Santri Cendekia
Home » Ramadhan Dulu Ketika Kecil

Ramadhan Dulu Ketika Kecil

Ramadhan raya merupakan bulan yang paling ditunggu kedatangannya oleh umat Islam sedunia, sebab bulan penuh rahmat ini merupakan pembebasan yang menyenangkan dari rutinitas yang membosankan dalam 11 bulan lainnya.

Namun, bagi orang yang tidak terbiasa dengan suasana Ramadhan barangkali akan menganggap bulan puasa merupakan pengekangan terhadap segala atribut duniawi: kelamin, mulut, perut sampai mata. Tetapi cobalah untuk sedikit berpikir kekanak-kanakan, maka Ramadhan akan terlihat seperti bulan penuh piknik.

Orang kampung seperti saya ketika kecil dulu, bulan Ramadhan terasa semarak dan membahagiakan karena nyaris tanpa paksaan, dilakukan secara sukarela dan penuh canda. Orang tua saya menyebutnya sebagai “latihan”, padahal saya paham betul itu hanya alibi agar beras di rumah lebih irit menjelang lebaran.

Ada semacam hukum tak tertulis bagi anak kecil di bulan Ramadhan, yaitu waktu bermain diperpanjang, bahkan nyaris tanpa batas. Dari dini hari sampai tengah malam, kehidmatan Ramadhan hampir dirayakan dengan bermain.

Setelah sahur dan shalat, biasanya jalan-jalan subuh mencari buah mangga jatuh atau jamur (istilah “jamur” di kampung saya “su’ung”). Siangnya main mobil-mobilan jadul semirip Tamiya yang terbuat dari bambu (saya lupa namanya). Sore harinya diisi ngabuburit bersama anak-anak lainnya di madrasah sampai maghrib dan buka bareng—dulu kami menyebutnya “Sakola Agama”. Selepas berbuka kemudian persiapan tarawih, juga dirayakan dengan bermain. Dan ketika malam datang biasanya kita menuntut orangtua memberikan jatah uang jajan untuk hari itu.

Entah mengapa segala macam ledakan pun seolah dihalalkan. Suara petasan akan terdengar sumbang ketika dinyalakan selain di bulan Ramadhan. Bahkan terkadang di balik suara petasan, akan ada suara teriakan bapak-bapak yang protes. “Garaneng siah barudak, aya nu keur gering!” Sebaliknya, bulan Ramdhan tanpa adanya suara petasan di lingkungan anak kecil seolah tidak sedang bulan puasa.

Baca juga:  IMM dan Living Values

Dari semua fragmen tentang Ramadhan, menurut saya yang paling haram untuk tidak dirindukan adalah ketika shalat tarawih. Bagi saya ketika kecil, entah juga bagi kalian semua, shalat tarawih merupakan satu-satunya shalat yang seolah-olah boleh untuk “diheureuykeun”, dipermainkan.

Dan itu memang hanya terjadi pada tarawih, tidak pada shalat-shalat lain. Jumlah shalatnya yang anti mainstream membuat anak-anak merasakan kebosanan, yang kemudian dijawabnya menjadi ajang becandaan bersama.

Di kampung saya, karena shalat tarawih dilakukan dengan format 2-2-2-2-2-1 (entah sampai sekarang), maka waktu jeda dimanfaatkan bermain petak umpet atau melakukan hal-hal polos lainnya. Kemudian ketika shalat kembali dimulai, biasanya mereka menunggu sampai imam menjelang ruku baru setelah itu ikut bergabung dalam shaf.

Peristiwa tarawih yang diceritakan Zen RS juga terjadi ketika saya kecil dulu, saat jamaah mengucapkan “aamin” di akhir Al Fatihah, ada satu anak cengos yang kemudian menambahinya dengan kata “rais”. Jadilah “Amin Rais”. Ada juga yang kadang ditambahi anak-anak dengan ucapan “taba”, sehingga menjadi “amin taba” atau terdengar seperti “amitaba”.

Saya masih ingat salah satu kejadian paling menggelikan yang pernah terjadi. Saat imam bersama jamaah lainnya ruku, saya seorang diri berdiri kemudian memantau ke semua sudut ruangan masjid, tanpa diduga teman saya yang berada di sisi lain juga ikut berdiri memberikan isyarat “say hello” sambil cengegesan seolah tanpa dosa.

Bahkan ketika sujudpun, arena bermain seolah tidak pernah habis. Karena biasanya anak-anak berada di shaf paling belakang demi menjaga kekhusyuan orang dewasa, dan umumnya berbaris juga dengan anak-anak lainnya, maka mereka saling dorong hingga tak jarang satu barisan ambruk terkapar.

Ajaibnya apa yang dilakukan anak-anak itu tanpa sedikitpun mengandung pretensi dendam, tapi dengan tawa-riang, kadang dengan tangis—khusus bagi anak yang cengeng. Sebuah sikap yang amat jarang terlihat di dunia dewasa saat mereka terlibat aksi saling sikut.

Baca juga:  Kiyai Dahlan, Merdeka Belajar, dan Dilema Palsu Pendidikan Kita

Shalat, walaupun shalat sunah, tentu hal yang sakral, tapi bagi anak-anak itu hal yang berbeda.  Bukan sekali-dua saat shalat ada teman yang memelorotkan sarung atau celana panjang hanya sekedar ingin mengetahui informasi apakah sudah disunat atau belum, atau apakah dia memakai sempak atau tidak.

Banyak sekali rekaman Ramadhan yang jika dibayangkan sekarang terasa menyenangkan, menggelikan dan mustahil tak dirindukan. Hal tersebut terjadi karena kecenderungan orang dewasa yang permisif serta mewajarkan kelakuan anak-anak. Jika kelewatan hanya ditegur. Dan beruntungnya di kampung saya, seingat saya, senakal-nakalnya, tak pernah saya lihat ada seorang anak yang diusir dari masjid.

Tak seharusnya anak-anak diajak terlalu serius. Pada waktunya juga mereka akan ke jenjang yang lebih serius. Saat saya kecil dulu juga pernah dikerjain oleh seorang pemuda. Waktu itu hari pertama saya mencoba puasa, kemudian tanpa sengaja saya beli dan makan biskuat. Si pemuda itu muncul menginterogasi kemudian bilang ke saya kalau saat puasa makan atau minum nanti dibakar selama-lama-lama-lamanya di neraka.

Sontak hal tersebut membuat wajah saya memerah kemudian lari ke rumah dan menangis se-edan-edannya. Pemuda itu puas. Ibu saya linglung mengapa harus menangis. Sementara bapak saya bingung mencari dalil. Dan saya membayangkan tubuh dihunus api neraka.

Debut puasa pertama saya hancur lebur hanya karena pemuda sialan itu. Mungkin cuman iseng, tetapi sikapnya benar-benar salah kaprah secara psikologi bila menempatkan anak-anak sebagai pribadi yang dewasa, sebab kebanyakan dari mereka tak memikirkan surga dan neraka.

Seperti yang sudah dijelaskan Zen RS, anak kecil itu bukan hanya tentang usia, tetapi juga perihal kepolosan, ketulusan, penuh humor, dan nyaris tanpa pretensi dalam memandang hidup, dunia, mungkin juga agama.

Baca juga:  Tanwir Aisyiyah; Bukan Soal Poligami!

Jadi amat disayangkan jika kelakuan anak-anak di bulan Ramadhan banyak dikekang oleh orang dewasa. Biarkan mereka bermain di masjid-masjid saat tarawih dan menjalankan puasa semampunya. Kekayaan anak-anak terletak pada penghayatan mereka terhadap main-main.

Demikianlah, Ramadhan bukan hanya peristiwa sebulan yang terseliup di antara bulan Sya’ban dan Syawal, tetapi juga peristiwa kebudayaan yang luar biasa. Setidaknya dalam hidup, saya pernah dan akan selalu merasakan Ramadhan menjadi peristiwa yang ditunggu-tunggu, amat menyenangkan, membahagiakan.

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar