Santri Cendekia
gambar dicopas dari web nu online
Home ยป Perbedaan Fatwa dan Ijtihad di antara Mujtahid Generasi Sahabat

Perbedaan Fatwa dan Ijtihad di antara Mujtahid Generasi Sahabat

“Kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman generasi salafush shalih” adalah sebuah slogan yang sering kita dengar atau didengungkan beberapa kelompok umat muslim pada beberapa tahun belakangan ini.

Definisi generasi salaf itu sendiri menurut para Ulama adalah 3 generasi pertama semenjak dakwah islam dimulai.

  1. Generasi Sahabat
  2. Generasi tabi’in
  3. Generasi tabi’ut tabi’in

Sehingga sangat sulit kita bisa mengenal pemahaman generasi salaf terhadap Al Qur’an dan As sunnah jika kita tidak mengenal tentang sejarah 3 generasi tersebut.

Secara normatif, slogan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman generasi salaf tidaklah salah ataupun bermasalah.

Namun secara historis dan kenyataan di lapangan, banyak oknum menggunakan slogan ini untuk mengklaim kebenaran tunggal versi kelompok masing-masing, serta menimbulkan polemik dan gesekan mengenai hal hal yang ikhtilafiah (terjadi perbedaan pendapat antar ulama/ madzhab/ kelompok di dalam umat islam).

Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk mengajak pembaca untuk lebih bijak dan komprehensif dalam memahami slogan “kembali kepada Al Qur’an dan As sunnah sesuai pemahaman generasi salaf” melalui beberapa pendekatan historis, tentang beberapa fakta perbedaan fatwa/ pemahaman tentang beberapa persoalan yang terjadi di antara para sahabat sepeninggal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.

Mengapa sampel yang kita gunakan adalah perbedaan pendapat para sahabat? Karena mereka adalah generasi yang paling dekat dengan masa diutusnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.

Adapun rujukan yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah kitab “Abhas Haula Ilm Ushul Al-Fiqh; Tariquhu Tathawwuruhu” karangan Prof. DR. Sa’id Musthofa Al Khin yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dengan judul “Sejarah Ushul Fiqih” terbitan Pustaka Al Kautsar.

Adapun beberapa perbedaan pendapat yang penulis kutip;

  1. Umar bin Khattab dan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhum berpendapat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah ketika ia melahirkan kandungannya. Sedangkan Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhum berpendapat bahwa iddah wanita tersebut dengan mengambil waktu yang paling jauh (contoh: jika setelah ditinggal mati suaminya, istri melahirkan hanya sebulan kemudian, maka masa iddah yang diambil adalah 4 bulan 10 hari. Jika wanita tersebut melahirkan 5 bulan kemudian, maka masa iddah yang diambil adalah 5 bulan tersebut dan bukan 4 bulan 10 hari).
  2. Umar bin Khattab dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa makna quru’ dalam konteks pembahasan masa ‘iddah wanita adalah haid, sehingga masa iddah wanita habis di haid yang ketiga setelah di thalaq. Sedang Zaid bin Tsabit berpendapat bahwa makna Quru’ adalah masa suci. Sehingga masa iddah wanita habis di masa suci yang ketiga setelah di Thalaq.
  3. Abu Bakar dan Ibnu ‘Abbas berpendapat, bahwa kakek dapat menghalangi hak waris saudara, baik saudara seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja. Sedangkan sahabat lain seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Tsabit berpendapat bahwa kakek, saudara kandung laki-laki/ perempuan serta saudara laki laki seayah sama sama mendapatkan hak waris.
  4. Ibnu Abbas ra berfatwa terkait istri yang mati meninggalkan suami mendapat bagian setengah, ibu sepertiga, dan ayah mendapatkan sisa sebagai ashabah. Sedangkan Zaid bin Tsabit ra dan beberapa sahabat berpendapat bahwa ibu mendapat sepertiga sisa setelah furudh-nya suami.
  5. Umar bin Khattab ra berfatwa bahwa wanita yang menikah dengan laki laki lain yang bukan mantan suaminya di dalam masa iddah, maka ia diharamkan untuk suaminya kedua selama lamanya. Sebagai bentuk hukuman terhadap wanita tersebut.karena melanggar syariat larangan menikah dengan pria lain ketika masa iddah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib ra berpendapat, jika memang setelah masa iddahnya dari perceraian dengan mantan suaminya sudah lewat, maka wanita ini dibolehkan menikah dengan laki laki yg lainnya.
  6. Ibnu Mas’ud dan beberapa sahabat berfatwa jika seorang suami meng-ila’ istrinya dan setelah habis 4 bulan si suami tetap diam dan tidak mau rujuk, maka istri berstatus auto-talak ba’in (tidak bisa rujuk). Sedang sahabat yang lain berpendapat bahwa status auto-talak ba’in itu tidak terjadi, suami harus memutuskan hendak rujuk atau menceraikannya.
  7. Umar bin Khattab berfatwa bahwa wanita yang di thalaq ba’in berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal. Sedangkan sahabat lain berpendapat nafkah dan tempat tinggal hanya berlaku bagi wanita yang di thalaq raj’i.
  8. Ustman bin Affan ra berfatwa bahwa wanita yang mengajukan khulu’ (meminta cerai kepada pengadilan) tidak ada iddah baginya, ia terbebas dengan 1 kali haid. karena bagi beliau, khulu’ termasuk fasakh, bukan thalaq. Sedang sahabat lain menyamakan khulu’ dengan thalaq, maka masa iddah harus seperti halnya yang berlaku pada wanita yang dicerai, 3 kali haid/ 3 kali masa suci.
  9. Ibnu Abbas berpendapat bahwa berlari lari kecil ketika thawaf bukan termasuk bagian manasik. Karena dulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan ini hanya untuk menunjukan kekuatan terhadap orang orang kafir Quraisy. Maka setelah makah bebas dari kekafiran, telah hilang illat (sebab) mereka untuk berlari lari kecil ketika manasik. Sedang sahabat lain berpendapat berlari lari kecil dalam thawaf adalah sunnah karena berpegang pada dzahirnya perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tanpa memandang pada illat.
Baca juga:  Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 3)

Itu beberapa perbedaan fatwa dan pendapat para generasi sahabat mengenai beberapa persoalan fiqih. Bahkan jika kita ingin melihat perbedaan yang paling ekstrim, adalah perbedaan pendapat para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam persoalan penuntutan darah Ustman bin Affan ra yang dibunuh secara zalim oleh kaum pemberontak.

Saat itu sahabat terbagi 3 kelompok besar;

  1. Kelompok Ali bin Abi Thalib ra yang menghendaki pengusutan kasus pembunuhan Ustman dilakukan setelah situasi lebih kondusif.
  2. Kelompok A’isyah, Mu’awiyah, Thalhah, Zubair radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat bahwa penuntutan darah Ustman harus segera dilakukan. Bahkan Mu’awiyah tidak mau berbai’at kepada Ali sebelum.para pembunuh Ustman di qishash.
  3. Kelompok yang diwakili Saad bin Abi Waqqash dan Ibnu Umar yang memilih untuk menarik diri dari perselisihan kelompok pertama dan kedua.

Tentu wajib bagi kita berkata dan berprasangka baik bahwa perselisihan di atas terjadi karena niat baik semua pihak. Semua itu terjadi hanya akibat perbedaan ijtihad/ pendapat di antara mereka. Namun memang karena yang menjadi sebab perbedaan pendapat mereka adalah hal yang sangat tragis dan besar, yaitu pembunuhan Sahabat mulia Ustman bin Affan, maka efek yang ditimbulkan perbedaan pendapat itu pun juga cukup besar.

Dari paparan ini semoga kita bisa lebih paham dan tercerahkan, bahwa memahami Al Qur’an dan As sunnah melalui pemahaman generasi salaf itu bukan meniadakan perbedaan pendapat atau pelaksanaan hukum hukum yang memang termasuk ranah ikhtilafiah dan ijtihadiyah.

Bahkan generasi yang paling dekat dengan Rasulullah pun mengalami itu. Tugas kita adalah mengambil pelajaran dari mereka agar menjadi generasi yang lebih bijak.

Bahwa perbedaan pendapat di antara tubuh muslimin, diantara persaudaraan seiman kita, tidak bisa menjadi dalih bagi kita untuk bermudah mudah mengeluarkan mereka dari golongan ahlu sunnah wal jama’ah.

Baca juga:  Memahami Hal Ihwal Khilafiyyah

Dan memang, kunci agar kita lebih lapang dada dalam meneriman perbedaan pendapat itu, ngaji, ngaji, ngaji, yang jauh, yang dalam. Perbanyak piknik ilmiah, perbanyak aktivitas tazkiyatun nafs dan senantiasa memohon taufik kepada Allah agar hati kita lebih lapang.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita dan menjadi bekal dalam kehidupan ber-umat, ber-ukhuwwah, dan berjama’ah kita.

Allahu a’lam bishshawab

 

 

 

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar