Santri Cendekia
Home » Pengantar Awal Memahami Kajian Orientalis terhadap Islamic Studies

Pengantar Awal Memahami Kajian Orientalis terhadap Islamic Studies

Dalam pembacaan saya pribadi, salah satu agenda penting dalam kajian orientalis adalah usaha mereka untuk mencoba menceritakan ulang hal-hal yang berkaitan dengan Islam baik itu fikih, akidah, tafsir, ataupun sirah. Tentunya, mereka mengklaim bahwa mereka berusaha mencari versi cerita yang “objektif” (versi mereka) dan bukan cerita yang “penuh dengan bias keimanan” yang diceritakan Muslim pada umumnya.

Akan tetapi, dalam proses menceritakan ulang tersebut, mereka justru tak akan segan (mencoba) menghancurkan bangunan ilmu-ilmu Islam yang sudah mapan dan dipercayai hingga saat ini. Hal ini dikarenakan pedoman skeptisisme yang mereka anut. Maksudnya, apapun informasi yang sampai pada tangan mereka, akan dianggap sebagai palsu atau salah (bukan netral, tapi salah), sampai terbukti kebenaranya.

Dalam perjalanan mencari sejarah Islam yang “objektif” tersebut, mereka terbentur dengan satu hal pertanyaan mendasar, yaitu “Sumber apa yang akan mereka gunakan? Apakah Al-Quran itu otentik dan cukup untuk dijadikan sumber? Apakah Hadis-hadis Nabi juga otentik dan bisa dijadikan sumber terpercaya untuk menjelaskan Sejarah Islam?” Sejauh ini, mereka (masih) percaya bahwa al-Quran bisa dijadikan sumber untuk mendefinisikan Islam. Tapi Hadis? Apakah hadis itu benar-benar otentik dari Nabi Muhammad? Atau hanya karangan para ulama saja?

Dari sini, para orientalis mulai menambah pekerjaan rumah besar satu lagi, yaitu menguji apakah hadis itu otentik berasal dari Nabi Muhammad ataukah tidak. Munculah kemudian tokoh-tokoh yang mencoba membuat buku pengenalan tentang Islam dan juga membahas tentang hadis-hadis Nabi Muhammad.

Salah satu contohnya adalah Joseph Schacht (death 1969). Tesis dia yang cukup menggemparkan dan dianggap sangat meyakinkan adalah sebagai berikut:

Semua hadis, khususnya hadis hukum, yang ada dan dipercayai umat muslim, sebenarnya hanyalah karangan para ulama saja. Jikapun ada hadis yang benar datang dari Nabi Muhammad, itu hanyalah sedikit. Selain itu, palsu. Sanad yang dikenal oleh orang muslim, itu hanyalah akal-akalan ulama. Sistem sanad dibuat agar perkataan mereka (ulama) memiliki otoritas yang kuat, sehingga mereka membuat sistem agar dapat menyematkan kata-kata mereka sendiri ke generasi sebelumnya hingga ke Nabi Muhammad (projecting back).

Baca juga:  Tiga Kali Tidak Shalat Jumat, Kafir?

Tesis tersebut diamini oleh banyak orientalis, yang kemudian membuat banyak orientalis, mengagumi, mengapresiasi, dan berbondong-bondong membuat karya-karya dengan pondasi dasar tesis miliki Schacht. Mengenai detail teorinya, anda bisa membaca bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (1950), dan An Introduction to Islamic Law (1960). Keduanya sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Jika kita mengibaratkan keilmuan Islam sebagai sebuah bangunan, maka tesis Schacht ini tak segan-segan merupakan percobaan ilmiah untuk mem-bom atom pondasi inti bangunan tersebut. Karena tak mampu menyerang otentisitas al-Quran yang merupakan pondasi inti, mereka menyerang otentisitas pondasi inti yang lainya, yaitu Hadist/ Sunnah. Jika kita ikut mengamini tesis ini (dan sudah banyak yang mengamini tesis ini), maka umat muslim sekarang itu sebenarnya tak lebih dari sekedar ahlu bid’ah, atau minimnya, sekelompok orang-orang yang tertipu.

Dari tesis itulah banyak sekali penelitian sekarang yang mencoba meneliti ulang tentang keotentikan hadis/ sunnah ini. Para peneliti mencoba berebut klaim kebenaran mengenai “apa yang sebenarnya terjadi di masa formatif (masa pembentukan) hukum Islam khususnya di dua abad awal hijriah”. Benarkah para ulama ini hanyalah tukang tipu yang menyematkan perkataan mereka sendiri dengan teori projecting back? Benarkah Imam Syafi’i adalah dalang utama yang menyebabkan hadis dianggap sebagai sumber hukum, padahal ulama-ulama sebelumnya tidak mengatakan demikian? Atau serangan balik berupa pertanyaan, kenapa para orientalis ini bersi keras tidak mau percaya dengan keilmiahan sanad (metode oral)? Memangnya yang ilmiah bisa ilmiah itu cuma peradaban anda saja? Kolonial sekali cara pikrnya. Memangnya yang bisa ilmiah itu hanya ketika ada naskah-nya saja? Bukanya naskah juga bisa palsu? Dan pertanyaan-pertanyaan berat lainya seputar sejarah di masa itu.

Baca juga:  Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (1)

Sejarah Munculnya Gugatan Otentisitas Hadis

Merujuk dari kajian Syamsudin Arif, jika dirunut dari sejarahnya, gugatan ini pertama kali muncul pada pertengahan abad 19 M oleh orientalis bernama Alois Sprenger. Dalam studinya, dia mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya hadis hanyalah kumpulan anekdot (cerita bohong, tapi menarik). Klaim ini kemudian diamini rekan-nya Wiliam Muir yang menyatakan bahwa nama Muhammad dicatut oleh para ahli hadis untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan. Oleh karenanya hadis yang dianggap sahih dalam Sahih Bukhari, paling tidak separuhnya harus ditolak.

Selang beberapa waktu, muncul Ignaz Goldziher yang sempat belajar setahun di Al-Azhar Kairo (ya elah, baru juga setahun) yang kemudian dinobatkan sebagai orang paling mengerti tentang Islam oleh para orientalis di masanya. Meskipun pernah belajar di al-Azhar, pendapatnya tentang hadis lebih negatif daripada pendahulunya. Menurutnya sebagian besar hadis adalah palsu, maka tidak bisa dijadikan sumber informasi mengenai sejarah awal Islam. Hadis hanyalah produk buatan masyarakat Islam beberapa abad setelah Muhammad meninggal, dan bukan berasal dari Muhammad sendiri. Oleh teman-temanya, pendapat Goldziher diamini, termasuk oleh David Samuel Margoliuth, dan tentunya oleh muridnya Josep Schacht, yang juga murid dari Snouck Hungronje.

Jika karya-karya orientalis sebelumnya hanya sampai kepada tingkat ”meragukan” otentisitas hadis-hadis nabi, maka karya Schacht sampai kepada tingkat “meyakinkan” bahwa memang tidak ada hadis-hadis yang otentik, terutama dalam hadis-hadis hukum, dan kalaupun ada itu sangat sedikit sekali. Klaim besar ini kemudian menjamur di kalangan para orientalis dan menjadi asumsi dasar dari banyak kajian yang dilakukan para orientalis.

Jika boleh dirangkum, gerbong orientalis untuk mengkaji (mendekontruksi) Islam ini dapat dibagi ke dalam beberapa arah kajian. Ada yang fokus pada kajian matan hadis (Sprenger, Muir, Goldziher), ada yang menyerang metode isnad-nya (Horovitz, Schacht, Juynboll), hadis sejarah yang berhubungan dengan sirah (Kister, Scholler, Motzki). Sebagian menggugat hadist hukum dan juga fikih (Schacht Powers, Calder), dan yang lain berfokus pada hadis tafsir (Wansbrough, Rippin, Gilliot).

Baca juga:  Bagaimana Menulis Tesis dan Disertasi Islamic Studies dengan Framework Ilmu Sosial Humaniora? (2)

Tentu saja karya-karya orientalis ini sudah dibantah oleh banyak sarjana muslim. Mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Mustofa ash-Shibai, Muhammad Abu Suhbah, Abdul Ghani abdul Khaliq, Muhammad al-Ajjaj al-Khatib, Muhammad Hamidullah, Fuat Sezgin, Nabia Abbot, Muhammad Mustofa al-Azami, Abu Zahrah, Zafar Ishaq Ansari, dan banyak tokoh lainya.

Meskipun sudah begitu banyak yang membantah secara ilmiah, tapi memang ada banyak faktor yang menyebabkan kajian orientalis tidak sepi peminat dan pengikut. Bahkan di negeri yang mayoritasnya adalah umat Islam. Ada faktor uang, berupa beasiswa untuk sekolah di Barat dan juga Universitas kita yang mengharapkan cipratan “dana-dana” tertentu. Ada faktor trend-center, dimana Bangsa Barat dianggap sebagai trend-center dunia, sehingga banyak yang latah menjadi followersnya. Faktor politik, dimana banyak negara muslim yang chaos dan umatnya disibukan bukan untuk belajar. Dan masih banyak lainya.

Wallahu Musta’an.

Alda Yudha

Muallimin Yogyakarta, Univ. Al-Azhar, UIN Sunan Kalijaga, UII Yogyakarta || Saat ini jadi Mahasiswa PhD Frankfurt Goethe University

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar