Santri Cendekia
Home ยป Pergiliran Kejayaan dan Ujian Keimanan

Pergiliran Kejayaan dan Ujian Keimanan

Di dalam surat Ali Imran ayat 140, dikatakan bahwa Allah pergilirkan hari (kejayaan) di tengah tengah manusia agar Allah mengetahui (menguji) mana mana orang yang beriman dan Allah hendak memunculkan syuhada di antara kaum muslimin.

Surat ini turun berkenaan dengan pukulan telak terhadap kaum muslimin di perang uhud.

Meskipun muslimin tidak bisa dikatakan kalah di dalam perang tersebut, namun muslimin mengalami guncangan hebat di perang tersebut setelah sempat memimpin dan menguasai keadaan di ‘babak pertama’

Di ayat ini Allah hendak mengingatkan bahwa jika kalian (muslimin) mengalami rasa sakit dan kesedihan, sesungguhnya musuh kalian (kafir quraisy) juga merasakan hal yang sama di perang sebelumnya (perang badar).

Tapi jika mereka yang berjuang di jalan kekafiran mampu bangkit dan memberi perlawanan sengit dan pukulan yang penuh rasa sakit kepada muslimin, mengapa muslimin yang berada di jalan yang haq harus lemah, sedih berlarut, dan berputus asa? Allah ingatkan bahwa muslimin lah yang paling tinggi derajatnya jika mereka beriman (lihat surat sebelumnya, ali imran 139)

Selain itu, ada poin yang menurut penulis sangat penting yang harus menjadi pegangan bagi muslimin di setiap zaman.

Bahwa pergiliran hari hari (kejayaan) di antara manusia, pertempuran baq dan bathil, memang Allah pergilirkan sebagai bagian sunnatullah di dalam alam kehidupan manusia.

Yang haq, meski secara ma’nawi selalu menang, namun secara hakiki tidak selalu menang. Kadang setan setan manusia seperti fir’aun menang dan menghegemoni jaman, namun kadang Allah menangkan pejuang pejuang kebenaran tangguh seperti Musa as.

Hikmah pergiliran ini adalah agar Allah menguji keimanan orang orang beriman. apakah ketika yang haq sedang ‘tenggelam’ oleh kebathilan, orang orang beriman tetap teguh dan percaya diri bersama keimanan atau justru mereka menjadi manusia pesakitan yang terdiagnosis dengan penyakit inferiority complex dan memilih berbaur atau berdamai dengan kebathilan.

Baca juga:  Apakah Ilmu Maanil Hadis sama dengan Hermeneutika? (Bagian I)

Adalah Ali anak Umayyah bin Khalaf yang sudah beriman dan terpaksa masuk di barisan kafir Quraisy ketika perang Badar karena ia belum hijrah dan saat itu dipaksa ayahnya untuk ikut, lalu Allah tampakan sedikitnya pasukan muslimin di matanya dan kafir Quraisy (lihat Al anfal: 44). Lalu dengan dangkal, Ali bin Umayyah bin Khalaf pun berkata, “ghorrohaa ulaa’i diinuhum!” (mereka itu adalah orang orang yang ditipu oleh agamanya!).

Apanya yang kebenaran? Mau berperang melawan sebuah kekuatan besar di jazirah, Suku Quraisy, hanya datang dengan jumlah yang sangat sedikit bagai pasukan yang menuju dan menggali kuburan mereka sendiri. Mungkin ini yang muncul di rasio dangkal Ali bin Umayyah.

Tanda tanda kekalahan muslimin di mata Ali akhirnya membuat Ali bin Umayyah mantap untuk berdiri bersama barisan orang orang kafir dan dia termasuk orang orang yang mati dalam keadaan su’ul khatimah, waliyyadzu billah.

Begitupun Menurut Pak Arif Wibowo, S.P., M.P.I., penginjilan dan kejawenisasi menemui momentumnya pasca ditaklukannya Pangeran Dipenogoro dalam perang jawa. Hal itu melahirkan inferiority complex orang jawa, untuk lalu memiliki mindset bahwa peralihan masyarakat Jawa ke Islam adalah kesalahan peradaban, maka jika mau maju masyarakat Jawa harus melakukan penggabungan pengetahuan modern ala Barat dengan restorasi kebudayaan Hindu-Jawa. (jejakislam.net/pakar-kebudayaan-jawa-ungkap-sejarah-penginjilan-dan-deislamisasi-kebudayaan-Jawa).

Begitupun kekalahan Arab melawan Israel di perang tahun 1967, memunculkan banyak pemikir pemikir muslin yang kontroversial. Lagi lagi, guncangan dan bergilirnya hari hari dimana islam sedang “kalah”, di situ akan muncul ujian keimanan seseorang, apakah ia tetap jernih dan memilih membangkitkan islam sesuai dengan manhaj yang benar, atau malah sebaliknya, keimanan yang pudar dan diikuti tindakan tindakan yang kontra produktif dan justru jauhdari manhaj yang benar.

Baca juga:  Bolehkah Melamar Perempuan yang Sudah Dilamar Orang Lain?

Keimanan dan komitmen seseorang bersama islam diuji di saat saat yang tidak menguntungkan bagi islam. Karena ketika orang orang bersama islam ketika islam sedang berjaya, bukanlah sesuatu yang spesial.

Di dalam kitab fikih siroh karangan Syekh Ash shallabi, dikatakan bahwa kemunafikan muncul di madinah pertama kali justru setelah muslimin mendapatkan kemenangan di dalam perang badar. Abdullah bin Ubay dan rombongannya yang sejak awal memusuhi islam berpikir bahwa saat itu lebih baik mereka merapat kepada islam yang sedang naik daun.

Bahkan ketika masa jaya islam di andalusia, ketika islam menjadi kiblat pengetahuan bagi dunia, kita mengenal ada istilah mozarab, orang orang kafir yang berpenampilan layaknya orang orang islam karena dulu islam identik dengan kemajuan.

Dalam sebuah Pengajian yang diampu oleh Ustad Sholihun, beliau menyampaikan bahwa jenis kemenangan itu ada dua. Kemenangan ma’nawi dan kemenangan hakiki.

Kemenangan hakiki adalah dimana muslimin berhasil mendapatkan kemenangan kemenangan yang konkret, terukur, dan terjadi di dunia ini. Misalnya kemenangan perang, kemenangan politik, dsb.

Namun kemenangan ma’nawi berbeda, ketika muslimin mendapatkan fitnah, bala, ujian, di dunia ini, namun masih istiqomah di dalam kebenaran dan mengakhiri hidup sebagai seorang muslim dengan salimul aqidah (aqidah yang selamat), maka ia termasuk orang orang yang menang secara ma’nawi.

Hamzah dan Mush’ab radhiyallahu ‘anhuma memang wafat dengan kondisi yang mengenaskan di perang uhud, mereka kalah secara hakiki. Namun secara ma’nawi, mereka menang karena menjadi golongan syuhada yang mulia dan mendapatkan reward tertinggi setelah kenabian dan shiddiqin di alam abadi sana.

Semua kembali kepada kita, memilih teguh dalam iman di saat jatuh bangun bersama islam. Atau menjadi orang orang pragmatis-oportunis yang penyakitan dan mudah luntur iman ketika kondisi islam sedang tidak menguntungkan.

Baca juga:  Aliran-Aliran Fiqih Awal; Ahlul Hadis dan Ahlul Ra'yi

Allahu a’lam

ReplyForward

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar