Santri Cendekia
Home » Relevankah Aktivisme Publik bagi Mahasiswa?

Relevankah Aktivisme Publik bagi Mahasiswa?

Pandemi COVID-19 yang kemudian memunculkan ragam persoalan dan kesulitan yang terutama dihadapi oleh Tenaga Kesehatan dan kalangan rentan, telah memantik empati dan partisipasi publik yang besar untuk ikut berkontribusi menyelesaikan masalah. Penggalangan dana tak hanya dilakukan lembaga sosial atau filantropi dan organisasi besar saja, tapi mulai dari public figure, kampus, perseorangan hingga alumni satu angkatan.

Munculnya keterlibatan besar publik untuk ikut berkontribusi menyelesaikan persoalan bersama, atau kalau boleh saya sebut dengan aktivisme publik, membuat saya menyadari bahwa lanskap aktivisme telah banyak berubah.

Hari ini persoalan wadah bergerak nampaknya bukan hal yang terlalu penting. Ia kadang tidak menentukan besar kecilnya output, atau kalau kita sederhanakan di momen pandemi ini ialah nominal donasi. Bergerak sendiri menggalang donasi, bahkan bisa mengumpulkan nominal lebih banyak ketimbang bergerak bergerombol atas nama organisasi.

Contoh yang saya lihat sendiri, misalkan penggalangan dana yang dilakukan oleh organisasi tempat saya masih aktif terlibat, ternyata jumlahnya tidak lebih banyak dari yang mampu dikumpulkan oleh adik saya atas nama pribadi. Padahal organisasi ini adalah organisasi yang relatif besar dengan ratusan ribu kader dan ada ribuan kampus di seluruh Indonesia.

Sementara adik saya tidak pernah mendaku aktivis, tidak pernah terlibat dalam kaderisasi dan ideologisasi organisasi tertentu, tidak pernah ikut demonstrasi alias mahasiswa biasa. Tapi dengan kemampuannya menggambar, ia membuatkan ilustrasi berbayar dan 100% hasilnya ia donasikan melalui platform donasi online. Siang malam ia ikhlas menghadap layar laptop menggambar, dan tak sampai sepekan belasan juta bisa ia kumpulkan.

Saya jadi berfikir, dalam konteks ini, doktrin doktrin organisasi bahwa bergerak bersama dalam SATU WADAH dapat memperbesar dan melipatgandakan dampak menjadi tidak relevan. Apalagi organisasi yang katanya mampu menyatukan visi sehingga bisa sama-sama bergerak, ternyata bisa kalah dengan gerakan perseorangan.

Baca juga:  Menguji Keseriusan Ikhtiar Muhammadiyah dalam Membela Palestina

Bicara visi, mewadahinya dalam sebuah wadah organisasi dan struktural ternyata tidak selalu ampuh digunakan sebagai sarana dalam bergerak. Sementara hari ini ternyata kolektifitas lebih ampuh menyatukan banyak pihak menjadi satu visi dan satu gerak. Tanpa sekat tertentu publik bergerak massif berbuat apa yang mereka mampu. Para seniman menampilkan karyanya sepeti bermusik atau bahkan ada yang melakukan hal yang tidak masuk akal seperti membaca KBBI sampai khatam, untuk menarik perhatian publik lalu kemudian mengkonversinya menjadi donasi.

Ah tapi kan gerakan ini musiman dan sporadis, mungkin begitu pikir kita. Tapi justru yang sporadis dan musiman ini yang bisa kita jadikan tumpuan harapan, karena ia susah untuk dikangkangi kepentingan tertentu, terlalu sulit bagi para pembajak untuk berkepentingan dalam gerakan publik yang massif seperti ini. Berbeda dengan organisasi yang katanya lebih terstruktur dan bersifat permanen. Membajak organisasi jauh lebib mudah, tembak jenderal bubar pasukan. Berkompetisi, berkontestasi untuk jadi pucuk pimpinan, selesai urusan.

Maka tak heran organisasi, banyak yang terlena dan terlalu sibuk saling rebut pengaruh dan jabatan. Belum lagi, organisasi memunculkan “kasta” tersendiri, baik jenjang kaderisasi maupun struktur organisasi, seolah anggota biasa tak bisa lebih punya pengaruh dibanding Ketua. Persoalan per-Ketua-Ketua-an ini bahkan sampai bisa bikin ribut organisasi dalam kongres-kongresan, lalu memecah organisasi jadi dua kubu karena semua calon mau jadi ketua dan tidak mau kalah.

Maka aktivisme yang dimunculkan ialah aktivisme delusional, hobi pencitraan, jadi megalomania, tampilkan foto diri dan pimpinan dalam tiap poster publikasi jadi kewajiban, padahal tidak banyak memberi dampak dan jawaban atas ragam persoalan, so yesterday. Sementara hari ini, publik makin sadar untuk bergerak dan berkontribusi, yang berorientasi pada dampak dan output, bukan jabatan apalagi kebesaran nama pribadi dan organisasi, aktivisme publik ini mampu bergerak tanpa kasta dan berjuang tanpa nama.

Baca juga:  Demonologi Islam: Apa, Siapa, dan Bagaimana?

Menggunakan organisasi dalam bergerak, bisa jadi ampuh, bak menggunakan kendaran, jika mampu menggunakan infrastruktur organisasi tersebut dengan baik, mampu memanaskan mesin dan menyelaraskan komponen. Namun persoalannya hal demikian tidak efektif dan terlalu ribet bagi kebanyakan generasi hari ini. Harus mencapai konsensus terlebih dahulu agar selaras, jika punya inisiatif sendiri dan bergerak terlalu progresif dalam wadah organisasi akan méntal sebab ruang gerak yang telah diplot batasannya atas nama posisi dan tupoksi.

Jika overlapping siap-siap kena sikut dan sindir kanan kiri. Belum lagi orientasi untuk menciptakan kebermanfaatan, akan terkaburkan oleh kesibukan merekrut anggota, mengelola pengurus, mengurus administrasi, mencari dana, menjalankan agenda-agenda yang kebanyakan seremonial dan seterusnya.

Jadi buat adik-adikku, anak anak yang tumbuh di zaman ini, wes ga usah meribetkan diri gabung organisasi atau ikut ideologisasi, jangan kuatir juga kalau nanti mau kerja ditanya riwayat organisasi, lanskap sedang berubah, yang penting dan akan ditanya bukan lagi menjabat sebagai apa dan di organisasi mana, tapi gerakan apa yang sudah kalian lakukan, pengaruh dan kebermanfaatan apa yang telah kalian ciptakan. Bagaimana dengan urusan bekal ilmu, pemahaman sampai guru dan mentor? atau mungkin relasi dan jaringan? itu bisa dicari sendiri, santai aja.

Boleh setuju, boleh tidak

Ahmad Jilul Qurani Farid

Hamba Allah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar