Santri Cendekia
Home » Puasa sebagai Latihan Lawan Oligarki

Puasa sebagai Latihan Lawan Oligarki

Jika saja bukan karena masjid terlokdon akibat corona, kita mungkin sekarang sudah menyimak kultum-kultum unggulan awal Ramadan. Biasanya tema awal-awal begini masih seputar definisi puasa, keutamaannya, dan mungkin tata caranya. Ayat kutiba akan selalu diulang-ulang. Jadi, biar tetap terasa nuansa awal Ramadannya, baiklah saya paparkan; puasa secara bahasa artinya menahan. Secara syariah bermakna menahan makan, minum, dan beritu-itu dengna istri dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Jadi, hakikat puasa memang menahan. Melawan.

Puasa pertama-tama tentu saja berarti kita harus berjibaku dengan diri sendiri. Berusaha mengalahkan dorongan-dorongan dasar biologis demi sesuatu yang lebih luhur dari sekedar onggokan daging yang kita sebut bodi  ini. Demi meraih ridha Allah. Inilah langkah pertama untuk menjadi merdeka. Ketika kita bisa mengesampingkan kebutuhan demi meraih idealitas yang dicita-citakan. Memang sih enaknya kebutuhan terpenuhi, idealita tercapai. Sayangya, jika kita lihat kejadiannya, para pahlawan selalu mereka yang terpontang-panting di sisi kebutuhan hidupnya.  Mereka jadi pemenang sebab bisa mengesampingkan semua itu dan terus berlari menuju citanya.

Ramadan konon adalah bulan simulasi saja. Bulan latihan. Sebab menahan diri dari makan demi ridha Allah di luar bulan puasa itu sangat-sangat sulit. Saya tidak sedang bicara tentang puasa sunnah. Tapi tentang perlawanan pada kezaliman secara umum. Hal ini ada kaitannya dengan sebuah ungkapan masyhur; tidak ada makan siang gratis. Menurut cerita, ungkapan ini muncul dalam forumnya Nebucadnezzar, seorang raja Babilonia. Kalimat itu dipersembahkan seorang ahli ekonomi sebagai ringkasan paling sederhana dan mengena tentang relasi ekonomi manusia.

Ceritanya, Nebucadnezzar mengundang banyak ekonom untuk makan siang sekaligus meminta nasehat perihal ekonomi. Semua ekonom itu memberikan masukan-masukan bernada pesimis atau terlalu berbelit-belit. Alhasil, mereka semua disembelih. Tersisalah satu ekonom. Tanpa pikir panjang, dia memberikan kaidah maha penting ini; there ain’t no such thing as a free lunch (disingkat jadi TANSTAAFL). Si raja terpesona akan ketepatan prinsip itu sehingga kepala ekonom pun selamat. Kalimat tersebut memang menggambarkan dengan ringkas kekuatan utama yang menggerakan aktivitas ekonomi manusia.

Kisah asbabul wurud di atas diceritakan ulang oleh Pierre Dos Utt. Ekonom ini menulis di tahun 1949 sebuah monograf berjudul TANSTAAFL: A Plan for a New Economic World Order. Intinya, Utt menggambarkan bahwa sebuah sistem oligarkis akan muncul dari prinsip ketergantungan TANSTAAFL. Saya tidak akan berpretensi tahu soal ekonomi dan politik. Tak modal bicara ndakik-ndakik soal sistem oligarki. Cuma bisa dibayangkan saja sebenarnya, seorang memang bisa membentuk kroni ekonomi-politik dengan menawarkan makan siang kemana-mana. Bukan sekedar makan siang gratis, tapi makan siang yang membuat ketergantungan.

Baca juga:  Empat Alasan Mengagumi Gus Mus

Mau tidak mau, para penerima makan siang itu akan menjadi pelayan kepentingannya. Maka apapun latar sosial dan keilmuannya, akan ia gadaikan demi melayani kepentingan si pemberi makan siang. Semua riset ilmuwan, fatwanya ulama, statistiknya tukang survey, beritanya si jurnalis, hingga seninya para seniman hanya akan menjadi alat untuk melanggengkan oligarki. Melanggengkan kekuasaan tuannya yang juga berarti langgengnya sumber makan dirinya.

Manusia memang akan jinak pada tangan yang menyuapnya. Apa yang keluar dari mulutnya akan didiktekan oleh siapa yang memasukan makanan ke mulut itu. Sialnya, jika yang menyuapi mulut kita berlaku zalim; mau bungkam takut dosa, tapi jika bicara nanti kelaparan. Nah, orang yang berpuasa sebenar-benarnya puasa tidak akan menganggap itu dilema. Bagi mereka, pilihannya gampang saja. Untuk apa takut lapar? Mereka toh sudah terlatih lapar demi meraih keridhaan Tuhan.

Tentu saja saya tidak akan mengglorifikasi rasa lapar. Perasaan ini sering diromantisasi dalam epos-epos perlawanan. Memang sih, bukan satu dua orang aktivis yang meninggal dalam hunger strike alas mogok makan. Tapi ya ada juga orang yang terpaksa lapar dan mati penasaran karenanya. Jadi intinya bukan pada rasa lapar biologis saja. Sebab banyak yang puasa tapi hanya berhasil menahan minum dan makan. Alhasil, kata Rasulullah saw, mereka hanya dapat lapar dan haus. Sial sekali. Puasa level ini diragukan mampu melahirkan jiwa-jiwa yang kuat bertahan merdeka di dunia yang dikendalikan logika TANSTAAFL.

Jadi agar puasa benar-benar bisa menjadi instrumen berlatih melawan godaan makan siang agen-agen Oligark, penjelasan Imam al-Ghazali ini perlu diresapi. Menurut Sang Hujjatul Islam, puasa itu setidaknya ada tiga level. Puasa paling dasar adalah puasa kaum ‘awwam yang “hanya” meninggalkan nafsu makan dan hasrat seksualnya saja. Setingkat di atasnya, puasa kaum khawwas yang juga  menahan panca indera serta lisannya dari dosa selama berpuasa. Lalu puasa paling utama adalah milik kaum khawas alkhawas dimana jiwanya benar-benar terpalingkan dari segala sesuatu selain Allah.

Baca juga:  Deklarasi Jerusalem 2006: Gerakan Gereja Melawan Zionisme Kristen

Puasa pada level tertinggi alias khawas al-khawas menurut al-Ghazali hanya bisa diraih oleh para Nabi, shiddiqin, dan muqorrabin.  Bila mampu berpuasa di level khawas al-khawas tentu luar biasa sekali. Tak mengherankan jika sejarah para Nabi dan penerus sejatinya adalah sejarah perlawanan yang tak kenal takut, tak mau kompromi. Setingkat di bawahnya, puasa akan melahirkan kemerdekaan dari kekerdilan diri sendiri. Ini adalah modal besar sebenarnya. Jika telah selesai dengan diri sendiri, titik awal melakukan perlawanan dan perbaikan sudah jelas letaknya.

Kalaupun memang puasa kita baru di level awam, ya tak mengapalah. Asalkan ada tekad besar untuk selalu  berjihad meningkatkan kualitasnya. Niatnya bukan hanya agar ibadah penting ini bisa kita selesaikan dengan baik. Seharusnya ditambah juga, agar puasa bisa menjadi sarana latihan menghadapi tawaran-tawaran menggiurkan di dunia TANSTAAFL. Seakan ingin menyapa manusia lemah macam kita ini, Imam al-Ghazali mengutip Al-Ankabut ayat 69: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Bila sudah ada tekad melawan, Allah akan tunjukan jalan dan sarananya!

Wallahu a’lam.

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar