Santri Cendekia
Home ยป Lagu Aisyah dan Keteladanan Keluarga Rasulullah Saw

Lagu Aisyah dan Keteladanan Keluarga Rasulullah Saw

Penulis: Khairi Fuady

Belakangan terjadi polemik antara sebagian Ulama yang bersikap kritis terhadap lagu “Aisyah Isteri Rasulullah”, dengan sebagian Ulama lain yang memberikan dukungan.

Mereka yang mengkritik berpendapat bahwa rasa-rasanya tak elok jika kita menyanyikan lagu yang memotret sosok isteri Nabi dengan menggambarkan karakteristik fisik beliau, sedangkan Sayyidah Aisyah adalah Ummul Mu’miniin seperti isteri-isteri Nabi yang lain. Kemudian lagi, aktivitas kemesraan Nabi dan Sayyidah Aisyah dalam hal yang sangat domestik, menurut sebagian Ulama, agak kurang pantas untuk dinyanyikan dalam lagu.

Sementara Ulama lain yang memberikan dukungan memandang bahwa lagu tersebut bercerita secara jujur sebagaimana termaktub di dalam Tarikh dan juga Hadits. Dan benar saja, sepanjang saya belajar Hadits, cerita bahwa Nabi berlarian di rumah bersama Sayyidah Aisyah, kemudian Nabi minum di bekas gelasnya Aisyah, hingga Nabi mandi dalam satu bejana dengan beliau pun diceritakan.

Cerita-cerita tersebut ada karena memang Sayyidah Aisyah meriwayatkan Hadits. Karena usia beliau paling muda dan tergolong paling cerdas, maka beliau punya kesempatan untuk mengajarkan hadits tentang kearifan dan keteladanan Nabi dalam kehidupan rumah tangga.

Ach Dhofir Zuhry, seorang Ulama Muda yang sekarang memimpin Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi, ia berpendapat bahwa memang di dalam hadits lebih banyak diceritakan tentang romantisme Nabi dengan Sayyidah Aisyah, sebab Aisyah meriwayatkan Hadits. Tetapi bukan berarti Nabi tidak melakukan hal yang serupa kepada isteri-isteri beliau yang lain.

Dalam sebuah perjalanan menaiki unta, Nabi pernah mengusap air mata isteri beliau Shofiyah binti Huyay lantaran untanya berjalan terlalu lambat hingga Shofiyah menangis. Bersama Sayyidah Khadijah juga dalam hadits diceritakan bahwa Nabi tidur pulas di pangkuan beliau.

Baca juga:  Apa yang Salah dengan Lagu Aisyah?

Pada momen tersebut, Bunda Khadijah menangis haru hingga menetes air matanya di wajah Nabi sehingga Nabi terbangun dan bertanya ada apa gerangan sampai sang Isteri menangis. Lalu Nabi bertanya apakah Khadijah menyesal menikahinya, hingga Khadijah yang dulu adalah saudagar kaya, sekarang habis hartanya untuk perjuangan. Khadijah justru menjawab bahwa ia menangis karena merasa belum berbuat banyak untuk perjuangan Nabi. Bahkan beliau berkata;

“Wahai Nabi, jika nanti tiba ajalku dan perjuangan-Mu belum tuntas, dan Kau ingin menyeberangi lautan atau sungai, lalu kau tidak temukan perahu atau pun rakit, maka gali lah kuburku dan susun lah tulang belulangku untuk kau jadikan perahu”. Sampai sebesar itu cinta Khadijah kepada Nabi dan begitu pula sebaliknya.

Kembali pada soal polemik lagu Aisyah Isteri Rasulullah. Memang lazimnya sebuah lagu, tidak akan mungkin bisa memotret secara detail seluruh sisi sosok Aisyah dan juga Rasulullah.

Narasi mainstream yang kita kenal selama ini adalah bahwa Aisyah seorang perempuan cerdas, pemberani, kokoh, dan bahkan panglima perang. Hampir seluruh mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, memuat sejarah Perang Jamal yang di dalamnya menceritakan peran Sayyidah Aisyah sebagai pemimpin pasukan melawan pasukan dari Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah.

Sedangkan lagu Aisyah Isteri Rasulullah, lebih dominan mengambil angel sisi manis dan indahnya potret fisik seorang Bunda Aisyah, berikut aktivitas teladan rumah tangga Nabi bersama beliau.

Positifnya, lagu ini diminati oleh pasar terutama anak-anak milenial yang selama ini cenderung jarang menemukan sisi romantisme Nabi jika hanya merujuk pada khutbah-khutbah yang diceramahkan oleh para muballigh. Artinya, melalui lagu ini, Agama hadir dengan wajah yang lebih “ceria” dan nge-pop.

Baca juga:  Tata Cara Adzan Saat Darurat Covid-19

Adapun yang memberikan kritik, selama itu bukan berbentuk hujatan dan celaan, adalah masukan konstruktif tentang pentingnya kita untuk tetap menjaga marwah dan kewibawaan keluarga Nabi, bahkan dalam sebuah karya seni sekali pun. Dan dalam Islam, dialektika semacam ini memang kerap terjadi, sebagai bukti bahwa Agama ini amat terbuka di ruang dialog.

Hal ini pula lah yang sejatinya tergambar dari aktivitas rumah tangga Nabi yang dinamis. Salah satu contohnya, ada orang tua datang ke rumah Nabi. Sontak, Nabi melepas sorban beliau lalu menghamparkan sorban tersebut untuk orang tua tadi. Setelah orang tua tersebut pulang, Sayyidah Aisyah bertanya kenapa Nabi kenapa engkau begitu memuliakan orang tersebut?

Nabi lantas menjawab bahwa orang tua tersebut dulu sangat dihormati oleh Khadijah. Oleh karena itu aku pun harus memberikan penghormatan kepada beliau, terang Nabi. Aisyah pun langsung terbakar api cemburu, seraya berkata: “Bukan kah sekarang sudah ada gantinya? Yang lebih muda, lebih cantik, dan gadis lagi!”, seloroh Aisyah merujuk dirinya sendiri sambil berlalu pergi dan merajuk.

Sayyidah Fatimah yang turut menyaksikan percakapan tersebut nampak marah, karena tersinggung atas ucapan Aisyah yang seakan menyinggung Ibundanya Khadijah. Lalu Nabi pun berkata:

“Fatimah, sampaikan kepada โ€˜Aisyah; Secantik-cantiknya โ€˜Aisyah, tetap mendapatkan duda. Dan sejanda-jandanya khadijah tetap mendapatkan perjaka.”

๐Ÿ˜€

Allaahumma shalli ‘slaa Sayyidinaa Muhammad, Wa ‘alaa aalihi, wa azwaajihi, wa dzurriyyaatihi, wa ashaabihii ajma’iiin

*Direktur Eksekutif Pusat Dakwah Al-Mahabbah

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar