Santri Cendekia
Home » Peran Perempuan dalam Jihad Melawan Korupsi

Peran Perempuan dalam Jihad Melawan Korupsi

Ketika  Ketua Mahkamah Konstitusi tertangkap tangan menerima suap terkait hasil sengketa Pilkada Lebak, sempurna sudah korupsi yang terjadi di tanah air. Terkonfirmasi sudah pernyataan sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa korupsi di Indonesia telah meluas secara sistemik dalam seluruh aspek kehidupan. Apa jadinya manakala Republik ini tidak memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi yang dengan istiqamah melakukan jihad melawan korupsi. Kiprah KPK ini sejalan dengan ajaran agama yang menegaskan bahwa tindakan korupsi adalah perilaku tercela.

Ada beberapa ekspresi korupsi yang semuanya dilarang agama. utamanya adalah, pertama, penggelapan (ghulul), kedua, penyuapan (risywah), dan ketiga, gratifikasi (hadiah). Satu hadis menegaskan bahwa Allah melaknat orang yang memberikan suap, yang menerima suap, dan orang menjadi perantara antara penyuap dan dan penerima suap. Untuk yang kedua, Allah berfirman, “…siapa yang melakukan penggelapan maka dia pada hari kiamat disidang dengan membawa apa yang dikorupsinya…” Sedangkan yang ketiga Nabi saw bersabda “hadiah yang diterima karena suatu jabatan adalah korupsi. Kiranya disepakati bahwa korupsi adalah perbuatan tecela atau kemunkaran yang mesti ditolak oleh setiap orang.

Tercelanya korupsi terlihat dari dampak negatif yang diakibatkan korupsi. Setidaknya ada tiga dampak negatif korupsi. Pertama, dampak politik, kedua, dampak ekonomi, dan ketiga, dampak sosial budaya. Politik dimaknai secara sederhana sebagai keterlibatan kekuatan-kekuatan politik dalam mengambil kebijakan terkait poleksosbudhankam maka akibat adanya korupis kebijakan yang diambil diyakini tidak akan berdampak pada pihak yang menjadi bagian dari transaksi yang koruptif itu. Sebaliknya kebijakan politik yang dihasilkan hanya akan menguntungkan pihak-pihak status quo yang terdekat dengan sirkulasi ekonomi politik misalnya.

Karena itulah, dalam kenyataan praktik sedemikian ditandai dengan proses-proses pengambilan kebijakan dilakukan secara tertutup dan kurang atau malah tidak melibatkan masyarakat luas yang semestinya menjadi perhatian pengambil kebijakan. Pada gilirannya dampak ini pun akan diikuti dengan dampak terdiskriminasinya pihak-pihak yang tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan itu. Korupsi juga menyebabkan penegakan hukum tidak berjalan secara adil. Hukum hanya ditegakkan kepada mereka yang tidak ‘membayar’, sementara kepada mereka yang ‘membayar’ perkara hukum hanyalah semacam ‘macan’ kertas yang tidak berefek sama sekali.

Dampak ekonomi korupsi terbaca dari tidak terdistribusikannya sumber daya yang menyejahterakannya rakyat secara merata dan adil. Sumber daya itu hanya akan berada pada segelintir orang dan mengorbankan sebagian besar orang. Biasanya kekuasaan berperan penting dalam peristiwa ini. Karena itulah ‘perselingkuhan’ antara penguasa dan pengusaha acapkali terjadi dalam aspek ini. ‘perselingkuhan’ ini pula yang, antara lain, menyebabkan harga-harga kebutuhan masyarakat menjadi tinggi akibat tingginya ongkos produksi yang disebabkan pemberian pungutan itu. Semua pungutan itu kemudian dibebankan kepada pengguna produk atau jasa.

Baca juga:  Harapan Ulama Muhammadiyah Untuk Presiden Jokowi

Sementara, dampak sosial budaya korupsi terungkap pada terbentuknya sikap dan mental pelaku korupsi yang jauh dari ajaran dan perbuatan terpuji. Dalam kasus penyuapan, misalnya, korupsi secara pasti membentuk pelakunya sebagai seorang yang rakus dan egois yang sama sekali tidak memperhitungkan kehadiran orang lain di sekitarnya. Di sisi lain, penerima suap dibentuk sedemikian juga jiwa dan cara pandang hidupnya untuk bergantung kepada orang yang senantiasa memenuhi pundi-pundi ekonominya dengan cara instan. Ini pada gilirannya akan melahirkan anggota masyarakat yang malas. Puncaknya masyarakat dibentuk bermental lembek karena tidak pernah menghadapi kehidupakn nyara yang semestinya dihadapi dengan peluh dan upaya yang mandiri.

Perempuan Melawan Korupsi: Mengapa dan Bagaimana?

Manakala disepakati korupsi itu sebagai perbuatan yang munkar dan tercela, maka melawan perilaku korupsi yang munkar adalah kewajiban setiap orang baik lakui maupun perempuan. Ini sejalan dengan firmanNya yang menyebutkan bahwa “baik laki-laki maupun perempuan ketika melakukan amal kebajikan, selama ia bermodalkan iman kepada Allah maka Allah anugerahkan kehidupan yang baik…” Ayat itu pula yang menjadi landasan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah yang dibantu ulama perempuan dan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah saat memutuskan bahwa perempuan sebagaimana halnya laki-laki wajib hukumnya untuk terlibat dalam lapangan dakwah Islam amar ma’ruf wan nahyi munkar sebagaimana disebutkan dalam salah satu poin putusan risalah Adabul Mar’ah fil Islam (Etika Perempuan dalam Islam) pada Muktamar Tarjih tahun 1976 di Garut, Jawa Barat.

Lalu bagaimana perempuan melawan korupsi? Memperhatikan posisi dan peran perempuan, perannya untuk melakukan jihad melawan korupsi dapat diwujudkan dalam beberapa lapis aksi. Tulisan singkat ini mengambil posisi perempuan sebagai istri dan ibu. Dari sekian cara yang mungkin dilakukan perempuan untuk melawan korupsi dalam keluarganya, dua di antaranya dapat menjadi pilihan utama.

Baca juga:  Bagaimana Menulis Tesis dan Disertasi Islamic Studies dengan Framework Ilmu Sosial Humaniora? (1)

Pertama, mengedepankan kualitas furqan. Kedua, mempraktikkan nilai qana’ah dalam kehidupan sehari-hari. Furqan adalah kualitas hati dan jiwa seseorang yang dihasilkan dari martaba keimanan dan ketakwaan yang efektif. Dengan kualitas furqan inilah pemiliknya memilah yang halal dari yang haram, yang baik dari yang jelek, yang haq dari yang bathil. Kualitas furqan ini diwujudkan istri dalam bentuk menolak semua yang bernilai jelek, haram, dan bathil sehingga tidak dibawa oleh suaminya dan anak-anaknya ke rumahnya. Misalnya, seorang istri mengetahui dengan baik berapa penghasilan suaminya dalam sebulan dan berapa kemungkinan bonus yang dapat diraih suaminya dari perusahaannya. Manakala suatu saat, suami menyetorkan kepadanya uang yang lebih besar dari biasanya maka istri tidak perlu ragu untuk menanyakan asal-usulnya. Boleh jadi seorang suami menyimpan “uang laki-laki” di sakunya yang juga membuka peluang untuk terhadinya perbuatan korupsi. Untuk itu perlu dibuat kesepakatan jika pengeluaran mungkin dilakukan dari dua kas suami dan istri, maka seluruh pemasukan suami harus betul-betul terlaporkan kepada istinya. Atau sejak awakl dipastikan seluruh pengeluaran suaminya dengan seksama. Atau sejak awal disepakati bahwa untuk membelankan sesuatu mesti berasal dari satu kas pengeluaran yang hanya dipegang istri. Cara inilah yang bisa menepis keuangan keluarga untuk tidak bercampur dengan uang hasil korupsi.

Qana’ah adalah sikap dan kualitas mental untuk menerima sesuatu dengan memaksimalkannya. Sikap inilah yang membuat ‘pemiliknya’ menjadi ‘kaya’ selamanya. Pelaku qana’ah akan selalu kaya karena apapun yang dimilikinya menjadi ‘kekayaan’ yang mencukupinya secara efektif dengan berkahNya. Qana’ah adalah lawan dari sikap thama’ atau rakus di mana pelakunya tidak mengukur keperluannya dengan cermat sehingga ketika orang lain dirasakan mendahuluinya ia merasa harus menyalipnya. Ia selalu gelisah jika ia tidak mempunyai sesuatu yang senyatanya tidak diperlukan untuk kesehariannya. Karenanya sikap qana’ah-lah yang membuat istri mencegat suaminya serta putra-putrinya  dari berbagai “kemewahan” yang tak relevan. Termasuk “kemewahan” nikah lebih dari satu istri. Sikap qana’ah ini pula yang mendorong istri menguatkan suami untuk cukup dengan satu istri. Karena menikah dengan lebih dari satu istri bukan saja memerlukan syarat-syarat yang seringkali tidak dipenuhi suami sehingga perilakunya bertentangan denagan ajaran ihsan. Lebih dari itu poligami acapkali menjadi jalan masuk terjadinya korupsi.

Baca juga:  Biografi Syaikh Yusuf al-Qaradhawi

Tentu sikap istri kepada suaminya dibarengi dengan sikapnya yang “tabda’u binafsiha”, ia memulai dari dirinya sendiri. Karenanya istri pun wajib mempraktikkan qana’ah dengan tidak pernah ‘merengek’ kepada suaminya untuk membelikannya sesuatu yang mengakibatkan “besar pasak dari tiangnya” yang kemudian menjadi entry point perbuatan korupsi. Wallahu A’lam bish-Shawab.

Wawan Gunawan Abdul Wahid

Alumni Angkatan Pertama Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut dan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar