Santri Cendekia
Home » “Polarizing Sundanese Society (?)”: Tantangan Bagi Muslim Sunda

“Polarizing Sundanese Society (?)”: Tantangan Bagi Muslim Sunda

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Beberapa hari ini media sosial diramaikan kasus Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab yang memelesetkan salam khas Sunda “sampurasun” menjadi “campur racun”. Pelesetan sang habib ini memancing kemarahan sejumlah pihak karena dianggap melecehkan budaya Sunda. Organisasi AMS (Angkatan Muda Siliwangi) lalu melaporkan kasus pelesetan ini kepada polisi.
 
Sunda atau Bali?
Tidak ada yang istimewa sebenarnya dari kasus ini. Ia hanya sebuah kegaduhan yang jamak terjadi di era kebebasan ini. Seorang tokoh melontarkan pernyataan kontroversial lalu digugat adalah hal biasa. Akan tetapi menjadi menarik jika kasus pelesetan sang habib ini kita lihat dalam konteks yang lebih luas. Dalam penjelasannya, Habib Rizieq menyatakan bahwa pelesetan “campur racun” yang ia munculkan dalam sebuah ceramah di Purwakarta itu sebenarnya adalah bagian dari kritik kerasnya atas sepak terjang Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang menurutnya menghidupkan budaya kemusyrikan di daerah tersebut. Ternyata memang bupati yang digugat sang habib ini dikenal sebagai bupati yang nyentrik. Dedi ingin menjadikan Purwakarta sebagai daerah ikon budaya dan untuk mewujudkan itu uniknya ia menggunakan simbol-simbol budaya pra -atau non-Islam seperti dengan membangun patung-patung pewayangan di berbagai sudut kota Purwakarta dan ‘menyarungi’ pohon-pohon di kota itu dengan kain bermotif kotak-kotak hitam-putih seperti di Bali. Yang lebih nyeleneh lagi kabarnya Dedi mengaku menikahi Nyi Roro Kidul dan menyediakan kereta kencana untuk sang penguasa laut selatan itu yang ikut dikirab tanpa penumpang dalam festival budaya di Purwakarta. Inilah rupanya yang digugat oleh Habib Rizieq sebagai budaya kemusyrikan.
 
Mencermati gugatan Habib Rizieq dan apa yang terjadi di Purwakarta muncul pertanyaan menggelitik: “apakah sedang terjadi proses pemisahan atau berpisahnya Islam dan budaya Sunda? Antara “kaislaman” dan “kasundaan”?”. Saya teringat buku M.C. Ricklefs “Polarizing Javanese Society”. Dalam buku itu Ricklefs menjelaskan bagaimana pada abad ke-19 pasca-Perang Jawa masyarakat (baca: etnis) Jawa mengalami perubahan besar yang diikuti timbulnya polarisasi dalam orientasi dan identitas keberagamaan masyarakat. Sebelum itu, sampai sekurang-kurangnya awal abad ke-19 telah lahir persenyawaan yang harmonis antara Islam dan budaya Jawa yang ia istilahkan sebagai “mystic synthesis of Java” di mana Islam dan Jawa tidak terpisahkan satu sama lain (“Islam iku Jawa, Jawa iku Islam”). Akan tetapi memasuki pertengahan abad ke-19 sintesis ini mulai goyah karena sejumlah faktor yang saling berkelindan. Gencarnya dakwah Islam yang menekankan aspek syari’at dan “kurang akrab” dengan budaya lokal, keengganan sebagian masyarakat Jawa sendiri untuk menjalankan tuntunan syari’at Islam, dan adanya usaha penggalian budaya Jawa pra-Islam oleh para priayi yang didorong kaum orientalis Belanda menghasilkan polarisasi di tengah masyarakat Jawa antara Islam dengan budaya Jawa, keislaman dengan kejawaan, antara putihan (santri) dan abangan. Sebuah polarisasi yang terus berlanjut dan semakin tajam memasuki abad ke-20 hingga mencapai puncaknya pada Peristiwa 1965. Apakah polarisasi serupa sedang terjadi pada masyarakat Sunda awal abad ke-21 ini? Akankah “polarizing Sundanese society” menjadi kenyataan? Terlalu dini untuk menyimpulkan. Akan tetapi tidak salah kiranya jika kita belajar dari pengalaman masyarakat Jawa. Bukankah ada ungkapan “sejarah itu berulang”?. 
 
Sampai saat ini ada ungkapan “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” yang menggambarkan kesatuan yang tak bisa dipisahkan antara budaya dan orang Sunda dengan Islam. Tentu saja bila kita lihat secara obyektif tidak semua unsur budaya Sunda bersumber dari atau dibentuk oleh Islam -kalau bukan malah bertentangan dengan Islam. Begitu pula dalam kenyataan tidak semua orang Sunda itu Muslim. Keberadaan komunitas adat Kanekes (Baduy) yang beragama Sunda Wiwitan mengingatkan kita bahwa ada orang Sunda yang bukan Muslim. Namun demikian tetap tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar urang Sunda adalah Muslim dan bagi mayoritas urang Sunda ini keislaman dan kesundaan adalah dua hal yang tak terpisahkan dan tidak perlu dipertentangkan satu sama lain. Bertebarannya pondok-pondok pesantren di pelosok Tatar Sunda yang menjadikan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar menjadi penanda betapa dua entitas ini (Islam dan Sunda) telah melekat satu sama lain ibarat “gula jeung amisna” (gula dan manisnya). Namun demikian adakah jaminan pertautan yang harmonis antara keduanya ini akan terus bertahan? Apakah polarisasi seperti yang pernah dialami masyarakat Jawa mustahil terjadi pada masyarakat Sunda?
 
Sekali lagi masih terlalu dini untuk menjawabnya, akan tetapi ada beberapa fenomena sosio-kultural yang perlu dicermati dalam kaitannya dengan akan seperti apa hubungan Islam dan Sunda ke depan. Di satu sisi sejak berakhirnya Orde Baru entah disadari atau tidak ada “gerakan” kebangkitan agama dan budaya Sunda pra-Islam yang dikenal sebagai “Sunda Wiwitan”. Salah satu penanda geliat kebangkitan tersebut adalah dihidupkannya kembali upacara adat Seren Taun seperti yang digelar di Desa Cigugur Kuningan. Desa ini sendiri adalah pusat kelompok penghayat kepercayaan PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang) yang menghidupkan kembali ajaran Sunda Wiwitan atau dikenal juga sebagai Agama Djawa Sunda (ADS). Sementara itu di kota Bandung beberapa tahun belakangan ada sejumlah komunitas yang rutin menyelenggarakan peringatan tahun baru Sunda (Pabaru Sunda) yang didasarkan atas Kala Sunda -sebuah sistem kalender yang sudah lama ditinggalkan masyarakat Sunda sendiri dan baru ditemukan kembali tahun 90-an. Peringatan dilakukan lewat acara ritual berbau ‘mistis’ yang tampak lebih kental dengan nuansa pra-Islam ketimbang Islam. Satu hal yang juga menarik dicermati adalah adanya usaha dari kalangan Kristiani (baik Katolik maupun Protestan bahkan Evangelis) untuk mengartikulasikan kekristenan lewat bahasa dan budaya Sunda. Sebagai gambaran, Desa Cigugur yang disinggung di atas selain merupakan pusat penghayat kepercayaan PACKU juga banyak dihuni oleh penganut Katolik yang notabene mereka adalah konvert dari pengikut ADS atau sering juga disebut “Agama Madrais” (diambil dari nama pendirinya yaitu Pangeran Madrais). Gereja Katolik di Cigugur banyak menyerap tradisi Sunda seperti seni karawitan dan tembang Sunda ke dalam liturginya, sejalan dengan konsep inkulturasi yang diperkenalkan Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II. Masih dalam kaitannya dengan ‘Sundaisasi’ kekristenan, di beberapa stasiun televisi lokal di Bandung kita bisa menyaksikan siaran acara rohani Kristen yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Sunda. Berbagai fenomena ini seolah hendak menyatakan bahwa “Sunda bukan (hanya) Islam” dan “Sunda bukan (hanya) milik orang Islam” meskipun tidak (belum?) sampai pada taraf ekstrim “Islam bukan Sunda”. Namun demikian, dalam konteks kebangkitan kembali Sunda Wiwitan kita bisa bertanya adakah ini merupakan respon atas atau berhubungan secara dialektis dengan Islamisasi yang semakin intensif di Tatar Sunda? 
 
Di sisi lain dakwah Islam terus berjalan di Tatar Sunda disertai dinamika dan sejumlah perkembangan yang juga patut dicermati. Kurang lebih satu dasawarsa belakangan seperti halnya di daerah-daerah lain, Tatar Sunda juga dilanda gelombang dakwah dengan agenda ‘pemurnian Islam’ dari apa yang dianggap sebagai takhayul, bid’ah, dan khurafat. Sebenarnya ini bukan hal baru di Tatar Sunda. Hampir seabad lalu di daerah ini telah berdiri organisasi Persatuan Islam (Persis) yang juga membawa agenda ‘pemurnian Islam’. Hanya saja berbeda dengan Persis, gerakan purifikasi belakangan ini tampak lebih massif dengan jejaring yang tidak hanya bersifat lokal tetapi juga trans-nasional dengan dukungan dana yang tentu tidak sedikit. Sekadar contoh, dalam satu dasawarsa terakhir jika kita berkunjung ke kios-kios yang menjual buku-buku agama di Pasar Buku Palasari Bandung misalnya kita akan menemukan banyak buku keislaman yang mengusung agenda ‘pemurnian’ ini dengan cover lux dari penerbit-penerbit yang berbeda meskipun dengan tema yang seragam. Gerakan ‘pemurnian’ dan ‘kembali ke Al Qur`an dan Sunnah’ mendapat sambutan baik di daerah perkotaan seperti Bandung khususnya dari kalangan muda. Selain gerakan dakwah ‘pemurnian Islam’, gerakan Islam politik juga tumbuh pesat di Tatar Sunda. Ini juga bukan hal baru, gerakan-gerakan Islam yang kental dengan visi-misi politik memang sudah lama tumbuh subur di Tatar Sunda. Bisa dilihat dalam Pemilu 1955 Masyumi menjadi partai peraih suara terbanyak di Jawa Barat. Gerakan Islam politik di daerah ini tidak selalu menempuh jalan damai lewat jalur legal-konstitusional tetapi juga lewat jalan kekerasan seperti yang dilakukan DI/TII dan Gerakan Imron, keduanya memiliki basis kuat di Jawa Barat. Sejumlah masjid besar di Bandung sudah sejak lama dikenal sebagai basis gerakan-gerakan Islam politik dan tampaknya terus berlanjut hingga sekarang. Tanpa bermaksud menggeneralisasi dan mensimplifikasi harus diakui gerakan-gerakan dakwah ‘pemurnian Islam’ dan Islam politik ini kurang menaruh perhatian -kalau bukan malah alergi- terhadap ranah kebudayaan, khususnya budaya Sunda. Sekadar contoh kecil, banyak masjid di kota Bandung yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda dalam khutbah Jum’at, sementara kalangan Kristen -yang mayoritasnya malah bukan orang Sunda- justru mulai menggunakannya. Kurangnya perhatian ini tidak selalu berarti anti-budaya tetapi yang jelas kurang ada usaha sistematis untuk memelihara sekaligus terus membangun hubungan harmonis antara Islam dan budaya Sunda, seolah-olah hubungan Islam dan Sunda yang harmonis itu sudah menjadi sesuatu yang niscaya tanpa harus dibangun dan diperkuat terus-menerus. Padahal hubungan harmonis itu sendiri bukan suatu hal yang muncul secara “ujug-ujug” melainkan melibatkan proses pemaknaan dan reka-cipta budaya yang kreatif dari para ulama terdahulu.
 
Pelbagai fenomena di atas adalah konteks yang perlu dipahami dalam membaca apa yang terjadi di Purwakarta di bawah kepemimpinan Dedi Mulyadi. Dedi seolah ingin menampilkan wajah budaya Sunda yang bukan (hanya) Islam, suatu hal yang lalu menimbulkan kontroversi. Hanya saja patut dicatat bahwa tidak tepat jika “budaya Sunda” yang diangkat Dedi dianggap sebagai representasi Sunda Wiwitan. Patung-patung tokoh pewayangan yang dibangun Dedi misalnya, tidak relevan dengan mitologi Sunda Wiwitan. Kisah pewayangan berasal dari tradisi Hindu yang dikenal orang Sunda lewat orang Jawa sementara Sunda Wiwitan adalah tradisi keagamaan dan budaya yang tidak hanya bersifat pra-Islam tetapi juga pra-atau non- Hindu. Ajaran Sunda Wiwitan sendiri bercorak monotheis -mengenal satu Tuhan pencipta dan pemelihara alam semesta yaitu Sanghyang Tunggal- yang lebih dekat dengan Islam ketimbang Hindu. Apa yang diangkat oleh Dedi sebagai “budaya Sunda” justru tampak lebih mirip dengan budaya Bali alih-alih Sunda. Kemiripan itu bisa dilihat dari motif kain kotak-kotak hitam-putih yang “menyarungi” pohon, bentuk janur kuning, sampai bentuk ikat kepala yang sering dikenakan Dedi lengkap dengan setangkai bunga yang dipasang dekat telinganya. Dengan kata lain langkah-langkah Dedi di atas dalam rangka menghidupkan “budaya Sunda” justru tidak nyambung dengan budaya Sunda sendiri, terlebih jika dikaitkan dengan sensibilitas urang Sunda yang mayoritasnya Muslim.
 
Terlepas dari itu, menjadi hal penting bagi Muslim Sunda khususnya para aktivis dakwah Islam di Tatar Sunda dan dari kalangan urang Sunda untuk memikirkan, merumuskan, serta mengimplementasikan langkah-langkah strategis guna terus memelihara, membangun, dan memperkuat persenyawaan antara keislaman dan kesundaan. Itu jika ingin ungkapan “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” tidak sekadar menjadi klaim kosong atau kisah masa lalu belaka.
 
*Penulis adalah keturunan Jawa pesisiran yang lahir dan besar di Tatar Sunda.
**Silakan dishare, dicopy-paste, dan dimuat di situs dan blog apapun dengan atas sepengetahuan saya dan tetap mencantumkan sumbernya.
Baca juga:  Kritik Wael Hallaq terhadap Pandangan Edward Said tentang Orientalisme (Bagian II)

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar