Santri Cendekia
Home » Perang Lawan Covid-19: Ini Badar dan Khandaq, Bukan Uhud

Perang Lawan Covid-19: Ini Badar dan Khandaq, Bukan Uhud

Masyarakat dan pemerintah terkesan mulai mengendurkan semangat melawan Covid-19. Alasan bagi publik berperilaku demikian adalah pernyataan pemerintah melalui Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo pada Senin (11/5) lalu bahwa usia di bawah 45 tahun boleh beraktivitas kembali.

Dan beberapa kota yang diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai dilonggarkan.

Ini merupakan penguat dari rilis Presiden RI Jokowi pada Kamis (7/5) lalu bahwa Indonesia akan segera mengakhiri wabah ini dengan berdamai dengan virus bermahkota tersebut. Kedua pernyataan para pemangku kepentingan di negara Indonesia tersebut seakan membuat masyarakat semakin santai.

Dua pernyataan resmi pemerintah di atas tentu telah melewati kajian mendalam dan pastinya membuat rakyat Indonesia sedikit lega dan membuat rasa optimisme semakin membuncah. Bahagia mendengar kabar baik tentu manusiawi. Tapi jangan sampai melenakan dan membuat tindakan ceroboh.

Mudik, Shalat Idul Fitri di masjid, tradisi berkerumun di pusat perbelanjaan jelang hari raya, maupun saling berkunjung di hari Lebaran sebaiknya dipertimbangkan untuk tidak dilakukan.

Fenomena ini mengingatkan khalayak pada sejarah di masa Nabi Muhammad yaitu Perang Uhud. Sebagaimana diketahui, pada waktu itu ayah dari Fatimah az-Zahra tersebut meminta kepada semua pasukan panah untuk tetap berjaga di atas bukit apapun yang terjadi. Baik ketika tentara Islam diserang maupun menyerang.

Saat itu sebenarnya umat Islam berhasil memukul mundur serdadu Quraisy. Namun amanat Nabi Muhammad tidak diindahkan. Para pemanah teledor dan tergiur dengan harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh pasukan Makkah di bawah bukit.

Khalid bin Walid, Jenderal Quraisy yang saat itu belum memeluk Islam dari kejauhan melihat peluang tersebut dengan cermat. Seraya mengajak Ikrimah bin Abu Jahal di sayap kiri, Khalid memandang pemandangan langka di depannya sebagai kesempatan emas dan celah untuk memukul balik kaum Muslimin dari sisi kanan.

Baca juga:  Syahidkah orang yang Meninggal Karena Virus Corona?

Kuda dipacu dengan kencang bersama pasukan di belakangnya. Pasukan Islam yang sibuk mengemasi dan memungut perhiasan, senjata, kuda, maupun onta terlihat kalang kabut. Mereka dibuat porak poranda oleh Khalid dan Ikrimah. Banyak prajurit Muslim gugur. Sang Jenderal Islam Hamzah bin Abdul Muthalib pun wafat dengan cara mengenaskan. Bahkan Nabi Muhammad pun terluka. Hasil akhirnya adalah pasukan Madinah kalah.

Sejarah di atas tentu saja bukan hanya narasi biasa dan dongeng sebelum tidur. Tapi harus diambil pelajaran berharga. Khususnya di masa darurat seperti sekarang ini. Masyarakat hendaknya tetap mematuhi protokol yang ada dan tidak ceroboh maupun terlena dengan dua pemberitaan oleh pemerintah RI di atas.

Memang benar bahwa info itu sedikit membawa angin segar. Akan tetapi jika publik tidak disiplin tentu saja hal negatif kemungkinan akan terjadi.

Jika masyarakat melupakan aturan ketat dan tidak lagi disiplin maka bisa saja Korona akan menjadi seperti Khalid bin Walid yang melihat itu sebagai celah untuk counter attack. Tentu saja ini adalah hal yang tidak diingankan bersama. Kekalahan di Uhud terjadi tanggal 7 Syawal 3 H. Mirip dengan masa sekarang.

Beberapa pihak mempredikasi Pandemi di Indonesia mulai menurun di bulan Juni yang masih masuk Syawal. Sekali lagi, apabila rakyat di negara ini teledor maka bulan Syawal yang seharusnya momen kemenangan seiring Idul Fitri justru berubah menjadi sebaliknya.

Untuk mengalahkan Covid-19 contohlah Perang Badar. Pada perang besar pertama yang melibatkan umat Islam tersebut jumlah tentara di bawah komando Nabi Muhammad ada 313 orang. Sedangkan pasukan Quraisy ada sekitar 1.000 personil.

Serdadu Madinah bertempur dengan gigih dan kedisiplinan tinggi. Semangat semakin membara karena waktu itu adalah bulan Ramadan. Tepatnya tanggal 17 tahun ke-2 H. Hasil akhirnya kemenangan untuk kaum Muslimin.

Baca juga:  Bisakah “Mengantisipasi Covid-19” Dikategorikan Sebagai Keadaan Darurat?

Mari mencontoh keteladanan Badar. Ketaatan terhadap aturan dan semangat tetap menyala. Momennya pun sama dengan sekarang. Sama-sama bulan Ramadan. Jadi, bulan suci sebaiknya justru menjadi cambuk untuk tetap fight melawan Covid-19. Supaya hasilnya juga tidak berbeda pula, menang.

Meskipun dunia pesimis dengan kemampuan Indonesia menghadapi Pandemi ini. Sama dengan Perang Badar. Banyak pihak sangsi terhadap kemampuan 313 pasukan dengan peralatan tempur seadanya melawan 1.000 tentara terlatih dengan senjata lengkap.

Perang Khandaq juga layak diteladani. Pada waktu itu umat Islam mengira bahwa kemenangan akan didapatkan ketika parit berhasil dibuat sesuai saran Salman al-Farisi, mantan budak dari Persia. Ternyata tidak sepenuhnya tepat.

Pertempuran yang juga disebut dengan nama Perang Ahzab (sekutu) ini justru berhasil dimenangkan pasukan Madinah melalui jasa seseorang yang baru sehari masuk Islam yaitu Nu’aim bin Mas’ud, mantan penganut Yahudi dari Bani Quraidhah.

Ini sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya. Nu’aim yang tidak mempunyai bekal keislaman cukup dan belum lancar shalat sukses meyakinkan kaumnya untuk enggan diajak bergabung dalam pasukan sekutu yang disokong orang-orang Quraisy dan Bani Gathafan. Tindakan kecil yang berdampak besar terhadap kemenangan Islam.

Perlawanan rakyat Indonesia terhadap Covid-19 juga sebaiknya begitu. Tidak meremehkan usaha sederhana yang mungkin dipandang sebelah mata. Bisa saja ikhtiar kecil justru menjadi kunci kemenangan melawan Pandemi.

Jadi, jangan segan melakukan tindakan preventif sekecil apapun. Pakai masker jika keluar rumah, physical distancing, cuci tangan menggunakan sabun, maupun makan makanan yang bergizi.

Berkaca pada tiga perisiwa besar di masa lalu tersebut dapat disampaikan bahwa Pandemi Covid-19 akan hilang jika pemerintah dan masyarakat tidak terlena, disiplin, dan tidak menyepelekan tindakan pencegahan.

Baca juga:  Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (2)

 

 

 

Shubhi Mahmashony Harimurti

Dosen Agama Islam Prodi Farmasi FMIPA Universitas Islam Indonesia, dan Kepala Bidang Akademik dan Organisasi, Badan Perencanaan dan Pengembangan/Rumah Gagasan UII

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar