Santri Cendekia
Home » Problem Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Problem Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Pengertian Ilmu Pengetahuan

Melihat dari susunan katanya Ilmu pengetahuan terdiri dari kata Ilmu dan Pengetahuan. Ilmu di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan dengan makna pengetahuan atau kepandaian ( baik itu berkaitan tentang kebatinan, alam jagat raya dan yang lainya). Terdapat tiga arti Ilmu di dalam Oxford English Dictionary, di antaranya:

  1. Ilmu adalah Informasi dan Kecapatan yang didapatkan melalui pengalaman dan pendidikan.
  2. Semua yang diketahui.
  3. Fakta yang didapat melalui kebiasaan atau kesadaran dalam suatu keadaan.

Ilmu di dalam bahasa Arab jamaknya adalah ‘ulum yang bermakna ilmu pengetahuan. Sedangkan makna dari pengetahuan adalah tahu, atau  mengetahui akan sesuatu, apa saja yang diketahui dan segala apa yang diketahuai atau kepandaian akan suatu hal. Pada dasarnya ilmu itu berasal dari pengetahuan yang telah diuji coba secara ilmiah kemuadian dinyatakan Valid atau benar (Shahih). Dengan penjelasan ini, maka ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang sudah bersifat ilmiah.

Selanjutnya, terdapat kosata kata knowledge dalam bahasa Inggris yang di terjemahkan dengan pengetahuan. Juga terdapat kata scientific yang bermakna secara ilmiah. Dengan penjelasan ini, maka ilmu pengetahuan secara harfiah bermakna pengetahuan yang bersifat ilmiah. Banyak ahli yang menjelaskan tentang ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah (scientific) dengan ciri sebagai berikut:

  1. Adanya objek yang nyata atau jelas berupa fenomena alam maupun sosial.
  2. Memiliki metode yang jelas yaitu berupa observasi dan eksperimen.
  3. Tersusun secara sistematik dan komprehensif.
  4. Rasional, atau masuk dalam akal yaitu, mengandung premis, postulas, dan preposisi.
  5. Dapat diverifikasi atau dapat diuji kebenaranya di laboratorium.
  6. Bersifat menyeluru atau universal, yaitu bahwa apa yang diterapkan teori tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena yang sama semua ahli menerima.
  7. Adanya time response yang jelas.
  8. Berkaitan dengan hukum-hukum yang pasti.

Problematika Ilmu Pengetahuan

Terdapat lima problematika ilmu pengetahuan menurut Mulyadhi, diantaranya:

Pertama, diperkenalkanya ilmu-ilmu sekuler positivistik yang memiliki corak sekuler ke dalam dunia Islam melalui imperialisme Barat. Dengan demikian, terjadilah dikotomi ilmu pengetahuan yang sangat kencang diantara ilmu-ilmu Agama, seperti yang diperthankan oleh lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren salafiyah dalam satu pihak, dan sekolah-sekolah umum yang mengajarkan ilmu-ilmu sekuler yang diseponsori oleh pemerintah dalam pihak lain.

Ilmu ini (positivistik) yang dibawa oleh orang-orang Barat yang mereka gunakan untuk menjajah negara-negara yang berbassis Islam dalam ajaranya dengan cara yang sangat kejam, merampas semua kekayaan alam, menghilangkan dan menghancurkan harkat dan martabat manusia, merusak dan menghancurkan daya fikir manusia, mencuci otak manusia, dan sebagainya. Dengan adanya sikap kekerasan dari penjajah yang menimbulkan akibat dan dampak kebencian dari sikap dari umat Islam, dan menganggap apa saja yang berasal dari Barat adalah haram, termasuk ilmu pengetahuan. Bahkan mengharamkan ilmu dan teknologi yang berasal dari dunia Barat, seperti halnya mengharamkan celana panjang, sepatu, jas, dasi dan semua apa yang berasal dari Barat.

Mereka hanya menggunakan dalil  man tasyabbaha bi qaumin fa huwa minhum “ barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia sama saja dengan kaum tersebut”. Sikap ini adalah termasuk sikap yang tidak bijaksana dengan mengganggap semua yang berasal dari dunia barat adalah haram atau menggeneralisasikan semua apa yang berasal dari Barat. Perlu diketahui bahwa apa yang bersal dari Barat itu tidak semuanya haram, dan tidak semu juga baik. Sama halnya juga sesuatu yang berasal dari Timur, tidak semuanya baik dan tidak semuanya buruk. Apa yang bersal dari Barat dan Timur adakalanya baik dan adakalanya buruk.

Sebagai Umat islam harus bijak menyikapi hal ini, harus tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Tentu yang baik harus diambil dan yang buruk jelas harus di tinggalkan, maka yang sangat penting saat ini adalah memposisikan dan memunculkan sikap bijaksana itu, tentu dengan didasari dengan pengetahuan yang kuat. Juga perlu diketahui bahwa kebaikan Barat dan Timur tidak hanya ditentukan oleh arah atau tempat, melainkan dengan pandangan, sikap, perspektif, prilaku, gagasan, pengtahuan, Idiologi bahkan ita-cita yang dikembangkan oleh Barat atau Timur. Allah swt berfirman.

Baca juga:  Sehebat Itukah Imam Syafi'i?; Kritik Pada Tesis Schacht

۞ لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (177)

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah [2]: 177).

Kedua, pandangan yang berkaitan tentang Fenomena alam. Isam memandang bahwa fenomena alam tidak berdiri, atau tidak ada relasinya, kecuali dengan kuasa Ilahi. Islam memandang bahwa alam jangat raya ini sangat berkaitan dengan kekuasaan ilahi. Sir Muhammad Iqbal mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara “Alam ini merupakan bentuk kreatif Tuhan, sehingga mencari tahu tentang alam atau mempelajari alam bearti mengenal dan mempelajari dari dekat cara kerja Tuhan di alam semesta ini”.

Dunia Barat berpandangan bahwa alam tidak sama sekali memiliki hubungan dengan Tuhan atau sesuatu yang bersifat sepiritual atau bersifat moral. Bahwa alam tunduk dengan hukum alam yang bekerja secara mekanik dan linier, contohnya: bahwa hukum alamnya air adalah mengalir kebawah, dan hukum alamnya api adalah mengarah keatas dan bersifat panas. Dalam paham naturalisme Barat, bahwa hukum-hukum yang ada di alam adalah terjadi secara alami dan dengan sendirinya tanpa ada sedikitpun campur tangan Tuhan.

Oleh karena itu, dengan adanya kajian secara ilmiah dan eksperimen maka didapat temuan-temuan berupa data-data, informasi dan simbol-simbol setelah melewati proses validasi dan verifikasi yang akan menjadi rumusan teori ilmu pengetahuan. Barat juga berpendapat bahwa gerak alam ini hanya melalui proses evalusi sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Darwin. Sebuah teori yang mengatakan bahwa manusia merupakan hasil evolusi dari hewan yang sederhana, seperti kecambah, lalu berubah menjadi kecobong, ikan, kera dan manusia. Akibat dari keadaan ini, maka dapat dilihat bahwa barat meghadapi alam ini dengan cara yang semau-maunya.

Ilmu pengetahuan ditangan Barat berkembang dengan pesat tanpa didasari dengan adanya moral, dan digunakan dengan cara apa yang manusia inginkan, tanpa melihat bahwa itu merupakan hal baik atau buruk. Disisi lain, kalangan masyarakat agama dan primitif memandang alam secara magis, sakral, dan berhubungan dengan keuatan supernatural semacam dewa ataupun Tuhan. Mislanya di dalam agama Hindu yang berpandangan bahwa alam ini seprti bola yang ditopang oleh seeokor naga, jika naga itu mengamuk maka dunia ini akan menimbulkan malapetaka dan bencana bagi penghuninya. Juga ada yang berpandangan bahwa dunia ini adalah tempat yang menjijikan, hina, najis dan lainya sehingga dengan anggapan ini menimbulkan orang itu akan lupa kepada Tuhan.

Akibat sikap ini, mereka tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban. Hal ini semestinya harus diluruskan dengan mengatakan bahwa alam jagat raya ini yang menciptakan adalah Tuhan itu benar, dan didalam alam jagat raya ini juga terdapat tanda-tanda kekuasaan Tuhan juga benar, dan tuhan mempersilakan kepada manusia untuk mengambil hal-hal yang bermanfaat termasuk ilmu pengetahuan demi untuk memajukan dan memanfaatkan, kesejahteraan hidup manusia, dengan cara yang baik, cerdas dan bermoral. Ini sejalan dengan firman Allah swt.

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْأَنْهَارَ (32) وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ (33)

Baca juga:  Mengenal Lebih Dekat Konsep Fikih Muhammadiyah

Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang ( QS. Ibrahim [14]: 32-33).

            Ayat ini menunjukan bahwa, selain mendapatkan manfaat dari kajian yang dilakukan juga akan mendekatkan manusia kepada Tuhan dengan melihat keagungan dan kekuasaan Tuhan. Selanjutnya di dalam ayat lain juga dijelaskan.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ (27) وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (28)

Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit, lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun (QS. Fathir [35]: 27-28).

Kata Ulama yang terdapat pada QS. Fathir [35]: 27 dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan dengan seseorang yang pandai dan ahli dalam pengetahuan agama Islam. Pengertian ini tidak menunjukan keliruan akan tetapi yang dimaksud dengan ulama disini adalah orang yang yang mampu meneliti dengan kemampuan yang dimiliki untuk meneliti alam jagat raya ini, berupa turunya air hujan dari langit (meteorologi) yang membelah bumi, lalu yang dapat menumbuhkan berbagai jenis tanaman, meneliti gunung-gunung yang ternyata di dalamnya terdapat garis-garis putih dan merah yang beranekah macam warnanya dan ada juga yang hitam pekat, dan meneliti hewan-hewan yang semuanya akan membawanya semakin mendekat kepada penciptanya karena keagunganya.

Ketiga, adanya kesenjangan tentang sumber ilmu, yaitu ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Pendukung ilmu agama hanya menganggap bahwa sumber ilmu yang valid atau shahih itu bersumber pada Ilahi yang ditunjukan dengan kitab suci al-Qur’an dan al-Hadis yang menolak sumber-sumber nonskriptual sebagi sumber yang otoritatif untuk menjelaskan kebenaran yang hakiki. Berbeda halnya dengan para ilmuwan Barat, yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dengan paradikmanya sendiri yang sekuler, lepas dari agama, lepas dari kepercayaan Tuhan (ateistik) dan menganggap bahwa apa yang dibawa oleh agama hanyalah khayalan yang tidak bermanfaat dan masuk akal.

Di sisi lain kalangan agama beranggapan bahwa apa yang dilakukan merupakan kebenaran mutlak dari Tuhan yang akan dijamin dengan kebahagiaan di akhirat. Dua kelompok ini memiliki sekat masing-masing, tidak saling kenal dan tidak saling menengok satu sama lain. Semuanya menganggap paling benar dan apling maju dengan ukuran masing-masing. Padahal idealnya adalah antara sumber-sumber ilmu itu saling bersinergi, antara ilmu-ilmu yang berasal dari fenomena alam dan sosial pada dasarnya adalah ciptaan Tuhan dan ayat Tuhan, dan seluruhnya diperintahkan untuk mengambil manfaat dan mengkajinya sebagai proses adanya ilmu. Demikian juga ilmu yang berasal dari batin manusia, berasal dari wahyu dan berasal dari kejadian kitab itu semua merupakan ayat-ayat Allah. Dengan demikian seharusnya antara ilmu yang dikembangkan oleh kaum sekuler dan kaum agama mampu disandingkan, sehingga tidak ada kesenjangan diantara keduanya.

Keempat, objek-objek yang dianggap benar terkait disiplin ilmu. Dunia modern, termasuk sains secara modern telah menentukan objek-objek ilmu yang sah atau benar yaitu segala sesuatu yang dapat diamatai oleh indra dan dapat diobservasi. Oleh karenanya, segala sesuatu yang tidak dapat diobservasi atau teramati oleh indra bukan termasuk sebagai objek ilmu. Barat menilai bahwa yang termasuk objek ilmu terbatas dengan apa yang dapat diobservasi oleh indra, dapat didengar oleh telinga, dapat dilihat oleh mata, dapat dicium oleh alat penciuman, dapat diraba oleh tangan atau kulit dan dapat dirasakan oleh lidah. Oleh karenanya, semua ini adalah gejala atau fakta yang dapat dikuantifikasi, di timbang, dihitung, diukur, diproduksi kemudian dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan.

Baca juga:  Apakah Para Imam Syiah Statusnya Makshum?

Selain yang dapat diobservasi atau yang hanya dapat difikirkan bukan termasuk sebagai ilmu pengetahuan. Berbeda halnya dengan Islam yang menyatakan bahwa apa yang berasal dari Allah swt, wahyu, yang dapat menyakinkan dan mempercaya hati sanubari, dan mampu menghantarkan jiwa, semakin ikhlas, semakin dekat dengan Tuhan, dan semakin bertaqawa adalah merupakan objek ilmu.  Sedangkan ilmu yang berasal dari hal-hal penglihatan panca indra tidak dapat meyakinkan, karena apa yang diperoleh panca indra terbatas dan apa yang dilihat juga sangat terbatas.

Dengan demikian, kaum agama tidak menganggap yang dihasilakn panca indra merupakan objek ilmu. Seharusnya yang benar adalah bahwa setiap objek ilmu sama-sama memiliki kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan, maka objek ilmu yang berasal dari fenomena alam pasti memiliki kelebihan dari segi realitanya, akan tetapi objek ilmu ini lebih terkesan netral dan tidak memiliki muatan nilai yang dapat dirasakan secara langsung. Sebaliknya, bahwa ilmu yang berasal dari intuisi, wahyu, diyakini mampu membawa pesan moral, spiritual dan nilai, akan tetapi sulit untuk di timbang, diukur ataupun dikuantifikasi atau lain sebagainya.

Kelima, pembagian ilmu secara radikal kedalam ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum kemudian memunculkan disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Hal ini seperti yang pernah dilakukan oleh imam al-Ghazali yang membagi ilmu kedalam dua bagian. Pertama, ilmu fardhu ain, yang meliputi ilmu-ilmu agama. Kedua, ilmu fardhu kifayah yang meliputi ilmu-ilmu umum. Paradigma ilmu yang mendasarkan pada fiqh dan tasawuf tersebut menempatkan ilmu sebagai alat untuk mencapai akan segala sesuatu.

Oleh karenanya, apabila tujuanya untuk memperoleh kebahagian akhirat, maka alatnya adalah ilmu fardhu ain, sedang apabila tujuanaya untuk kebahagian duniawi maka alatnya adalah ilmu fardhu kifayah. Idielnya kedua ilmu ini harus berdiri bersama, sebangun dan sejajar, karena kepentingan manusia dalah mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, seperti yang diketahui bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang seimbang, maka tidak boleh berat sebelah, atau tidak boleh melaksakan salah satau atau meninggalkan salah satu saja. Sebagaimana Allah swt berfirman.

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (77)

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. al-Qhasash [2]: 77).

Ayat ini jelas mengajarkan kepada manusia agar memperhatikan tiga perkara, di antaranya: Pertama, di dalam kehidupan ini harus seimbang antara kehidupan yang berdimensi sekuler keduniawian dan kehidupan yang berdimensi sepiritual (eskatologis atau keyakinan). Kedua, menjadi manusia yang baik guna mewujudkan rahmatan lil alamin. Ketiga, tidak menjadi manusia perusak di muka bumi.

Demikianlah lima problematika ilmu pengetahuan dalam Islam. Setidaknya umat Islam mampu memahami dan mempelajari serta mengambil hikmah dari penjelasan di atas. Terlebih lagi menjadi tolak ukur yang tepat, apakah umat Islam sudah memposisikan ilmu itu sebagi ilmu yang nyata atau samar di dalam hati dengan masih menganggap keras apa yang datang dari luar Islam. Setidaknya mampu memilah dan memilih mana yang harus diambil dan yang harus ditinggalkan, demi memajukan pengetahuan umat Islam saat ini yang sangat tertinggal dengan Barat.

Dwi Arianto

Seorang yang berharap menjadi ulama cum ilmuwan || Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar