Santri Cendekia
Home » Rihlah Ilmiah Syaikh Yusuf al-Makassari dan Dedikasinya Terhadap Islam (2)

Rihlah Ilmiah Syaikh Yusuf al-Makassari dan Dedikasinya Terhadap Islam (2)

Sumber gambar: tirto.id
source: tirto.id

Oleh: Edy Masnur Rahman*

Sebelumnya: Rihlah Ilmiah Syaikh Yusuf al-Makassari dan Dedikasinya Terhadap Islam (1)

Dedikasinya dalam Pengasingan oleh Belanda

Kepulangan Syekh Yusuf ke Nusantara tidak begitu jelas waktunya , Hamid dan Van Bruinessen masing-masing menyatakan bahwa kepulangan Syekh Yusuf pada tahun 1075/1664 dan 1083/1672. Prof. Azyumardi Azra mengatakan bahwa beliau tidak dapat memastikan pendapat mana yang benar diantara keduanya karena sumber-sumber lain tidak memberitahukan tahun kedatangannya. Adapula pertentangan pendapat mengenai apakah al-Makassari kembali langsung ke tanah kelahirannya, Gowa, atau pergi dahulu ke Banten.

Kelompok pertama seperti Hamka, Amansyah, Mattulada, dan Perlas menyatakan bahwa al-Makassari mula-mula kembali ke Sulawesi Selatan kemudian ke Banten. Sebaliknya dengan kelompok kedua, Hamid, Labbakang, dan Bangor percaya bahwa al-Makassari menetap di Banten setelah kembali ke Nusantara dan tidak kembali ke Gowa. Diantara kedua pendapat ini Prof. Azyumardi Azra lebih condong kepada pendapat yang kedua dengan menyatakan bahwa kemungkinan Syekh Yusuf langsung menuju ke Banten bukan ke Gowa, dan Syekh Yusuf mungkin merencanakan singgah lebih dahulu ke Banten sebelum kembali ke tanah kelahirannya, namun perkembangan selanjutnya mendorong merubah pikirannya.

Di Banten, Syekh Yusuf dinikahkan dengan putri Sultan Ageng Tirtayasa (Abdul Fattah) yang dahulu menjadi sahabatnya sebelum berangkat ke Timur Tengah, maka terjalinlah hubungan yang lebih dekat antar keduanya dan menjadi alasan Syekh Yusuf sulit kembali ke tanah kelahirannya. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan musuh sengit Belanda. Beliau juga adalah orang yang sangat taat dalam beragama serta menaruh minat khusus pada agama. Oleh karena itu, beliau menjadikan Banten sebagai tempat perlindungan yang aman bagi para pejuang yang bertujuan mengusir Belanda dan juga benteng penghalang perluasan wilayah Belanda di Nusantara.

Baca juga:  Lagu  Aisyiyah di Tengah “Gempuran” Netizen

Awal mula perpecahan yang terjadi di Kesultanan Banten ialah ketika Sultan Ageng Tirtayasa dan anaknya yang bernama Abdul Qahhar terjadi pertentangan karena masalah penerus tahta yang dimana Abdul Qahhar tidak rela saudaranya Pangeran Purbaya yang akan diangkat menjadi Putra Mahkota. Maka Sultan Ageng Tirtayasa mengembalikan kedudukan Abdul Qahhar sebagai Putra Mahkota. Namun keputusan itu adalah suatu kekeliruan karena Abdul Qahhar menjadikan kedudukannya untuk merangkul Belanda yang menjadi musuh dari ayahnya. Kemudian Sultan Ageng Tirtayasa dipaksa untuk mengundurkan diri dari takhtanya, tetapi Sultan Ageng Tirtayasa menolak dan mengumpulkan pasukannya dan terjadilah perang saudara.

Syekh Yusuf memilih bergabung dengan Sultan Ageng Tirtayasa dalam melakukan perlawanan dipihak lain Abdul Qahhar mendapatkan bantuan dari Belanda dan akhirnya Sultan Ageng ditangkap dan dibuang ke Batavia lalu meninggal dunia. Adapun Syekh Yusuf tetap melakukan perlawanan hingga akhirnya beliau dan pasukannya dikalahkan karena tipu daya busuk yang digunakan oleh belanda yaitu dengan menyamar sebagai seorang muslim dan berhasil menyusup dan menangkap Syekh Yusuf, maka dengan tertangkapnya beliau berakhir pula perang Banten. Kabar tentang penangkapan beliau tersebar luas ke seluruh Batavia, beliau kemudian dielu-elukan sebagai pahlawan besar. Itulah yang membuat Belanda khawatir akan bangkitnya ummat Islam untuk membebaskannya lalu beliau diasingkan ke Sri Langka bersama dua istrinya, beberpa anak, dan 12 murid, serta sejumlah pelayan perempuan.

Di Sri langka, beliau menjadi seorang tokoh ulama yang sangat berpengaruh, di sini pula beliau kembali mencurahkan tenaganya terutama dalam menulis karangannya. Sebagian besar karya beliau diselesaikan ketika pengasingannya di Ceylon. Disamping itu beliau juga mengadakan persahabatan dengan para ulama-ulama India, sebagian karyanya ditulis untuk memenuhi permintaan kawannya yaitu Ibrahim Minhan (Ulama India). Di tempat ini juga para jemaah haji Melayu-Indonesia menjadikannya sebagai transit perjalannanya menuju atau kembali dari Haramayn. Hubungan mereka dan syekh Yusuf sangatlah erat ini tergambar dengan banyaknya karangan beliau yang dibawa ke Nusantara untuk dikaji oleh para ulama Nusantara lainnya.

Baca juga:  Sekali lagi, Perempuan Haid tidak boleh Puasa!

Mengingat hubungan beliau demikian luas, maka Belanda memutuskan untuk mengasingkannya ke tempat yang lebih jauh lagi, yaitu ke Afrika Selatan yang usia beliau saat itu 68 tahun. Bagi orang Melayu Tanjung Harapan merupakan tempat buangan yang paling dikenal keburukannya. Pada masa ini kebanyakan manusia ketika telah tertimpa begitu banyak masalah atau cobaan, semuanya berputus asa dan tidak jarang melakukan hal-hal yang dilaknat oleh Allah SWT. Berbeda dengan Syekh Yusuf, beliau dengan keikhlasannya dan perjuangan akan dakwah Islam menjadikan beliau sebagai peletak dasar kehadiran umat Islam di Afrika Selatan. Beliau tiba di Tanjung Harapan Pada 2 April 1964, dua bulan kemudian beliau dipindahkan ke daerah Zandvliet.

Di tempat itu beliau membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dengan menguatkan aqidah dan alaman-amalan keagamaan serta menyelenggarakan kegiantan-kegiatan pengajaran dan ibadah di pondok-pondok yang mereka bangun demi melestarikan ajaran Islam, tidak sampai di situ banyak pula yang menjadi muallaf baru. Metode yang paling utama yang digunakan dalam membangun masyarakat Islam ialah mempertahankan dan membina keyakinan Islam, hingga suatu ketika seorang pendeta dari Gereja Belanda Tua Cape Town yang bernama Petrus Kalden yang ditugaskan untuk melakukan kristenisasi terhadap seluruh budak muslim yang ada di Tanjung Harapan, namun gagal menjalankan misinya tersebut. Oleh karena dedikasi beliau terhadap Islam di Afrika Selatan menimbulkan hubungan sejarah dengan para pengikutnya wilayah tempat pengasingan beliau dikenal sebagai Macassar dan pantainya disebut Pantai Macassar.

Syekh Yusuf al-Makassari putra asli Sulawesi Selatan berkulit Tropis itu telah menjadi kebanggaan Islam pada masa kini. Beliau bukan lagi sekedar milik orang Bugis di Sulawesi Selatan, atau milik masyarakat Islam di Afrika Selatan dan Ceylon, tetapi beliau telah tercatat sebagai pejuang kemanusiaan oleh Nelson Mandella (Presiden Afrika Selatan) pada tahun 1994, dan sebagai pahlawan Nasional dan pejuang kemerdekaan oleh Soeharto (Presiden RI) bulan Novenber 1995. Pada masa hidupnya sampai sekarang, Syekh Yusuf al-Makassari dikenal pada empat negeri, yaitu Kesultanan Banten (Jawa Barat), Tanah Bugis (Sulawesi Selatan), Caylon (Sri Lagka) dan Cape Town (Afrika Selatan). Beliau juga adalah peletak dasar kehadiran komunitas Muslim di Caylon dan Afrika Selatan. Malah beliau dianggap sebagai bapak pada beberapa kumpulan masyarakat Islam di Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan paham adanya perbedaan kulit dan etnis.

Baca juga:  Pikiran yang Berganti Kiblat

Sumber Bacaan:

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia Edisi Perenial, Jakarta: Kencana, 2018.

St. Rahmatiah, “Gerakan Dakwah Syekh Yusuf Al-Makassari”, Sulesana, Vol. 13 No. 1 Tahun 2019.

https://santricendekia.com/para-ulama-yang-dibuang/ diakses pada tanggal 25 Januari 2020 pukul 14.32 WIB.

*Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Edy Masnur Rahman

Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar