Santri Cendekia
Home » Perkembangan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Respon Cendekiawan Islam (1)

Perkembangan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Respon Cendekiawan Islam (1)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
PENDAHULUAN
Dengan nama Allah, Tuhan pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan Segala Agama. Seperti itulah basmalah versi Jaringan Islam Liberal (JIL) yang akan menyambut anda ketika membuka situs islamlib.com, markas maya mereka. Dari kaliamt sambutan itu saja kita sudah bisa mengetahui warna pemikiran pengelola situs tersebut. Sangat terasa bau pluralism agama ajaran Firtchof Schuon, dan memang itulah salah satu wacana utama mereka.
Bermula dari mailng list di situs yahoo.com, Jaringan Islam Liberal adalah  wadah bagi beberapa cendekiawan muda Islam yang mengklaim diri berpikiran progresif, mereka mengaprersiasi pemikiran tokoh-tokoh semacam Cak Nur dan Gus Dur bahkan dalam beberapa hal mereka melangkah lebih jauh. Hal ini  diungkapakan oleh KH. Salahuddin Wahid, menurut beliau JIL lebih liberal dari Cak Nur.[1] Mereka pertama kali terbentuk pada 8 Maret 2001, sejak saat itu hingga kini mereka tetap aktif mengkampanyekan pemikiran-pemikiran mereka ke tengah-tengah ummat Islam Indonesia.
Pada awal pembentukannya, memang nama JIL kurang menggaung karena mereka membatasi diskusi-diskusi di mailing list dan radio semata. Namun lambat laun nama JIL beserta tokoh-tokohnya yakni Ulil Abshar Abdalla sang coordinator, Luthfi Asy-Syaukanie, Nong Darol Mahamada,  Hamid Basyaib dan kawan-kawannya menjadi tenar dan santer dibicarakan ummat Islam Indonesia. Beragam respon kemudian bermunculan, ada yang pro namun mayoritas ummat Islam bersikap kontra terhadap mereka.
Dalam makalah ringkas nan sederhana ini, kami akan mencoba mendiskusikan beberapa tema seputar Jaringan Islam Liberal atau yang akrab disebut JIL. Pembahasan dimulai dari pemikiran liberal di dunia Islam khususnya kawasan Timur Tengah , kemudian mengerucut ke Indonesia. Setelah itu, dengan sumber situs resmi mereka yakni islamlib.com kami akan mengetengahkan gagasan-gagasan yang mereka perjuangkan. Kemudia terakhir akan dibahas respon ummat Islam Indonesia terhadap isu-isu pemikiran yang dilontarkan JIL.
PENGERTIAN ISLAM LIBERAL
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata liberal berarti 1) bersifat bebas, 2) berpandangan bebas luas dan terbuka[2]. Jika dilihat dalam Kamus Dewan kata liberal memilki makna “1. (bersifat) condong kepada kebebasan dan pemerintahan yang demokratik (misalnya menentang hak-hak keistimewaan kaum bangsawan), (fahaman) bebas. 2. bersifat atau berpandangan bebas, berpandangan terbuka (tidak terkungkung kepada sesuatu aliran atau sautu pemikiran[3].
Merujuk pada pengertian dari kedua kamus di atas, Hafidz Firdaus Abdullah berpendapat bahwa agama Islam memang telah liberal sejak awal, dalam pengertian membebaskan manusia dari belenggu penyembahan sesama makhluk, bahkan juga membebaskan manusia dari penindasan, kezaliman dan penghinaan sesama manusia. Islam juga memiliki dasar yang terbuka terhadap peradaban manusia selama ia tidak melibatkan syirik yang menyekutukan Allah, perbuatan yang menyalahi syari‘at-Nya dan kepercayaan kurafat yang merendahkan kedudukan manusia hingga ke taraf kebinatangan.[4]
Namun sepertinya bukan liberal dalam pngertian di atas yang diinginkan oleh para aktivis Jaringan Islam Liberal, agaknya mereka menghendaki pengertian seperti ungkapan Owen Chadwik bahwa kata “Liberal” secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka, artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint)[5]. Hal itu tercermin dari salah satu semboyan mereka bahwa pintu ijtihad selalu terbuka dalam segala bidang agama, dengan pandangan seperti itu wajarlah jika kemudia mereka melakukan “ijtihad-ijtihad” dalam lapangan akidah yang nash-nashnya sudah qat’i.  
Padahal menurut Adian Husaini  dalam Islam memang tidak ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total. ‘Islam’ itu sendiri memiliki makna “pasrah”, tunduk kepada Allah dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadatan kepada manusia atau makhluk lainnya. Jadi, bisa disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”[6] .  
Jika merujuk pada pemaknaan Islam Liberal menurut Jaringan Islam Liberal sendiri, maka Islam Liberal dimaknai sebagai salah satu bentuk penafsiran atas Islam yang menekankan pada kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosio-politik yang menindas. Menurut mereka Islam ditafsirkan berdasarkan kebutuhan penafsirnya, maka mereka menafsirkan Islam dengan cara tersebut sesuai dengan cita-cita dan idealism mereka[7].
PEMIKIRAN LIBERAL DI INDONESIA
Pada decade 1938/40-an ummat islam Indonesia menyaksikan perang pena yang sengit antara Ir. Soekarno dengan dua tokoh yang terkenal sebagai pembela islam yakni M. Natsir dan A. Hasan[9]. Ketika itu Ir. Soekarno menulis beberapa artikel di majalah Panji Islam. Artikel-artikel beliau yang antara lain berjudul “Memudakan Pengertian Islam”, “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama Dari Negara” dan lain-lain itu  mengusung ide-ide sekularisme, salah satu wacana utama kaum islam liberal. Tulisan-tulisan itu kemudian ditangkis oleh A. Hassan dan M. Natsir yang kemudian dimuat di majalah yang sama.[10] Setidaknya hal itu bisa dianggap sebagai polemic liberalism Islam yang awal di Indonesia.
Wacana itu kembali menguat pada tahun 1970-an melalui gagasan-gagasan yang disampaikan beberapa tokoh yaitu Noerchalis Madjid dan Prof. DR. Harun Nasution, serta beberapa tokoh-tokoh lain yang mendukung gagasan tersebut, sebut saja nama-nama seprti K.H. Abdurrahman Wachid (Tokoh NU), Ahmad Wahib (Orang HMI yang diasuh oleh beberapa pendeta nashrani kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Katolik Driyarkara di Jakarta. Dia sangat liberal dan berfaham semua agama sama hingga Karl Marx pun surganya sama dengan surga Rasulullah SAW.), Djohan Efendi (Orang HMI yang resmi menjadi anggota Ahmadiyah di Yogyakarta)[11].
Dalam buku Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya karya Harun Nasution yang dijadikan pegangan wajib bagi mahasiswa IAIN seluruh Indonesia, alumni Mc Gill Universitiy Kanada ini mulai – meminjam istilah Adian Husaini – “menyerempet-nyerempet” ke persamaan agama[12].  Pada Bab I buku tersebut ia menytakan bahwa ketiga agama samawi yakni Yahudi, Kristen dan Islam berasal dari satu asal, namun beliau tidak menyebutkan penyelewengan-penelewengan yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.[13] Beliau memang sempat menyinggung bahwa tauhid Kristen telah tercemari trinitas, namun yang menjebak, beliau justru menyatakan bahwa agama Yahudi masih konsisten pada tauhid sebagaimana Islam[14].
Sedangakn Nurchalis Madjid menyebarkan ide-ide kontroversialnya melalui lembaga Paramadina yang ia pimpin, baik melalui kajian-kajian maupun melalui buku-buku terbitan Paramadina[15].  Tonggak dimulainya pemikiran liberal Nurchalis Madjid yang sebelumnya sangat anti Barat dan dijuluki Natsir Muda adalah ketika ia kembali dari program penelitiannya di AS lalu berpidato di acara halal bi halal 3 Januari 1970 yang dihadiri aktivis-aktivis muda penerus Masyumi dari lingkungan PII, GPI, HMI, dan Persami[16]. Pidatonya  itu berasal dari makalah berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat”.Pendiriannya kemudian semakin diperkokoh melalui pidatonya di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 21 Oktober 1992 berjudul “Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”. [17]
Setelah periode ini, tidak muncul lagi pemikir-pemikir Islam Liberal baru, sehingga perseteruan seolah mereda sejenak. Namun sejak 2001 muncullah generasi berikutnya yang dimotori oleh Ulil Abshar-Abdalla dan beberapa pemikir muda yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal.
Baca juga:  "Islam Indonesia" Lebih Ramah dari "Islam Arab"?

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar