Santri Cendekia
Home » Sa’ad dan Thufail, Pemimpin Penuh Hidayah

Sa’ad dan Thufail, Pemimpin Penuh Hidayah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

            “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanya tentang yang kepemimpinannya” (HR. Bukhari). Sungguh jika seluruh pemimpin bisa benar-benar memahami dan mengamalkan hadist ini, pastilah tidak akan terjadi kecuali keadilan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Karena tidak mungkin orang yang beriman dan takut kepada Allah maupun hari akhir menjadikan kepemimpinan sebagai ajang menyalurkan hawa nafsu dan ambisi pribadinya. Apalagi jika digunakan untuk menzalimi orang-orang yang ada di bawah kepemimpinannya.

            Tentu banyak kisah yang berkilauan dari para sahabat-sahabat Rasulullah soal kepemimpinan ini, terlebih lagi jika kita bercerita soal kepemimpinan khulafaur rasyidin. Namun kali ini penulis ingin mengangkat dua kisah pemuka kaumnya, yang benar-benar meanfaatkan kekuasaannya di jalan Allah. Tak cinta terhadap ketenaran dan tak peduli tentang kepentingan Pribadi. Yang mereka tahu, bahwa amanah kepemimpinan maupun kekuasaan harus mereka manfaatkan sebaik mungkin untuk memperjuangkan dan mendakwahkan agama Allah ‘azza wa jalla.

            Adalah Saad bin Mu’adz, seorang pemuka kaum Bani Abdil Asyhal yang berasal dari Suku Aus. Beliau adalah seorang Anshar dan sahabat mulia yang masuk islam di tangan sahabat mulia juga, Mush’ab bin Umair ra di tahun 12 kenabian. Ketika masuk islam, usianya masih tergolong muda, sekitar 31 tahun. Beliau diangkat menjadi pemimpin kaumnya setelah banyak generasi tua yang tewas di perang terbesar yang terjadi antara kaum Aus dan Khazraj, yaitu perang bu’ats, di tahun 11 kenabian. Berarti beliau diangkat menjadi pemimpin di usia 30 atau 29 tahun. Usia yang masih tergolong sangat muda untuk menjadi pemimpin kaum. Namun usia muda tak membuat kepemimpinannya menjadi melempem dan payah, ini bisa kita ketahui dari kisah luar biasa yang akan kita dengar sebentar lagi.

Baca juga:  Sabar dan Saling Menjaga Kesabaran! (Ali-Imran : 200 part 1)

            Setelah masuk islam, Sa’ad bin Mu’adz pun mendatangi kaumnya dan berkata, “Wahai Bani Abdu Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukan di sisi kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemuka kami, orang yang paling bagus pandangannya, dan paling lurus tabiatnya”. Lalu Saad mengucapkan kalimat yang luar biasa, yang menunjukkan begitu besarnya wibawanya di sisi kaumnya dan begitu kuatnya pengaruhnya bagi mereka, Saad berkata, “Haram bagi laki-laki dan perempuan di antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!”. Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman kecuali Ushairim, ia beriman saat tiba Perang Uhud, belum pernah sujud namun ia syahid di jalan Allah dalam perang tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Ushairim, “Dia beramal sedikit, namun mendapat ganjaran yang sangat banyak”. [1]

         Yang kedua, adalah Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi ra. Beliau adalah kepala kabilah Daus di masa jahiliyah, salah seorang pemuka orang-orang Arab yang berkedudukan tinggi, satu dari para pemilik muru’ah yang diperhitungkan orang banyak.

        Suatu ketika setelah di masa kenabian, Thufail datang ke makkah untuk melakukan Haji dan berthawaf di ka’bah, namun orang-orang Quraisy menakut-nakuti beliau dan memberi peringatan agar beliau jangan sampai mendekati atau mendengar bacaan Al-Qur’an karena orang-orang quraisy memberi tahu kepada beliau bahwa itu adalah perkataan-perkataan sihir yang dapat memisahkan antar keluarga. Akhirnya Thufail bin Amr berthawaf sambil menutup kupingnya dengan kapas.

        Namun kehendak Allah berkata lain, ketika beliau sedang berthawaf dan berada di posisi terdekat dengan Rasulullah, kapas penutup telinga beliau pun terjatuh dan beliau bisa mendengar bacaan ayat-ayat Al-Qur’an dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun berkata kepada dirinya “Celaka kamu wahai Thufail, sesungguhnya kamu adalah laki-laki penyair yang cerdas, kamu mengetahui yang baik dan yang buruk, apa yang menghalangimu untuk mendengar ucapan laki-laki ini? Jika apa yang dia bawa itu baik, maka kamu harus menerimanya, jika buruk maka kamu harus membuangnya.”

Baca juga:  Tepatkah Kedaruratan sebagai Alasan Vaksinasi?

          Lalu Thufail mengikuti Rasulullah hingga ke rumahnya, berbicara dengan Rasulullah dan masuk islam. Thufail tinggal beberapa saat untuk mempelajari islam, dan akhirnya kembali kepada keluarganya dan kaumnya untuk menyeru mereka kepada islam. Rasulullah juga mendoakan beliau agar beliau diberi tanda kebenaran oleh Allah ‘azza wa jalla berupa cahaya yang muncul di keningnya, dan akhirnya berpindah di ujung cemetinya. Beliau pun berdakwah di tengah-tengah kaumnya.

         Namun di dakwahnya yang pertama, Thufail hanya berhasil mengajak keluarganya dan seorang Abu Hurairah ra saja dari kaumnya. Akhirnya Thufail kembali kepada Rasulullah bersama dengan Abu Hurairah ra, yang kelak akan menjadi penghafal hadis paling banyak dari golongan sahabat. Rasulullah mendoakan hidayah bagi kaumnya, dan Thufail pun kembali berdakwah kepada kaumnya. Akhirnya, setelah perang Khandaq, Thufail dan 80 orang kaumnya pun datang ke madinah untuk menyatakan keislaman mereka.[1]

       Beginilah seharusnya pemimpin, menggunakan otoritas dan kekuasaannya di jalan Allah. Sa’ad bin Mu’adz dan Thufail bin Amru sudah memberikan gambaran keteladanan yang jelas kepada kita. Mereka mengajak kaum yang dipimpinnya untuk memeluk agama islam.

     Tidak seperti mayoritas orang yang mengejar dan berjabatan di negeri ini sekarang. Alih-alih ingin mengajak orang ke jalan Allah, malah hendak mensekulerisasi negaranya. Hendak meletakan Allah di “pojok” panggung perhelatan kenegaraan, ‘mengencingi’ syariat, dan menjadikan umat islam yang mayoritas seolah kaum marginal yang perlu dimusuhi dan diperangi idealisme islamnya yang ‘kaffah’. Binasa sungguh binasa! Binasa kelak para pemangku jabatan picik yang seperti itu!

      Begitupun di dunia perkantoran misalnya, tak usah jauh-jauh hendak mengislamkan orang. Cukup saja kita berusaha agar jabatan dan power kita bisa membuat orang-orang yang ada di bawah kita semakin baik dalam berislam, tak tenggelam oleh kesibukan dunia, menjadi inspirasi bahwa jabatan tinggi kita tak justru menjadikan kita makin cinta dan haus terhadap dunia, memperjuangkan agenda-agenda ta’lim dan keagamaan islam. Jangan sampai jabatan makin tinggi, malah makin tak ada gunanya untuk islam karena makin banyak kepentingan dan tekanan yang merasuk ke hati kita. Bahkan untuk menjaga agar agenda-agenda kantor tak menabrak waktu salat wajib 5 waktu saja kita tak bisa. Aduhai apa gunanya jabatan tinggi kita di hadapan-Nya?

Baca juga:  Adab sebagai Pemimpin dan sebagai Umat Rasulullah

 

Allahu a’lam bishshawab

 

Referensi :

[1] Ar-Rahiqul Makhtum Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury.

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar