Santri Cendekia
pahlawan nkri islam
Home » Peran Ulama dalam Kemerdekaan Indonesia

Peran Ulama dalam Kemerdekaan Indonesia

Peradaban Hindu-Budha tempo dulu disebut-sebut sebagai sebuah peradaban yang memberikan kontribusi besar kepada Indonesia. Bukti-bukti fisik seperti candi dijadikan alasan untuk membenarkannya. Kita bisa lihat ada Candi Cetho, Candi Prambanan, hingga Candi Borobudur yang diakui oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Site).

Saat SMA kita diajari Kerajaan Majapahit dengan tokoh besarnya seperti Gadjah Mada yang terkenal dengan sumpah Palapanya. Dalam sumpahnya tersebut, Gadjah Mada berjanji tidak akan makan buah palapa sebelum berhasil menyatukan nusantara. Majapahit yang eksis pada abad 14 disebut-sebut sebagai pemersatu Indonesia. Tetapi kita perlu mencermati keterangan dalam buku sejarah SMA itu. Apakah hal tersebut benar? Jika benar tentu akan banyak bukti-bukti untuk menguatkannya.  Tetapi kenyataannya tidak pernah ada ceritanya Indonesia disatukan oleh Majapahit. Istilah Indonesia saja baru ada pada awal abad 20.  Jangankan menyatukan Indonesia, menyatukan seluruh Jawa saja tidak mampu. Bahkan Majapahit runtuh karena perang saudara.

Hindu-Budha pernah berjaya adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Tetapi kita jangan melupakan masa sesudahnya. Pada awal abad 15 sekelompok Ulama’ yang berasal dari berbagai penjuru dunia masuk ke Tanah Jawa. Mereka pada masa berikutnya dikenal dengan Walisongo, karena tidak ada istilah Walisongo di masanya. Masuknya Walisongo ke Jawa bukanlah Islamisasi yang pertama, karena pada masa sebelumnya muslim China juga pernah masuk ke Jawa.

Akan tetapi, masuknya Walisongo ke Jawa menjadi titik awal revolusi (perubahan secara cepat) Islam di Jawa. Walisongo melakukan perubahan secara masif. Bukan hanya sekadar mengganti tata cara ibadah, tetapi juga mengubah pranata sosial, ekonomi, dan politik. Belum sampai satu abad Walisongo berdakwah di Jawa, prestasi besar telah ditorehkan.

Kerajaan Islam yang menyatukan seluruh Jawa berhasil didirikan pada tahun 1482. Pada awalnya mereka membagi wilayah dakwah. Kemudian, mereka menyebar menjadi pengayom dan pembimbing di daerah-daerah bagiannya. Begitu efektif perannya hingga mereka juga menjadi pemimpin di daerah itu. Oleh karenanya mereka juga disebut Sunan yang berasal dari kata susuhunan yang bermakna penguasa suatu daerah. Kemudian mereka berkumpul dan membuat kesepakatan untuk bersatu. Akhirnya, terbentuk Kerajaan Islam yang pertama di Jawa terletak di Demak. Ulil Amrinya adalah Sultan Fattah yang diangkat oleh ahlul halli wal aqdi yakni walisongo itu sendiri dengan Syuro’.

Baca juga:  Kalender Ummul Qurra dan Hilal Awal Ramadhan 1441 H

Selain itu sistem ekonomi berbasis Syar’i juga diterapkan. Seperti dalam sistem ekonomi pertanian dan praktik ekonomi keseharian tidak menyelisihi ajaran Islam.  Sehingga pada zaman itu tidak ada gap yang besar antara orang kaya dan miskin, sebagaimana gap yang ditimbulkan oleh kapitalisme. Fakta menunjukkan bahwa jumlah kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin (Lembaga Oxfam, 2017). Sangat tampak ketimpangan akibat sistem peradaban setan kapitalisme.

Walisongo juga membuat lembaga kaderisasi seperti masjid dan pesantren. Dari sinilah lahir banyak mujahid-mujahid yang nantinya berjihad melawan penjajah. Masuknya penjajah Belanda ke Jawa setelah posisi Walisongo bercokol kuat di Jawa.

Kolonialisme yang dilakukan Belanda sangat merugikan orang Jawa. Pada abad 13, 14, dan 15, Nusantara dikenal sebagai wilayah yang sangat makmur dan tidak mengalami krisis pangan. Tetapi pada abad 19 mulai ada krisis pangan. Kita bisa melihat pada zaman itu dikenal istilah lumbung padi. Lumbung padi ini digunakan untuk menjamin keamanan pangan rakyat Indonesia supaya bisa makan sepanjang tahun.

Pada saat kolonialisme berlangsung ada perbedaan sikap di kalangan pribumi. Sebagian pribumi memilih menjadi birokrat kolonial, antara lain pejabat-pejabat sistem pemerintahan yang dibuat Belanda. Sebagian dari kaum bangsawan kerajaan yang tidak sabar melawan Belanda memilih pro kolonialis. Selain itu misionaris turut menjadi kaki tangan Belanda, orang yang Kristen lebih mudah tunduk pada kolonial daripada orang Islam. Sedangkan wong cilik, santri, dan ulama’ memilih melawan penjajah karena mereka terus dizalimi. Mereka juga menyadari bahwasanya penjajahan ini menyebabkan kemudharatan.

Sistem kaderisasi ala pesantren telah melahirkan sosok Ulama’ dan Mujahid seperti Syaikh Abdusshamad al-Falimbani, Pangeran Diponegoro,  hingga tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan seperti A. Hassan, Hasyim Asy’ari, Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan), M. Natsir, dsb. Peran Ulama’ dan Santri dalam sejarah Indonesia begitu besar. Perlawanan paling dahsyat melawan penjajah berasal dari ulama’ dan santri. Oleh sebab itu penjajah menjadi sangat benci dengan orang-orang seperti Ulama’ dan Santri. Berbeda dengan nashrani yang lebih mudah tunduk kepada kolonialisme, sebagaimana Ambon yang sebelumnya telah dikristenkan bisa dengan mudah dikuasai oleh Belanda.

Baca juga:  Kahanisme dan Pandangan Orang Israel terhadap Bangsa Arab-Palestina

Hingga saat ini penjajahan terus berlangsung dengan gaya yang berbeda oleh kaum kapitalis. Kebencian orang-orang kepada Ulama’ dan  Santri juga masih ada. Jadi, jangan heran jika Ulama’ dikriminalisasi dan Pondok Pesantren disebut pendidikan ketinggalan zaman, radikal, sarang teroris, dsb. Indonesia merdeka karena perjuangan Ulama’ melawan kolonialis durjana. Fakta-fakta yang ada jelas tertera.

Referensi:

Bachtiar, Tiar. “Peran Ulama dalam Kemerdekaan Indonesia”. 2017. Lecture.

Bachtiar, Tiar. “Sejarah Walisongo di Indonesia”. 2017. Lecture.

Abdullah, Rachmat. Walisongo: Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jaawa. Wafi Press

Referensi Pendukung lain

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar