Santri Cendekia
Sumber gambar: http://transpremium.com/
Home » Prestise Bahasa Arab sebagai Bahasa Sekuler Profan

Prestise Bahasa Arab sebagai Bahasa Sekuler Profan

Oleh: Virgi Lisna*

Suatu kali saya pernah mendapati satu postingan di media sosial yang cukup menarik perhatian. Di sana, diunggah foto sepasang sandal yang diukirkan tulisan Arab di permukaannya, lantas mengundang amarah dari netizen yang terusik karena merasa agamanya dilecehkan. Lalu apa hubungannya?

Usut punya usut, mereka naik pitam karena al-Qur’an ditulis di sepasang sandal yang tentu secara logis akan diinjak. Padahal, tulisan yang tertera hanyalah kata asy-syimāl dan al-yamīn untuk menandai sebelah kanan dan kiri.

Kejadian tersebut barangkali menjadi humor tersendiri bagi orang-orang yang paham Bahasa Arab, meskipun lebih mencerminkan persepsi masyarakat awam yang begitu sempit tentang Bahasa Arab. Saya tidak akan membahas tentang tradisi men-judge tanpa ilmu yang dewasa ini tidak ada bedanya dengan sikap “main hakim sendiri” yang kerap terjadi di dunia nyata.

Ini adalah tentang Bahasa Arab yang tengah dibonsaikan menjadi sebatas bahasa agama, atau lebih sakral lagi sebatas bahasa al-Qur’an. Maka pada kasus yang lebih ekstrem, akan muncul anggapan bahwa Bahasa Arab adalah al-Qur’an.

Jelas itu suatu pemahaman yang keliru, bahkan terbalik. Sebab Bahasa Arab nyatanya jauh lebih luas daripada itu. Bahasa Arab adalah bahasa komunikasi, bahasa literasi, dan bahasa peradaban.

Mari meluncur ke masa lalu, melihat bagaimana Bahasa Arab memainkan andil besar dalam perkembangan serta penyebarluasan budaya yang menciptakan zaman keemasan Islam selama ratusan tahun. Atau sebelum jauh-jauh lari ke abad ke-7, kita mampir dulu ke zaman jahiliyah sebelum Rasulullah saw lahir.

Pada masa itu, Bangsa Arab telah mengenal syair sebagai seni sastra yang berharga dan prestisius hingga mampu mengangkat para penyair pada kelas sosial yang dihormati. Ini membuktikan bahwa Bahasa Arab sejak awal memang mengandung keistimewaan, bahkan sebelum peradaban terbentuk.

Baca juga:  Aliran-Aliran Fiqih Awal; Ahlul Hadis dan Ahlul Ra'yi

Tradisi bersyair ini masih langgeng hingga masa kenabian Rasulullah saw, yang kita tahu betapa banyak orang-orang pada masa itu terpesona dengan keindahaan bahasa al-Qur’an lalu menyatakan keimanannya dihadapan Rasulullah saw.

Bahasa Arab nyatanya memiliki power yang menakjubkan. Keunggulan Bahasa Arab semakin naik ke permukaan ketika Daulah Abbasiyah memegang tampuk kekuasaan. Ia tidak hanya bereskalasi menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa pembangun peradaban yang dikagumi, tetapi juga berekspansi –setelah kegiatan penerjemahan besar-besaran terhadap buku-buku Yunani Kuno– ke berbagai penjuru wilayah.

Hasilnya, penerjemahan ke dalam Bahasa Arab ini berhasil menjadikan Daulah Abbasiyah sebagai kiblat keilmuwan dunia ketika itu. Sementara peran Bahasa Arab relasinya dengan budaya, mari kita menyeberang ke dunia belahan Barat, tempat berdirinya kekhalifahan tandingan Abbasiyah pada masanya, yaitu kekhalifahan Umayyah II di Andalusia.

Andalusia dalam rentang waktu abad ke-7 sampai abad ke-11 di bawah kekuasaan Bani Umayyah mengasuh tiga agama yang hidup damai secara berdampingan. Ialah Islam, sebagai agama kekhalifahan, Yahudi sebagai agama minoritas yang sangat welcome dengan kedatangan Islam, dan Kristen yang sangat menentang Islam dan arabisasi, namun di kemudian hari jamaah mereka mengalahkan jumlah orang Yahudi yang masuk Islam.

Kembali lagi ke pembahasan  Bahasa Arab, ia bukan hanya pahlawan dibalik ilmu pengetahuan yang melesat cepat di Andalusia hingga mampu menandingi gemerlap Kota Baghdad, tetapi ia adalah bahasa yang mendarah daging dalam diri masyarakat.

Bahasa Ibrani yang merupakan bahasa keagamaan umat Yahudi ternyata tidak cukup familiar untuk digunakan dalam seluruh lini kehidupan penganut Yahudi. Mereka lebih memilih Bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, bahasa literasi, dan bahasa edukasi.

Bahasa Ibrani tidak lebih dari bahasa sinagoge yang pantang bercampur dengan nilai-nilai di luar kegamaan. Meskipun pada abad ke-11 pasca keruntuhan Dinasti Umayyah di Cordoba lalu terbentuk taifah-taifah (negara kota) yang independen, Bahasa Ibrani –setelah seribu tahun untuk pertama kalinya– berevolusi menjadi bahasa syair yang sengaja dibuat seindah dan sehebat struktur ritme syair-syair Arab dan bersedia menerima prinsip yang bahkan berlawanan bagi bahasa agama mereka sendiri[1].

Baca juga:  Konflik Palestina-Israel bukan Perang tapi Pembersihan Etnis

Lalu siapa sangka, perdana menteri yang menjabat ketika Abdurrahman III naik tahta adalah seorang Yahudi yang taat  bahkan, bernama Hasdai bin Shaprut. Sudah barang tentu ia –yang memposisikan diri sebagai seorang perdana menteri di lingkungan istana yang berbahasa Arab dan membantu mengurus tugas khalifah— handal dalam gramatika Bahasa Arab.

Sementara tetangga kedua yakni orang-orang Kristen, mereka di Andalusia dijuluki Mozarab yang artinya orang Kristen yang terarabkan. Julukan ini awalnya adalah ejekan yang dilancarkan oleh orang Kristen sendiri terhadap sesamanya yang dimabuk oleh keindahan dan syair-syair Bahasa Arab.

Namun pada gilirannya ejekan ini menjadi “senjata makan tuan” karena berubah menjadi sebutan bagi semua orang Kristen yang hidup di bawah pemerintahan Islam[2].

Anak-anak muda mereka memiliki tendensi yang serius dengan Bahasa Arab mengalahkan Bahasa Latin, bahasa agama mereka. Paul Alvarus, seorang tokoh Kristen hidup di Cordoba pada pertengahan abad ke-9 berkisah dengan pilu,

Orang-orang Kristen sangat senang membaca pelbagai syair dan roman Arab. Mereka mempelajari para teolog dan filsuf Arab, bukan untuk menolak pemikiran mereka, melainkan untuk mengetahui tata Bahasa Arab yang indah dan benar.. Semua anak muda Kristen yang pintar dan berbakat membaca dan mempelajari buku-buku Arab dengan antusias.. Anak-anak muda Kristen telah melupakan bahasa mereka sendiri. Setiap satu orang yang menulis surat dalam Bahasa  Latin kepada temannya, terdapat seribu orang yang bisa menulis, menuangkan ide dan pemikiran mereka dengan Bahasa Arab yang indah, dan bahkan menulis syair-syair Bahasa Arab dengan lebih baik dibandingkan orang-orang Arab sendiri.”[3]

Bahasa Arab tidak hanya universal, tetapi menyimpan keunikan yang tidak terduga. Kiranya beginilah kita sedikit memahami mengapa Allah memilih Bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an dan bahasa agama kita dengan tidak menyempitkannya hanya pada ranah itu. Sebagai penutup, mengutip perkataan Hamzah Yusuf yang sekali lagi membuat kita mendecak kagum dengan kehebatan bahasa ini:

Baca juga:  Jalaluddin al-Suyuthi dan Perjuangannya Mencari Pengakuan sebagai Mujtahid Mutlak

“Tidak mungkin Bahasa Arab dengan sistemnya itu kecuali Tuhan terlibat di dalamnya.”

 

[1] Maria Rosa Menocal, The Ornament of the World, terjemahan Nurasiah, Surga di Andalusia, (Jakarta Selatan: PT Mizan Publika, 2015), I, hlm. 123-124

[2] Ibid, hlm. 75

[3] Ibid, hlm. 71

*Thalabah Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah PP Muhammadiyah dan Mahasiswa Prodi Ilmu Hadis FAI UAD

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

2 komentar

Tinggalkan komentar