dan terkadang tegas oleh Al-Qur’an Al-Karim agar menjadi pelajaran bagi kita. Pasalnya dua perang ini, Hunain dan Uhud, adalah dua perang dimana muslimin mengalami kondisi kritis dan hampir kalah di dalamnya. Jadi kurang tepat sepertinya ketika kita menyebut bahwa muslimin mengalami kekalahan di perang uhud seperti yang sering digaungkan selama ini. Karena sebenarnya perang uhud berakhir tanpa hasil yang jelas, muslimin berhasil bertahan di atas bukit. Musyrikin putus asa dan memutuskan akan kembali ke mekah, namun keesokan harinya muslimin kembali menaikan bargaining positionnya dalam perang hamra’ul asad dengan mengintimidasi dan mengusir musyrikin kembali ke makkah. Sekaligus membentuk opini di tengah masyarakat jazirah arab.

          Penyebab kritisnya kondisi muslimin dalam dua perang ini pun sama, kesalahan yang datang dari dalam tubuh muslimin itu sendiri, Kesalahan muslimin pada perang uhud yang digambarkan dalam Surat Ali Imran : 152 Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada sa’at kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah mema’afkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman.” Pasukan pemanah yang melanggar perintah Nabi dan meninggalkan post mereka karena tidak mau ketinggalan perebutan ghanimah dengan pasukan infantri dan pasukan berkuda. Hubbudunya (cinta dunia) yang muncul di tengah pertempuran.

          Sedangkan kesalahan muslimin yang terjadi pada perang hunain, digambarkan dalam surat At-Taubah ayat 25, Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” Sebagian Muslimin yang baru masuk islam bangga terhadap jumlahnya yang banyak. Lalu angkuh dan melupakan kaidah bahwa Allah-lah sumber kemenangan utama mereka selama ini. Tawakkal kepada Allah pun bergeser kepada tawakkal kepada jumlah pasukan.

Baca juga:  Tentang Berita yang Viral dan Teori Mutawatir

      Kisah ini ada bukan agar kita bisa menghakimi kesalahan generasi sahabat yang mulia itu. Dua kisah ini, hendaknya menjadi peringatan keras di setiap jaman, khususnya generasi kita. bahwa hal-hal seperti di atas akan selalu ada dan sangat berpotensi muncul ditengah-tengah tubuh kamu muslimin.

         Bukankah banyak anggota partai atau ormas, baik yang mengusung jargon islam ataupun nasionalis, dulunya di masa merintis dan berjuang bisa begitu gagah dan idealis? Namun setelah partainya kaya, banyak didekati cecunguk-cecunguk kapitaslis, dirinya menjadi kaya, mendadak melempem seperti peyek terkena angin malam. Atau bahkan ikut-ikutan mengeruk uang haram dan ikut menghancurkan islam dari dalam. Memang dalam sebuah perjuangan, ujian musibah dan kesulitan ternyata masih jauh lebih mudah daripada ujian kenikmatan. Maka dalam sebuah perjuangan, kesabaran adalah kunci sampainya kita kepada tujuan. Sabar menanggung beban, sabar dalam ketaatan, dan sabar menempuh lamanya perjalanan.

     Penyakit yang kedua, berjuang untuk Allah, tapi bersandar kepada selain Allah. Bersandar kepada modal, bersandar kepada jumlah, bersandar kepada fasilitas, bersandar kepada tokoh, dan bersandar kepada apapun selain Allah. Tentu wajib hukumnya kita mengikhtiarkan sebab untuk mencapai sebuah tujuan, tapi Allah harus tetap jadi sandaran utama, aturan main-Nya harus tetap jadi landasan utama.

        Ketika berbicara konteks jumlah orang, di era demokrasi ini, seolah-olah mereka yang berhasil mengambil masa lebih banyak, maka mereka yang akan Berjaya. Jika pemikiran seperti ini ada di dalam benak mereka-mereka yang mengusung politik sekuler, oke tidak mengherankan. Tapi jika yang mengusung jargon islam pun memiliki world view yang seperti ini? Sudah cukup, karena mereka sudah kalah sebelum bertarung. Apalagi jika demi popularitas dan elektabilitas, politik praktis pun ditempuh. Lalu apa bedanya kita yang bertauhid dengan mereka yang tidak?

Baca juga:  Perubahan Fikih dan Usul Fikih dalam Kajian Sosial Humaniora (3)

      “Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal” (Ali Imran : 160). Allah lah sebab kemenangan muslimin yang utama. Jika kita berusaha meraih kemenangan dengan cara dan pemikiran yang tidak diridhai-Nya? Sampai kapanpun kemenangan itu tak akan datang, kalaupun datang ia kemenangan yang rapuh dan bersifat sementara.

Semoga kisah uhud dan hunain senantiasa menjadi pelajaran dan bekal kita yang berjuang di jalan-Nya.

Allahu a’lam bishshawab

Referensi :

Sirah Nabawiyah, Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-shallabi.

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar