Santri Cendekia
Home » Perlukah Kami Serentak Memblokir Instagram?!

Perlukah Kami Serentak Memblokir Instagram?!

2019 lalu, instagram kembali gemparkan bumi asia dengan melanggengkan hashtag LGBT yang merebak ke seluruh penggunanya setelah sebelumnya pada tahun 2016 ia memutuskan menggunakan logo gradasi ungu orange pink dan lainnya. Nyatanya itu merupakan awal instagram untuk menunjukkan identitas yang sesungguhnya.

Hari ini, tercatat tanggal 14 Juni 2020 dengan sistem default tanpa pengguna harus update aplikasi, instagram secara masif menambahkan efek LGBT PRIDE pada segmen snapgram! Di antaranya adalah LGBT + Pride, Gay Pride, Transgender Pride, Lesbian Pride, Bisexual Pride, Asexual Pride, Pansexual Pride, Non-Binary Pride, Intersex Pride, Agender Pride, Genderfluid Pride dan Genderqueer Pride.

Jauh dari kata ilmu cocoklogi tapi lebih kepada ayo kita melek-logi, terlalu aksiomatis jika kenyataan ini harus dihindari. Secara beruntun instagram munculkan fitur-fitur LGBT dan secara simultan mentake down semua konten-konten Islami yang dinilainya sebagai ekstremisme, kalau dikatakan aksiomatis masih dirasa emosional boleh saja dibuktikan, silakan teman-teman sekalian merekam jejak instagram satu demi satu menjadi sebuah susunan teorema baru, tentu ujungnya kesini –sini saja.

Ah warna-warni belum tentu LGBT… Meski ada imbuhan tulisan di dalam warna efeknya? Ah itu hanya tulisan. Jangan terlalu ekstrem, apa-apa disangkut pautkan ke arah sana. Begitulah kiranya pembicaraan ra well yang akan terjadi. Meminjam teori konstruksi sosial Peter L. Berger kiranya dapat menyadarkan para otak bebal netizen dari kasus ini, Peter menyampaikan  secara mufakat setiap simbol yang terbentuk di kehidupan manusia adalah dipastikan memiliki 3 unsur yang dapat dipertanggungjawabkan.

Apabila ditarik ke fenomena teks, antar-tokoh, pendahulu dan segala tindakan masyarakat akan selaras, sedangkan apabila seseorang mencoba berinteraksi dengan simbol tersebut dalam lingkungan sosial akan diterima, dan apabila dilakukan upaya internalisasi akan secara otomatis terjadi proses identifikasi baik yang meyakininya atau yang tidak meyakininya. Sehingga konspirasi instagram ini bukan main-main bung, tidak hanya sekedar motif visual yang melatar belakanginya tapi go deeper…bahwa ada manifestasi ideologi di setiap simbol-simbol yang ditelurkan.

Baca juga:  Benarkah Syaikhul Islam Sirajuddin Al-Bulqini Membolehkan Tahniah Atas Hari Raya Keagamaaan Non-Muslim?

Apalagi jika simbol warna yang bersekutukan tulisan, maka jadi sebuah duet sempurna dari simbol untuk mengotorisasi sebuah ideologi.

Setahun silam, data statistik pengguna terbanyak instagram di dunia berhasil dirilis tirto.id dengan 4 urutan tertinggi yakni India, Amerika Serikat, Brasil dan Indonesia. Dari 4 negara teratas tersebut India dan Indonesia masih tercatat sebagai negara yang belum melegalkan LGBT, artinya bahwa pernyataan klarifikasi Instagram di waktu lalu tentang rilisnya hashtag LGBT merupakan bentuk dari identitas platform global adalah  kamuflase.

Jika instagram benar menjunjung tinggi pada aksentuasi cermin keanekaragaman budaya, usia dan keyakinan maka pertimbangan budaya negara pengguna terbanyak seharusnya mempengaruhi segala pengembangan fitur platform. Di mana sejatinya letak toleransi global yang dimaksudkan instagram?

Ini kasus serius karena dampaknya begitu eskalatif. Generasi muda alay sampai yang kurang alay seperti Cimoy dan Kekeyi adalah sedikit sosok presentatif pengguna instagram saat ini, generasi pencari jati diri dengan mencoba segala sensasi menjadi umpan ranum dari efek snapgram LGBT tersebut.

Secara langsung, instagram memaksakan informasi visual pada para penggunanya tanpa tebang pilih, meskipun setiap efek snapgram yang disediakan instagram akan disertakan opsi “Laporkan Konten” dan secara responsif Instagram akan menghapus fitur tersebut dari akun personal yang menghendaki, itu baru klaim Instagram secara pribadi. Tapi bisakah anda berspekulasi berapa persen orang kiranya yang akan sadar akan “penyekokan ideologi LGBT” tersebut dari sekian banyak generasi muda bahkan tua?

Saya pribadi sudah mencoba melaporkan konten tersebut, dan hasilnya? Hingga sekarang efek tersebut masih ada dalam fitur instagram saya, dan jika saya mengklik opsi “telusuri efek” maka efek “Pride 2020” alias efek LGBT menjadi thumbnail utama hari ini dan entah sampai kapan.

Baca juga:  Hagia Sophia dan Toleransi Standar Ganda

Tricky sekali saya pikir, bagaimana tidak, efek baru dalam snapgram diatur secara default dan diletakkan tepat di samping kanan tombol utama kamera snapgram. Saking mudahnya untuk mengakses, saya sendiri sempat tergelincir dan menekan efek tersebut dan jepret! Saya selfie secara TIDAK SENGAJA, haha…

Terakhir, ini bukan lagi tentang pergulatan ideologi muslim atau non muslim tapi jika anda yakin sebagai pancasilais yang menghormati UUD dan segala peraturan pemerintah Indonesia maka dengan rendah diri dan bijaksana, tajuk hashtag blokir konspirasi LGBT Instagram (#BlockonspirasiLGBTInstagram) harusnya diramaikan sekarang juga. Indonesia jelas tidak ramah bahkan melindungi LGBT secara konstitusional, maka hormati dan taati Pancasila, sahabat..)

Aabidah Ummu Aziizah

Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah dan FAI UMY

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar