Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dan Ust Anton Ismunanto |
Saya dapat tesis bahwa ide pluralism agama akan menghasilkan dunia yang terbagi dua. Mereka yang pro dan kontra. Maka saya pun curiga apakah ide-ide semacam ini dimunculkan untuk menyuburkan dan menghidupkan konflik identitas. Kita pun lupa pada isu-isu real, seperti isu kedaulatan pangan, konflik agraria, pertambangna dan lainnya.. ada alternative menghidupkan kembali sosialisme Islam. Sebuah islam kiri sebagai lawan Islam liberal dan kapitalisme yang menjadi induknya.
Focus ke pemikiran bukannya mengabaikan isu real. Tapi kita peduli pada kemuculan kerancuan pemikiran yang membingungkan. Adapun munculnya efek konflik itu, lalu kelengahan dari masalah kerakyatan seperti agraria dan lainnya, bisa saja efek samping yang mungkin tak disengaja, tapi mereka suka juga. Kita juga perlu curiga pada kemucnulan kelompok fundamentalis yang menghidupkan kembali konflik-konflik yang sudah selesai, misalnya furu’iyah Muhammadiyah – NU dan lainnya.
Kita tidak teralihkan dari masalah real seperti itu. Tapi kita sedang mengatasi maslaah pemikiran, dan tidak semua orang mau dan mampu konsentrasi pada masalah seperti ini.
Soal alternative itu, saya melihatnya tidak demikian. Sebab jika kita menyatakan Islam itu kiri, artinya kita harus memberikan hak pada orang untuk menyatakan Islam itu kanan. Ada banyak justifikasi normative pada hal-hal yang berbau “kiri” tapi Islam juga punya sinyal-sinyal normaif untuk mendukung aspirasi kaum kapitalis. Para pembawa Islam Kiri ini pun sebenarnya punya ancaman mereka sendiri, misalnya pada ranah isu-isu perempuan.
Saya lihat, wacana gazwul fikr ala INSISTS banyak ditolak oleh kalangan aktivis sebab diannggap wacana para pembawa kebencian yang saklek. Mereka bahkan bilang al-Attas mengajarkan kebencian pada Barat.
Bagaiamana mungkin INSITS disebut saklek, padahal kita mengembangkan filsafat dan terbuka untuk umum. Kita ingin membangkitkan peradaban Islam, dan itu hanya bisa terwujud pertama-tama dengan menunjukan Islam dengan segala atributnya, tidak mecampur baurkannya dengan basic believe Barat.
Jika masalah saklek, maka sebenarnya semua orang punya titik sakleknya tersendiri, yakni ilmu a priori yang bersifat basic believe. Mereka perlu hadir di kajian worldview pasti banyak yang belum dia tahu.
Saya melihat di UIN, girah untuk mengkaji pemikiran ulama klasik berkurang tapi lebih ke tokoh Barat. Bagaimana dengan paradigm interkoneksi yang dikembangkan di UIN?
Kita lihat masalah di UIN dengan interkoneksinya adalah ia menempatkan Islam dibawah pisau analisa ilmu-ilmu humaniora yang dikembangkan di Barat. Kita justru berbeda, sebab kita malah memulainya dari Islam, lalu melihat ilmu-ilmu yan dikembangkan di Barat dari kacamata Islam. Olehnya sebelumnya Islam dirumuskan dahulu sebagai worldview yang menjadi basis filsafat ilmu.
Mereka mencoba menbangun “peradaban Islam” tapi sebenarnya justru cloning dari masyarakat Barat. Lalu ada pula gelombang anti-Arab. Bagaimana itu, ustadz?
Ini jelas bermasalah sebab kata-kata kunci dalam Islam itu memanfaatkan kekayaan jaringan makna Bahasa Arab. Bahkan Bahasa Arab pun telah diislamkan. Jadi tidak semua hal yang berunsur Arab dalam islam itu adalah kearab-araban. Berpikir Islami, tetap perlu memakai terminology yang diungkap dalam Bahasa Arab.
Lalu mereka menganggap bahwa INSISTS hanya mengkritik dan tidak ada solusi?
INSISTS punya obsesi untuk menghidupkan kembali apa yang dumulai di ISTAC dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan tinggi. Pertama-tama memang konsep dasar yang harus dimatangkan agar perguruannya nanti tidak bersifat eksperimental saja. Berubah-ubah dan tidak jelas visinya. Solusi yang kita tawarkan adalah Islamisasi Ilmu pengetahuan kontemporer yang pernah ditawarkan al-Attas. Ada yang bilang ini adalah model Islmaisasi Malaysia. Aneh sekali, sebab gagasan ini justru mengkristal ketika al-Attas sedang berada di Kanada dan Inggris. ISTAC terbukti telah menghasilkan cendekiawan Islam yang aktif membimbing ummat di negara mereka masing-masing.
NB : tulisan ini bukanlah kutipan langsung tapi paraprase dari diskusi santai di gedung GIP jogja antara Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dan beberapa anak muda lintas organisasi.
Tambahkan komentar