Santri Cendekia
Home ยป Prof. Malik Badri: Melawan Bias Barat dalam Psikologi Moderen

Prof. Malik Badri: Melawan Bias Barat dalam Psikologi Moderen

Dunia keilmuan Islam benar-benar terhentak dengan kewafatan Prof. Dr. Malik Badri sang pelopor Psikologi Islam. Sebagai seorang ilmuan yang dikenal sebagai pendiri International Association of Muslim Psychologist (IAMP) dalam mengembangkan psikologi Islam, beliau juga dikenal sebagai pribadi yang sangat santun dan penuh keramahan. Demikian kesan yang diterima oleh mereka yang menjadi rekan maupun anak didiknya. Semoga Allah memberikan rahmat dan ampunanNya yang luas baginya.

Prof. Malik Badri pernah berpendapat bahwa psikologi di Barat sebagai ilmu yang mempelajari tentang jiwa, justru mengabaikan hal yang paling penting dalam bagi jiwa manusia, yaitu kebahagiaan. Menurutnya karena psikologi modern yang lahir dari Barat telah melakukan reduksi atas konsepsi tentang jiwa manusia sebatas impuls neuron otak dan hubungan stimulus respons, maka unsur spiritual manusia tidak pernah dianggap, padahal kebahagiaan manusia ada pada dicapainya ketenangan spiritual.

Merupakan hal yang maklum bagi para pengkaji pemikiran dan peradaban Barat, bahwa Barat saat ini menganut pandangan alam materialisme, yakni suatu paham yang menyatakan bahwa kesejatian, kebenaran, dan kenyataan hanya pada materi, sedangkan hal-hal yang bersifat immateri tak dianggap ada. Pandangan alam ini “memaksa” bangsa yang menganutnya untuk mengembangkan gagasan konsep keilmuan (scientific concepts) Positivisme Logis yang menihilkan (atau memaknai secara materialistik) hal-hal yang bersifat metafisikal, yang dalam konteks ini adalah jiwa. Beliau juga menyatakan bahwa psikologi Barat itu berwatak sekuler dan terikat kultur (sebagaimana ilmu-ilmu lainnya tidak lepas dari historical and cultural background).

Beliau menulis buku yang menurutku sangat menarik, yaitu buku yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Inggris dengan judul Contemplation An Islamic Psychospiritual Study. Beliau sendiri mengakui bahwa karya beliau yang ini ditulis oleh beliau dengan antusiasme yang tinggi, bahkan dikatakan olehnya karya ini memang lahir dari perenungan terhadapnya. Buku ini secara khusus diberikan pujian oleh Prof. Tariq Ramadan pada saat konferensi CILE pada tahun 2014 tatkala Prof. Malik Badri selepas memberikan kuliah di hadapan para peserta konferensi.

Buku ini memberikan uraian bagaimana kontemplasi (tafakkur) dapat memberikan efek kebahagiaan (mental-spiritual well-being) bagi mereka yang melakukannya. Saya baru membaca bab pertama buku ini (kesannya? Sangat menarik worth-reading deh), pada bab ini beliau membahas tentang perspektif psikologi modern mengenai kontemplasi beserta kritikan tajam atasnya. Beliau telah mewanti-wanti para pihak yang mengajarkan etika Islam dengan menggunakan textbook psikologi Barat tentang psikologi agama untuk berhati-hati. Meskipun mereka mengklaim hendak “mengislamkan” psikologi, yang ada malah Islam disekulerkan.

Baca juga:  IMM dan Living Values

Beliau kemudian menjelaskan tentang warak reduksionis dari madzhab Behaviorism yang menyatakan bahwa fenomena kejiwaan dapat dipelajari melalui mekanisme stimulus respons, namun pada saat yang bersamaan bahwa proses berpikir tidak dapat diobservasi, artinya yang diobservasi adalah gejala-gejala jiwa yang tampak di luaran via stimulus dan respon yang dapat diobservasi. Madzhab Behaviorism menginginkan psikologi menjadi ilmu pasti yang dapat diamati dalam laboratorium serta respon yang dapat diobservasi dan dikontrol secara eksperimental. Sedangkan pada satu sisi aktivitas kognisi dan emosi manusia dianggap misteri yang tidak dapat diobservasi, maka tidak layak dijadikan objek studi. Dengan demikian pendekatan kontemplasi tidak mendapat tempat dalam kajian psikologi.

B. Watson sebagai bapak dari madzhab Behaviorism sendiri mengklaim fakta bahwa manusia tidak lain hanyalah hewan (binatang), perbedaan antara manusia dan hewan adalah jenis perilaku yang ditampilkan olehnya. Paham reduksionis ini yang mendegradasi kemanusiaan dari manusia, yang pada kenyataannya memberikan implikasi bahwa manusia tidak memiliki fitrah alamiah (innate nature), dimana nilai dan keyakinan manusia secara mutlak ditentukan oleh stimulus lingkungan sekitarnya, serta menghilangkan kebebasan manusia (freedom of choice) dan berbagai keputusan moral dan spiritual manusia.

Kritik juga diarahkan pada paham Psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, bahwa paham ini sebab pengaruh sekuler juga melakukan reduksi atas kesadaran itu sendiri. Menurut madzhab ini bahwa perilaku manusia secara pasti ditentukan oleh ketidaksadaran seksual (libido) dan impuls agresif dalam diri manusia. Bermakna bahwa hasil olah pikir manusia berupa perenungan, pilihan, dan penalaran merupakan hasil dari sisi alam bawah sadar yang tidak mereka sadari. Demikian Freud juga adalah orang yang menyatakan bahwa agama adalah ilusi dan merupakan neurosis (penyakit jiwa) kolektif!

Baca juga:  Belajar Adab dari Dua Tokoh Biadab (Az-Zukhruf 31)

Demikian pula kritik terhadap madzhab Neuropsikiatry Tradisional yang mendasarkan pada perspektif organis biologis. Padangan ini menyatakan bahwa telah ada ketetapan biologis secara determinis (biological determinism) atas buah perilaku manusia, normal atau abnormal, bahwa manusia berperilaku berdasarkan pada status genetis yang diwariskan, sistem saraf, dan komposisi biokimiawi bawaan lahir. Artinya, hal ini menafikan sisi “kebebasan” perilaku manusia dan kesadaran atas ide, serta ketetapan standar moral dan spiritual dari manusia.

Paham dalam ilmu psikologi ini mencerminkan pandangan reduksionis, mekanis, dan determinis terhadap watak manusia. Kondisi kejiwaan manusia yang kompleks direduksi sekedar hubungan mekanis antara stimulus dan respon, atau berdasarkan faktor biologis dan biokimiawi, serta pemikiran dan perasaan secara sadar manusia pada kenyataannya hanya merupakan muslihat dari alam bawah sadar dirinya. Mengutip psikolog Inggris, Cyril Burt yang menyatakan bahwa ilmu psikologi Barat telah kehilangan jiwa (soul), kemudian pikiran (mind), dan akhirnya kesadarannya (consciousness), seolah-olah ia bersiap untuk menjemput ajalnya.

Lalu bagaimana dengan Psikologi Islam? Saya pernah menyimak penjelasan salah seorang pakar Psikologi Islam dan juga kolega dari Prof. Malik Badri, yaitu Dr. Rasyid Skinner bahwa Psikologi Islam dibangun dari konsep fitrah (innate nature), dalam hal ini Psikologi Islam bukan melihat sisi jiwa kebinatangan (al-nafs al-hayawaniyyah) namun dari sisi jiwa rasional manusia (al-nafs al-nathiqah). Kaitannya dengan hal ini, Prof. Al-Attas menulis bab khusus dalam Prolegomena tentang jiwa yang berjudul The Nature of Man and The Psychology of The Human Soul bahwa manusia secara fitrah memiliki kemampuan kognitif untuk mengenal Tuhannya, dimana tatkala jiwa ditempat pada jasad dan mengalami kealpaan, maka adanya ajaran Islam adalah untuk mengingatkan fitrahnya kembali, barangkali inilah yang dimaksud dengan Islam sebagai agama fitrah.

Baca juga:  Muhammadiyah dan Upaya Penyatuan Kalender Islam: Refleksi Ramadhan 1437 H

Wallahu a’lam.

Shadiq Sandimula

Pemerhati Ekonomi Islam

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar