Santri Cendekia
Home » Relative Deprivation dan Fenomena Bunuh Diri di Kalangan Akademisi

Relative Deprivation dan Fenomena Bunuh Diri di Kalangan Akademisi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Pernahkah kamu merasa pecundang di tengah tengah lingkaran pertemanan atau komunitas atau lingkungan belajar atau bahkan lingkungan kerjamu? Kamu merasa menjadi manusia paling nelangsa karena terus membandingkan diri dengan lingkaran lingkaran tersebut? Kamu menjadi depresi yang memilih untuk menyerah dan berhenti melanjutkan semua aktivitas atau pekerjaanmu di lingkungan-lingkungan tersebut?

Fenomena semacam ini, menurut Samuel Stouffer disebut sebagai fenomena “relative deprivation” (Deprivasi Relatif). Sebuah kondisi depresi yang dialami seseorang akibat merasa kalah dalam hal hal yang menjadi ekspektasi atau pencapaian lingkaran komunitas yang digelutinya.[1]

Awalnya, istilah ini dicetuskan oleh Stouffer ketika ia ditugaskan oleh Angkatan Darat AS untuk memeriksa sikap dan semangat prajurit Amerika. Saat itu yang menjadi sampel penelitiannya adalah perbandingan antara prajurit di Polisi Militer dan Korps Udara (sebelum menjadi angkatan udara) mengenai seberapa baik kesatuan mereka dalam mengenali dan menaikan pangkat orang-orang yang memiliki pengetahuan. Ternyata jawaban yang didapat adalah, Polisi Militer memandang organisasinya jauh lebih baik dibandingkan dengan Korps Udara.[1]

Padahal tingkat kenaikan pangkat Polisi Militer itu memiliki record terburuk di seantero angkatan bersenjata AS. Sedangkan peluang promosi pada Korps Udara bahkan dua kali lipat dibandingkan dengan Polisi Militer. Namun apa yang membuat prajurit Polisi Militer memiliki jawaban yang lebih positif? Karena dengan tingkat kenaikan karir yang lebih tinggi pada kesatuan Korps Udara, menimbulkan suasana kompetitif dan tekanan yang lebih tinggi. Di Polisi Militer, peristiwa lambat promosi itu biasa, ada banyak prajurit yang mengalami kenaikan tingkat yang lamabat. Sedikit potensi untuk frustasi bahkan depresi. Berbeda di Korps Udara, promosi menjadi sesuatu yang sering, sehingga ketika ada seorang atau beberapa prajurit yang telat promosi, sedangkan kebanyakan rekannya sudah promosi, itu rentan menimbulkan depresi bagi prajurit yang telat promosi. Begitulah cara kerja deprivasi relatif, ketika kita menempatkan level dan reputasi kita di lingkungan “lokal” kita, alih alih menempatkan diri kita terhadap lingkungan “global”. Kisah ini bisa dibaca lebih rinci dan lengkap pada buku Malcolm Gladwell yang berjudu “David & Goliath”[1]

Baca juga:  Perang Lawan Covid-19: Ini Badar dan Khandaq, Bukan Uhud

Kamu cerdas, nilai raportmu rata rata 9. Sangat mungkin kamu merasa bodoh dan depresi ketika kamu berada di sebuah kelas yang memiliki murid dengan rata rata nilai 9,5. Setelah kami merasa  bodoh, mentalmu perlahan hancur, kamu depresi, hingga akhirnya semua perasaan negatifmu benar benar terejawantah dalam hidupmu.

Kamu seorang karyawan sebuah perusahaan swasta. Gajimu 15 juta. Sayang sekali kamu bergaul dengan orang orang yang memiliki penghasilan 20 juta ke atas. Akhirnya kamu merasa miskin, hidup tak berpihak, kamu habiskan hari hari dengan menggerutu. Bahkan kamu mulai gelap mata dan mencari sumber sumber yang syubhat bahkan haram untuk mengobati depresimu karena gajimu yang tak sebesar gaji orang-orang di lingkungan kerjamu. Ini juga yang mungkin menjadi sebab mengapa masih ada saja pejabat negara yang doyan korupsi padahal gaji sudah cukup besar, hehe

Jika kamu membiarkan dirimu berlarut larut dalam genangan sugesti negatif seperti “kamu bodoh”, “kamu miskin”, “kamu payah”, “kamu gagal”, sangat mungkin kamu menjadi depresi.

Seperti berita yang sedang beredar, dikatakan bahwa telah dilakukan survey terhadap mahasiswa semester 1 di sebuah perguruan tinggi di bandung, dan didapatkan 20% diantaranya pernah berpikir untuk bunuh diri. Dan 6% pernah melakukan percobaan bunuh diri. Semua berangkat dari rasa depresi yang terpelihara. [2]

Bagaimana menanggapi dan menyiapkan solusi untuk fenomena semacam ini?

Yang jelas, Pertama, dalam islam bunuh diri itu dosa besar dan diancam neraka jahannam. Maka bagi orang beriman, bunuh diri bukan solusi. Menyelesaikan masalah dengan masalah yang jauh lebih besar dan bahkan tak ada solusi lagi.

مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فيِ نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيْهَا خَالِدًا مُخْلِدًا فِيْهَا أَبَدًا

Baca juga:  Dilema Sidang Isbat di Tengah Wabah Corona

Orang yang melempar tubuhnya dari atas gunung, berarti dia melempar dirinya masuk ke dalam neraka jahanam, kekal untuk selama-lamanya. (HR. Bukhari)

Yang kedua, di dalam penutup surat Al insyirah, dikatakan “Fainna ma’al ‘usri yusron, inna ma’al ‘usri yusron” (Maka sungguh bersama kesulitan ada kemudahan, sungguh bersama kesulitan ada kemudahan).  Kesulitan (Al-‘usro) di sini dihadirkan dalam bentuk isim ma’rifah, sedangkan kata kemudahan (yusron) dihadirkan dalam bentuk isim nakiroh Di dalam kita mabahits fi ulumil qur’an karangan Syaikh Manna Al Qathan;

  1. Jika ada pengulangan kata isim ma’rifah sebanyak dua kali, maka pada umumnya isim ma’rifah yang kedua itu adalah yang pertama.
  2. Sedang jika ada pengulangan kata isim nakiroh sebanyak dua kali, maka isim nakiroh yang kedua biasanya tidak sama dengan isim nakiroh yang pertama.

Itu mengapa menurut Ibnu Abbas, “satu ‘usr (kesulitan) tidak akan mengalahkan  dua yusr (kemudahan). Karena kara ‘usr yang kedua adalah yang pertama. Sedangkan kata yusr yang kedua bukan yusr yang pertama. Singkatnya, untuk setiap satu kesulitan, pasti ada lebih dari satu kemudahan [3]

Yang ketiga, di dalam surat Al Baqarah ayat 153, orang beriman diperintahkan minta pertolongan dengan sabar, baru selanjutnya salat. Sabar itu adalah perbuatan yang sekilas terlihat pasif-defensif, namun bisa mendatangkan pertolongan Allah. Karena pertolongan Allah tak mungkin datang dengan tindakan gelap mata yang nir-akal.

Yang kempat, rajin rajin keluar dari lingkaran komunitasmu untuk melihat dunia luar. Di luar sana masih banyak kok orang yang tidak secerdas kamu dan tidak seberuntung kamu dan hidup mereka baik baik saja. Mengapa kamu merasa hancur?

Ingat pesan Rasulullah,

انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

Baca juga:  Umat Butuh Tauhidnya Ibrahim dan Ismail

Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga bermanfaat bagi muslimin dan muslimat yang sekarang tengah depresi.

Allahu a’lam Bishshawab

Referensi:

[1] “David & Goliath”, Malcolm Gladwell’

[2]https://bandung.kompas.com/read/2019/10/12/19563181/20-persen-mahasiswa-di-bandung-berpikir-serius-untuk-bunuh-diri?page=all

[3] “Mabahits fii ‘Ulumil Qur’an” versi terjemah Pustaka Kautsar, Syaikh Manna Al Qathan

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar