Santri Cendekia
Home » Ramadhan 2020: Tuntunan dari Muhammadiyah (Sebuah Catatan dari Mark Woodward)

Ramadhan 2020: Tuntunan dari Muhammadiyah (Sebuah Catatan dari Mark Woodward)

Ada dua kegiatan rutin bulan Ramadhan, yang direkomendasikan oleh Muhammadiyah untuk tidak dilakukan tahun ini, yaitu buka puasa bersama di masjid dan perayaan takbir keliling di akhir bulan Ramadhan.

_____________

Mark Woodward**

Ramadhan 2020: Tuntunan dari Muhammadiyah*

Pandemi Coronavirus menimbulkan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi umat Islam di saat bulan puasa Ramadhan akan tiba. Di sini saya akan menggambarkan beberapa cara di mana gerakan modernis Muslim Indonesia, Muhammadiyah, merencanakan Ramadhan pada tahun wabah 2020 ini.

Sejak awal pandemi para pimpinan Muhammadiyah menyadari bahwa isolasi sosial, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagai al-tabā’ud al-ijtimāʻī untuk memberi kredibilitas Islami (nuansa Islami, pen) pada konsep tersebut, adalah salah satu dari beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menekan penyebaran virus. Di saat yang sama ini menuntut umat Islam untuk mengubah perilaku keagamaan mereka dalam merespon keadaan yang baru dan menantang ini.

Hadis (Tradisi di Seputar Nabi Muhammad)

Selalu ada respons keagamaan terhadap wabah dan sampar. Ketika dihadapkan dengan bahaya besar, orang-orang mau tidak mau akan bergeser ke agama dan para pemuka agama untuk mencari bimbingan. Ini sama benarnya ketika sekarang dunia dihadapkan dengan pandemi Coronavirus seperti berabad-abad yang lalu ketika wabah mematikan seperti Black Death melanda A(f)rica, Asia dan Eropa.

Umat ​​manusia memiliki alat berbasis sains yang jauh lebih efektif untuk memerangi beragam epidemik, bahkan sejak seabad yang lalu. Namun, respons keagamaan masih menjadi senjata dalam perjuangan melawan musuh mikroba.

(Ketika Ramadhan akan tiba), memberikan tuntunan kepada masyarakat tentang cara melaksanakan kewajiban agama, dan pada pada saat yang sama melindungi diri dan masyarakat secara umum dari penularan adalah hal yang sangat penting.

Para pemuka agama Islam biasanya mempersiapkan berbagai acara keagamaan dan sosial, untuk menyemarakkan ibadah puasa. Ramadhan dengan social distancing, yang merupakan satu-satunya senjata efektif melawan virus, terasa sangat sulit.

Tidak mungkin menekan penyebaran pandemi Coronavirus, jika umat Islam bersikukuh melanjutkan ibadah Ramadhan seperti biasanya. Namun, masih banyak yang khawatir bahwa mereka akan jatuh ke dalam gelimang dosa dan akan menghadapi pembalasan Tuhan jika mereka mengabaikan kewajiban agama.

Ada juga kecenderungan untuk mencampuradukkan kegiatan keagamaan yang sifatnya wajib, tuntunan keagamaan yang dianjurkan karena merupakan tradisi yang dilakukan Nabi Muhammad (sunnah), dan kegiatan-kegiatan yang merupakan elemen budaya Islam.

Orang-orang juga enggan membatalkan acara-acara yang sesungguhnya sifatnya tidak wajib, seperti buka puasa bersama, kajian keagamaan (Tabligh Akbar), parade, pesta, pertemuan keluarga, perayaan Idul Fitri / Lebaran dan yang paling utama (adalah) mudik yang mengosongkan kota karena orang-orang kembali ke daerah dan desa leluhur mereka pada akhir bulan (Ramadhan). Ini bukan kewajiban agama namun merupakan bagian penting dari budaya Muslim Indonesia.

Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah gerakan Islam modernis terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia bahkan dunia. Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, seorang pejabat agama Kesultanan Yogyakarta.

Ahmad Dahlan memiliki dua tujuan: Untuk “memurnikan (purifikasi, pen)” Islam Jawa dari apa yang ia yakini sebagai bid’ah (inovasi yang bertentangan dengan syariah) dan politeisme (syirik) dan untuk mempromosikan modernitas (modernisasi, pen).

Muhammadiyah adalah gerakan Salafi moderat yang dipengaruhi oleh ajaran pembaharu Mesir abad ke-19 Muhammad Abduh dan ahli hukum abad ke-14 Ibnu Taimiyah. Pendekatan Muhammadiyah terhadap teologi, ritual dan penalaran hukum semata-mata didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis.

Baca juga:  Merindukan Pembaharu Sekelas KH. Ahmad Dahlan

Seperti gerakan Salafi lainnya ia menentang Sufisme/tasawuf (mistisisme Islam) dan praktik-praktik kesalehan yang didasarkan pada ajaran tersebut. Tidak seperti banyak gerakan Salafi lainnya, Muhammadiyah merangkul budaya lokal seperti teater, musik, dan tarian. Ini benar-benar bertolak belakang dengan “Arabisasi” karakteristik kehidupan sosial dari gerakan-gerakan di Indonesia yang diilhami oleh Wahhabisme Arab Saudi.

Agenda dari gerakan modernis Muhammadiyah berpusat pada pendidikan dan perawatan kesehatan. Muhammadiyah memiliki jaringan sekolah dan universitas yang menyediakan pendidikan modern dalam konteks Islam, rumah sakit dan pusat kesehatan. Muhammadiyah sekarang memiliki sekitar tiga puluh juta pengikut, yang sebagian besar dari mereka adalah kelas menengah dan perkotaan.

Muhammadiyah secara rutin memberikan tuntunan kepada para anggotanya dan para pengikutnya tentang segala macam topik melalui ceramah, kajian keagamaan yang diadakan di masjid-masjid, publikasi seperti Suara Muhammadiyah, portal web dan media sosial.

Tuntunan Keagamaan dan Pandemi Coronavirus

Pada saat-saat seperti ini, imbauan keagamaan dapat membuat kebijakan dan praktik kesehatan publik lebih terdengar. Respon Muhammadiyah terhadap pandemi Coronavirus menggabungkan penalaran hukum Salafi dengan pragmatisme medis. Seperti banyak negara lain, Indonesia tidak siap menghadapi pandemi Coronavirus. Kasus pertama yang dilaporkan adalah pada minggu pertama bulan Maret.

Pada 10 Maret Muhammadiyah memfokuskan lagi sistem perawatan kesehatannya pada pencegahan dan pengobatan infeksi Coronavirus. Dua puluh rumah sakit di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra ditetapkan sebagai pusat rujukan Covid-19. Lebih dari tiga puluh ribu kantor cabang Lazismu dan puluhan ribu masjid memulai kampanye penyadaran publik (akan bahaya Coronavirus).

Muhammadiyah juga mulai mengeluarkan imbauan keagamaan tidak lama setelah tingkat pandemi itu terlihat. Pada 19 Maret, Pusat Komando Covid-19 Muhammadiyah (Muhammadiyah Covid-19 Command Center / MCCC) menerbitkan teks khutbah Jumat berjudul “Menyikapi Wabah Virus Corona (COVID-10).

Khutbah dimulai dengan penjelasan objektif tentang skala global pandemi:

“Saat ini, kita semua dihadapkan dengan wabah virus Covid-19, yang juga dikenal sebagai virus korona. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa wabah virus ini adalah pandemi dan masalah global. Pemerintah Indonesia telah menyatakan pandemi ini sebagai bencana nasional. Virus korona jenis baru ini pertama kali muncul di Wuhan Cina pada akhir 2019 dan sekarang telah menyebar ke lebih dari 140 negara dan wilayah. Wabah virus korona ini adalah bencana non-alam.” (Di Indonesia, istilah bencana alam digunakan untuk peristiwa geologis seperti gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi).

Kemudian khutbah berlanjut dengan refleksi teologis tentang hubungan timbal-balik antara determinisme Tuhan dan agensi manusia dalam menanggapi bencana.

Ini mendorong suatu kombinasi ketabahan, keimanan, dan sikap yang tegas. Ini menawarkan jaminan cinta Allah yang berkelanjutan untuk ciptaan-Nya.

Semua ini adalah tema dasar dalam pemikiran keagamaan Muhammadiyah. Saya telah mendengar referensi tentang kesulitan duniawi sebagai ujian iman yang menuntut sikap tegas dalam khutbah Muhammadiyah selama lebih dari empat dekade. Bagian khutbah ini adalah komentar pada sebuah ayat dari al-Qur’an:

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Baca juga:  Kolofon Naskah-Naskah Astronomi

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (QS. Al-Baqarah [2]: 155).

“Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa musibah atau bencana adalah hal niscaya yang harus dihadapi oleh setiap manusia. Bencana, apapun bentuknya, sesungguhnya merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada manusia. Berbagai peristiwa yang menimpa manusia pada hakikatnya merupakan ujian dan cobaan atas keimanan dan perilaku yang telah dilakukan oleh manusia itu sendiri. Ketauhidan seorang mukmin akan menuntunkan bahwa berbagai peristiwa yang menimpa manusia bukanlah persoalan, karena manusia hidup pasti akan diuji dengan berbagai persoalan. Peristiwa yang merupakan musibah merupakan takdir Allah. Takdir di sini dimaknai dengan sebuah ketetapan dan ketentuan Allah yang telah terjadi di hadapan kita. Hanya Allah saja yang mengetahui ketetapan dan ketentuan-Nya. Manusia hanya dapat mengetahuinya ketika ketetapan dan ketentuan tersebut terjadi. Adapun ketika ketetapan dan ketentuan yang akan terjadi pada manusia juga tidak mengetahuinya, hanya Allah saja yang Maha Tahu. Dengan demikian, manusia wajib memohon kepada Allah dan berusaha untuk menyikapinya dengan penuh kesabaran dalam rangka merubah keadaan yang dihadapinya menjadi lebih baik.”

Khutbah tersebut diakhiri dengan imbauan kepada umat Muslim tentang bagaimana seharusnya menanggapi pandemi:

Pertama, memperkuat iman mereka kepada Allah karena orang beriman tidak akan takut. Kedua, mempraktikkan isolasi sosial seperti membatasi kegiatan-kegiatan di masjid termasuk shalat Jumat dan kajian-kajian keagamaan (pengajian). Ketiga, membantu orang lain yang membutuhkan.

Pada tanggal 24 Maret Muhammadiyah mengeluarkan fatwa (pendapat hukum) yang menyatakan bahwa perjuangan melawan pandemi adalah kewajiban agama dan ibadah (ritual) yang selevel dengan jihad (perjuangan di jalan Allah).

Fatwa tersebut ingin meyakinkan umat Islam bahwa pandemi bukanlah hukuman dari Tuhan, melainkan ujian bagi umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Ini mengingatkan umat Islam bahwa menurut Al-Qur’an “Barangsiapa menyelamatkan satu orang, makan ia seakan-akan menyelamatkan seluruh umat manusia” (al-Maidah 5:32).

Fatwa tersebut juga berisi tentang bolehnya meniadakan shalat Jumat yang hukum asalnya ialah wajib dan menasehati umat Islam untuk melakukan shalat Zuhur di rumah. Bagian dari fatwa ini sangat kuat menyatakan bahwa dalam kondisi saat ini tidak mungkin untuk melaksanakan ibadah shalat Jum’at.

Pada tanggal 26 Maret, siaran pers (dari Muhammadiyah) menawarkan tuntunan yang lebih spesifik untuk ibadah Ramadan. Ada empat poin utama:

  • Tarawih, shalat malam yang khusus dikerjakan di bulan Ramadhan, yang biasanya dilakukan di masjid harus dilakukan di rumah. Kegiatan-kegiatan keagamaan yang disponsori Muhammadiyah setiap malam selama bulan Ramadhan tidak akan diadakan tahun ini.
  • Puasa adalah wajib bagi umat Islam kecuali mereka yang sakit. Orang yang sakit harus menggantinya dengan puasa di kemudian hari sesuai dengan tuntunan syariah.
  • Tenaga medis tidak diharuskan berpuasa saat bertugas. Mereka harus menggantinya dengan puasa di kemudian hari sesuai dengan tuntunan syariah.
  • Tidak perlu menyelenggarakan Idul Fitri. Masyarakat seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat tradisi, seperti buka puasa bersama, kembali ke kota dan desa asal mereka untuk mengunjungi kerabat pada akhir bulan Ramadhan (mudik), parade dan kegiatan sosial lain.
Baca juga:  Dilema Sidang Isbat di Tengah Wabah Corona

Semua rekomendasi ini didukung oleh dalil (dalil / bukti teks) dari al-Qur’an dan Hadis. Kebanyakan dari rekomendasi tersebut mensyaratkan pengorbanan yang menyakitkan. Puluhan juta orang Indonesia biasanya kembali ke kota asal dan desa mereka untuk lebaran.

Bagi orang Indonesia yang tinggal di kota-kota yang sedang berkembang di negara ini, inilah satu-satunya kesempatan mereka untuk memperbarui hubungan dengan kerabat di pedesaan.

Tradisi lain yang sangat dicintai, yang banyak orang akan lewatkan tahun ini adalah prosesi Takbir Keliling, di mana sebagian besar pemuda berbaris di jalan-jalan melantunkan Allah Akbar (takbir Idul Fitri, pen).

Beberapa di antaranya adalah pawai obor sederhana. Muhammadiyah mensponsori di Yogyakarta dengan membuat beragam kendaraan hias dan ribuan pemuda mengenakan kostum yang dihias sedemikian rupa; mereka berpawai di jalan-jalan setelah shalat Isya.

Para pimpinan Muhammadiyah tidak akan menghimbau masyarakat Indonesia untuk “Tetap di Rumah / Stay Home” tanpa pertimbangan yang cermat akan risiko yang ditimbulkan oleh pandemi dan kepentingan sosial, budaya dan agama dari perayaan Lebaran.

Namun, menunda atau membatalkan agenda-agenda tersebut adalah hal terpenting yang dapat dilakukan masyarakat Indonesia untuk memperlambat penyebaran penularan Corona. Ini berarti bahwa banyak orang yang seharusnya mati akan hidup untuk bergabung dengan mereka tahun depan.[]

***

Catatan: (1) ini merupakan terjemahan dari tulisan berbahasa Inggris oleh Prof Mark Woodward di akun Facebook-nya mengenai tuntunan Ramadhan Muhammadiyah di tahun wabah 2020 ini; (2) Tulisan Arab di artikel ini yang merupakan ayat al-Quran ditambahkan oleh penerjemah dan editor, di mana pada tulisan asli berbahasa Inggris tidak ada; (3) Tulisan dalam tanda kurung adalah tambahan dari penerjemah.

*Tulisan ini telah mendapatkan izin dari Prof Mark Woodward untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

**Mark Woodward is associate professor of religious studies and is also affiliated with the Center for the Study of Religion and Conflict at Arizona State University. In 2008, he was visiting associatepProfessor at the S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University in Singapore. He has a bachelor’s and master’s degrees, and a doctorate in anthropology from the University of Illinois Urbana-Champaign. His research focuses on Islam, religion-state-society relations and religion and conflict in Southeast Asia. He has also conducted research on Islam, politics in West Africa (Niger and Nigeria) and in The United Kingdom. He is author of “Islam in Java. Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, Defenders of Reason in Islam” (1989) and “Java, Indonesia and Islam” (2010) co-author (with Richard Martin and  Dwi Atmaja) of “Defenders of Reason in Islam. Mutazilism from Medieval School to Modern Symbol” (1997), editor of “Towards a New Paradigm: Intellectual Developments in Indonesian Islam” (1996) and co-editor (with Bianca Smith) of “Gender and Power in Indonesian Islam: Leaders, Feminists, Sufis and Pesantren Selves” (2013). He has published more than 50 scholarly articles in the U.S., Europe, Indonesia and Singapore, many co-authored with Southeast Asian scholars. He is currently directing a trans-disciplinary, multi-country project on counter-radical Muslim discourse.

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar