Santri Cendekia
Home » Pengaruh Aqidah Muktazilah Terhadap Pandangan Ushul Fikih Mereka.

Pengaruh Aqidah Muktazilah Terhadap Pandangan Ushul Fikih Mereka.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Sebelum membahas mengenai pengaruh akidah Muktazilah terhadap pemikiran ushul fikih mereka, terlebih dahulu akan dipaparkan secara global prinsip-prinsip akidah mereka. Akidah golongan Muktazilah yang paling utama adalah lima pokok ajaran yang mereka sebut al-ushul al-khamsah, atau lima pilar utama. Kelima prinsip tersebut diurutkan menurut kepentingan dan kedudukannya, yaitu :
1. Ke-Esaan (at-Tauhid),
2. Keadilan (al-‘Adlu),
3. Janji dan Ancaman (al-Wa’du wa al-Wa’id),
4. Tempat di antara dua tempat (al-Manzilatu baina al-manzilataini) dan
5. Menyuruh berbuat baik dan melarang segala kemungkaran (amar ma’tuf nahi munkar).
Kelima prinsip di atas sebenarnya juga diyakini oleh ummat Islam selain kalangan Muktazilah, tetapi kalangan Muktazilah memiliki pemahaman tersendiri yang berbeda dengan ummat Islam pada umumnya. Dalam memahami konsep at-Tauhid, mereka berpendapat bahwa Allah awt tidak boleh memiliki sifat-sifat yang membuat-Nya menyerupai manusia, sebagai jalan keluar, mereka menakwil ayat-ayat yang sepintas menggambarkan Allah memiliki sifat manusia. Konsekuensi dari takwil mereka adalah pengingkaran terhadap beberapa sifat Allah, menganggap al-Qur’an adalah makhluk, mengingkari sifat-sifat Allah sebagai sesuatu yang qadim, dan mengingkari melihat Allah di akhirat kelak.
Konsep al-‘Adalah juga mereka pahami dengan cara berbeda dengna mayoritas ummat Islam. Karena menganggap Allah adalah Maha Adil, maka mereka menyatakan bahwa bukan Allah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia dan manusialah yang memiliki kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan baik atau buruk. Dengan demikian manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Konsep al-wa’du wa al-wa’id adalah kelanjutan atau konsekuensi logis dari konsep keadilan. Manusia yang berbaut baik akan mendapatkan balasan dan mereka yang berlaku buruk diancam azab yang pedih .
Prinsip berikutnya dari Muktazilah adalah prinsip al-Manzilatu baina al-Manzilataini, atau tempat di antara dua tempat. Prinsip inilah yang mejadi penyebab Washil bin Atha’ memisahkan diri dari forum Hasan al-Bashri. Menurutnya seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir namun juga bukan lagi seorang mukmin, melainkan menjadi seorang fasik . Prinsip terakhir adalah memerintah pada kebaikan dan melarang keburukan.
Menurut Dr. Ali bin Said bin Shalih ad-Dhauly, seorang guru besar Ushul Fikih dan Syariah di Ahsa, di dalam bukunya Arau al-Mu’tazilati al-Ushuliyah, dari kelima prinsip di atas, prinsip pertama dan kedualah yang dianggap sebagai prinsip utama. At-Tauhid dan al-‘Adlu adalah dua prinsip yang berdiri sendiri tetapi tidak dapat dipisahkan dari lainnya. Oleh karena itu, kalangan Muktazilah sangant bangga menyebut diri merkea sebagai ahlu al-‘adli wa at-tauhid . Kedua prinsip itulah yang pada gilirannya memberikan pengaruh yang besar terhadap pemikiran ushul fikih mereka.
1. Wajibnya mensyukuri nikmat Allah ta’ala
Al-Qadhi Abdul Jabbar telah menjelaskan masuknya perkara ini kedalam ashal al-adli atau pokok keadilan. Beliau menjelaskan bahwa salah satu bagian dari ulum al-‘adli adalah kita mengetahui bahwa segala nikmat yang nampak hanyalah berasal dari Allah. Baik nikmat-nikmat tersebut diperoleh langsung dari Allah, atau dengan perantara selain-Nya. Perkara ini dimasukan ke dalam ulum al-‘adl maksudnya adalah Allah membebani kita untuk mensyukuri segala nikmat yang nampak, karena semua nikmat tersebut merupakan bagian dari perbuatan Allah. Jika sekiranya nikmat-nikmat tersebut bukan bagian dari perbuatan-Nya, tentu Ia tidak akan menyuruh kita mensyukurinya, karena itu adalah perbuatan yang buruk.
2. Tidak bolehnya nasakh dalam perkara- perkara ibadah dan perkara-perkara yang ditaklifkan.
Mereka beralasan untuk hal ini bahwa ibadah-ibadah merupakan bagian dari maslahat-maslahat manusia, maka tidak mungkin menghilangkannya (raf’uha). Mereka juga berargumen bahwa perbuatan-perbuatan yang pada esensinya dapat diketahui baik dan buruknya tidak boleh dinasakh.
3. Syari’ tidak boleh menetapkan suatu taklif pada suatu perkara tetapi melarang mengerjakannya.
Alasannya karena memerintahkan atau membebankan untuk mengerjakan sesuatu lalu melarang mengerjakan perbuatan tersebut, atau membuat suatu penghalang untuk mengerjakannya merupakan hal buruk yang tidak mungkin dilakukan oleh Allah.
4. Allah tidak boleh memperdengarkan (menurunkan) kepada mukallaf nash-nash umum yang makhsus tanpa menurunkan nash-nash yang menghususkannya (mukhassis).
Abu Hudzail dan asy-Syahham menerangkan bahwa sekiranya di dalam pengetahuan Allah seseorang mendengar ayat yang zhahirnya umum sedangkan orang itu tidak mendengarkan ayat menghususkannya, maka Allah tidak boleh menurunkan ayat tersebut kecuali bersama ayat yang menghususkannya.
5. Allah ta’ala tidak boleh berkata kepada Rasul-Nya atau orang-orang yang memiliki ilmu (ulama) “hukumilah sekehendakmu”
Bagi kelompok Muktazilah, Allah tidak boleh memberikan kebebasan kepada Rasul-Nya atau orang-orang yang berilmu untuk berhukum sesuka mereka dengan alasan bahwa mereka akan sealu berkata dan berbuat baik. Allah wajib memelihara maslahat manusia, padahal terkadang manusia memilih perbuatan yang tanpa mereka ketahui mengancam kemaslahatan mereka.
Selain konsep ke-Esa-an Allah dan keadilan, konsep al-wa’du wa al-wa’idu atau janji indah dan ancaman juga berpengaruh besar di dalam pandangan ushuli madzhab Muktazilah. Konsep ini antara lain berpengaruh pada pandangan mereka tentang beberapa hal berikut ;
1. Disyaratkannya kehendak pada perintah (al-amr) dan larangan (an-nahyu).
2. Al-Wajib al-Mukhayyar harus dikerjakan semuanya.
3. Haram al-Mukhayyar harus ditinggalkan semuanya.
4. Mujtahid yang salah dalam ijtihadnya mendapatkan dosa dan pantas untuk disiksa karena kesalahannya itu (yastahiqqu al-istma wa al-’iqab).
5. Seorang ‘alim tidak boleh bertaqlid kepada seorang mujtahid dalam cabang-cabang syariat. Pendapat ini adalah pendapat Muktazilah Baghdad, mereka berkata bahwa seorang harus mencari sendiri dalil dari mujtahid dalam masalah furu’ jika ingin mengikuti mujthid tersebut.
Prisnsi al-Manzilatu baina al-manzilataini juga memiliki implikasi kepada pandangan ushul fiqih Muktazilah bahwa dosa yang diperoleh seorang mukmin karena perbuatan dosa besar akan menghapus segala amal kebaikannya. Asas terakhir yakni al-amri bi al-ma’ruf ya nahyu ‘an al-mukar berpengaruh pada cara mereka menghukumi perbuatan-perbuatan yang mengantarkan pada kebaikan atau keburukan. Bagi mereka hukum memerintah kepada yang wajib adalah wajib, yang sunnha adalah sunnah, begitupun setertusnya, melarang berbuat haram adalah wajib dan melarang berbuat makruh hukumnya mandub .
Maraji : Ali bin Sa’id bin Shalih ad-Dhauhi, Arau al-Mu’tazilati al-Ushuliyah, (Riyadh : Maktabah al-Rasyid Li an-Nasyri wa at-Tauzi’, 1995).

sumber gambar ; jalanakhirat.wordpress.com/2010/03/12/muktazilah
JIKA INGIN MENDOWNLOAD KITABNYA SIALAKAN KE LAMAN DOWNLOAD KAMI
Baca juga:  Perkembangan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Respon Cendekiawan Islam (2)

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar