Santri Cendekia
Home » Perubahan Fikih dan Usul Fikih dalam Kajian Sosial Humaniora (3)

Perubahan Fikih dan Usul Fikih dalam Kajian Sosial Humaniora (3)

Pada bagian sebelumnya saya telah menggambarkan intervensi Bakhit al-Mutii dalam kajian fikih dan usul fikih. Pada bagian ini, saya akan mengelaborasi tentang kerangka teori yang digunakan oleh Quadri dan bagaimana ia secara kreatif telah mengembangkan teori yang ada tentang tradisi. Saya juga akan memberikan satu catatan kritis dan menunjukkan implikasi tak terelakkan dari konsep tradisi yang dikembangkan oleh Quadri.

Tradisi sebagai Kerangka Teori

Dalam kacamata antropologi, tradisi adalah warisan kebudayaan yang ada sebelum datangnya zaman modern. Dalam sudut pandang antropologi Islam secara spesifik, tradisi biasanya dimaknai sebagai apapun yang berasal dari bangunan pemikiran dan praktek umat dari masa lalu dan menjadi penciri identitas Islam. Ahli antropologi Islam yang banyak mengelaborasi konsep tradisi adalah Talal Asad. Saya sudah pernah menggambarkan pandangannya tentang tradisi diskursif dalam buku saya Dekolonisasi. Pembaca dipersilahkan merujuk kepada buku ini jika ingin mengetahuinya lebih jauh.

Apa yang ingin saya tambahkan di sini adalah dalam kacamata Asad, tradisi masa lalu bisa berkembang secara dinamis. Ketika berada di persimpangan sejarah dan ketika bertemu dengan konteks baru, tradisi dari masa lalu bisa mengalami split. Dari pendapat A di masa lalu, bisa berkembang menjadi pendapat B dan C di masa sekarang, dan menjadi D dan E di masa yang akan datang. Ini jika dianalogikan seperti mutasi genetik. Kita di dalam diri kita membawa gen mbah buyut kita. Walaupun kita adalah diri kita sendiri, bukan mereka, tetapi mereka ada dalam diri kita.

Dengan konsep seperti ini, maka tradisi sebenarnya menjadi satu kategori analitis yang sangat expansive (luas). Konsekuensinya adalah pendapat apapun di zaman modern, asal memiliki pijakan dari masa lalu, tidak harus sama persis dengan masa lalu, tetap bisa disebut sebagai tradisi. Nah, di sinilah letak ketidaknyamanan Quadri. Menurutnya, definisi ini terlalu longgar. Definisi ini tidak mani’ dalam bahasa usul fikih alias tidak menciptakan boundary yang bisa memisahkan siapa yang masuk dan siapa yang tidak masuk. Dengan definisi yang terlalu luas ini, semuanya bisa dimasukkan ke dalam kategori tradisi.

Baca juga:  Zhalimnya Berhukum Selain dengan Hukum Allah (Al-Maaidah 45)

Menurut Quadri definisi tradisi perlu memasukkan batasan. Menurutnya batasan tersebut yang paling tepat adalah mazhab fikih. Oleh karena itu, dalam konsepsi Quadrian, suatu pikiran dan gagasan bisa bisa disebut berkesuaian dan bersambung dengan tradisi, jika ia sama dengan pandangan dalam mazhab fikih. Jika berbeda dengan pakem mazhab fikih, maka inilah yang disebut dengan peristiwa epistemic rupture (keterputusan epistemik).

Dengan menerapkan konsep definisi yang lebih sempit seperti ini, bagi Quadri, pandangan fikih Bakhit sebenarnya telah keluar dari tradisi. Sikap Bakhit tentang otoritas hukum yang menggugat hirarki tujuh tingkatan mujtahid dan pandangan optimisnya terhadap sains (ilmu astronomi) menurutnya murni adalah produk modern. Pandangan ini dengan kata lain telah beranjak dari tradisi.

Jika Bakhit yang masih berkomitmen terhadap mazhab yang ia ikuti saja sudah dianggap beranjak dari tradisi oleh Quadri, maka tokoh yang keluar dari kecendrungan mengikat diri secara ketat dengan satu mazhab seperti Rasyid Rida, secara tidak diragukan lagi adalah tokoh yang sudah meninggalkan tradisi menurutnya. Dengan kata lain, pendapat yang Rida advokasi tidak lain adalah refleksi modernitas yang tidak memiliki ketersambungan dari masa lalu atau dari tradisi Islam.

Pandangan Quadri ini relatif tidak populer sebenarnya di kalangan pengkaji Islam belakangan ini. Ia menentang arus besar berupa paradigma Asadian yang telah lama menghegemoni riset-riset tentang tradisi Islam. Tokoh yang sejalan pandangan Quadri yang menyempitkan makna tradisi tidak lain dan tidak bukan adalah Wael B Hallaq.

Bagi Hallaq dan Quadri, tradisi adalah sesuatu yang baku, warisan yang dipraktekkan sebagaimana bentuknya di masa lalu sebelum mengalami perubahan. Bedanya, bagi Hallaq, modernitas atau sesuatu yang baru pasti negatif. Sedangkan bagi Quadri, modernitas adalah sesuatu yang netral. Jadi pandangan Quadri murni bersifat teoretis, tidak judgmental (atau menghakimi) terhadap modernitas.

Baca juga:  Hukum dan Ketentuan Mahar di Dalam Fikih dan Hukum Positif Indonesia

Pandangan yang restriktif ini dalam dunia riset sebenarnya telah banyak mendapatkan kritik. Sarjana seperti Samira Haj dan Ron Shaham dapat dijadikan antitesis bagi kecendrungan ini. Pembaca bisa merujuk kepada karya mereka.

Saya ingin menambahkan satu hal sebagai kritik untuk konsep tradisi yang sempit dalam karya Quadri ini. Menurut saya, Quadri terlihat tidak koheren dalam membangun argumen mengenai hukum Islam di zaman modern.

Di satu sisi, ia membuat klaim, sebagaimana saya telah sebutkan di bagian awal tulisan, bahwa ulama tidak lah stagnan. Mereka orang-orang yang bersedia menerima perubahan, bahkan menjadi pengawal perubahan itu sendiri. Tapi di sisi lain ia menganggap bahwa pemikiran keagamaan yang mereka rubah tidak lagi sejalan dengan tradisi masa lalu. Pemikiran tersebut telah tercerabut dari tradisi. Jadi artinya, ketika para ulama berubah, mereka tidak lagi menjadi dirinya sendiri, tetapi menjadi orang lain.

Menganggap suara perubahan yang utilitarianis seperti Abduh dan Rida sebagai suara non-tradisi pada akhirnya memunculkan satu penilaian bahwa mereka adalah agen-agen Barat, tidak membawa sensibilitas atau aspirasi yang berasal dari dalam. Dengan kata lain, pandangan ini berdampak pada eksklusi (pengeluaran) dari normatifitas atau ortodoksi Islam. Ini menjadi suatu konsekuensi yang tidak terhindarkan.

Jadi pandangan dua sarjana ini bagaimana pun tetap memiliki dampak lanjutan yang bahkan bisa dirasakan di kalangan orang awam. Dampak dari paradigma dua orang ini adalah tokoh-tokoh pembaru yang menyerukan fluiditas atau fleksibilitas dalam bermazhab tidak lagi dapat disebut berpijak pada tradisi. Dengan paradigma Hallaqian dan Quadrian, maka pandangan Abduh, Rida, dan Muhammadiyah adalah pandangan yang sudah keluar dari tradisi.

Pandangan ini di kalangan para pengkaji Islam di dunia akademia walaupun tampak minoritas tetapi memiliki pengikutnya sendiri. Selain Hallaq, tokoh seperti Joseph Massad adalah sarjana dekolonial yang secara konsisten melihat Abduh dan Rida sebagai agen asing. Sarjana yang menggeluti bidang critical nahdah studies juga mengikuti argumen serupa.

Baca juga:  Bolehkah Wanita Mencukur Bulu Alis?

Tulisan ini telah menggambarkan argumen-argumen pokok dari Junaid Quadri dan bagaimana ia memproblematisasi isu fikih dan usul fikih dari kacamata hubungan tradisi dan modernitas. Tulisan ini juga telah menunjukkan implikasi teoretis dari sudut pandang Quadri dalam riset ini. Saya sangat menyarankan Anda membaca sendiri buku karya Quadri ini. Apa yang saya tampilkan di sini hanyalah representasi, tidak menggambarkan gagasannya secara utuh.

Bagian yang belum saya ceritakan dalam buku Quadri ini misalnya tentang konsep agama dan sekuler yang juga merupakan isu pokok antropologi agama. Quadri mendiskusikan konsep ini saat ia menggambarkan pandangan syakh Bakhit al-Mutii tentang prosedur pelaporan rukyatul hilal. Pandangan Bakhit mengenai ini menurutnya merefleksikan pandangan yang bergeser tentang apa itu domain agama dan bukan agama.

Avatar photo

Muhamad Rofiq Muzakkir

Direktur Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar