Santri Cendekia
Home » Sains Diangkat dan Dihujat

Sains Diangkat dan Dihujat

Covid-19 menjadi pemicu polemik sains dan saintisme di tanah air. Mari kita urai masalahnya

Oleh: Dr. Syamsuddin Arif*

Wabah penyakit Covid-19 tidak hanya mengganggu perekonomian banyak orang tetapi juga menggoyang pemikiran dan keyakinan orang tentang sains dan agama. Memperta- nyakan kembali yang selama ini dielu-elukan sebagai capaian tertinggi dan terbaik manusia modern, yaitu sains. Menggugat kepercayaan umat beragama yang masih berharap kepada Tuhan. Silang pendapat muncul tatkala Goenawan Mohamad menyatakan bahwa “sains seperti halnya kesenian –dunia yang lebih ia kenal– bukanlah sebuah bidang kerja atau keahlian yang harus disikapi dengan khidmat, melainkan dengan kritis.”

Menurutnya, seorang Albert Einstein pun tidak mengagungkan sains yang “memang tidak perlu di-glorify” karena ada hal- hal lain yang lebih rumit yang tidak bisa dipecahkan oleh sains. Pandangan yang terkesan pesimistik ini telah memantik perdebatan seru di jagat media sosial. Saya ikut menyimak pelbagai pendapat dan argumentasi yang dilontarkan oleh sejumlah penanggap (AS Laksana, Ulil Abshar Abdalla, Nirwan Arsuka, Taufiqurrahman, Lukas Luwarso, Fransisco Budi Hardiman, dan Budhy Munawar-Rachman).

Istilah Sains

Pertama-tama mesti kita sepakati dulu apa itu sains. Meski tidak ada definisi tunggal untuk sains, para saintis maupun sejarawan dan filosof sains masa kini umumnya sepakat bahwa sains adalah upaya manusiawi (bukan upaya binatang, jin atau malaikat) dalam meneliti, memahami dan menjelaskan alam dengan segala isinya. Pengertian ini selaras dengan definisi yang diberikan oleh Richard Olson, bahwa sains merupakan sejumlah kegiatan dan kebiasaan akal manusia dalam rangka membangun pengetahuan yang rapi sistematis, valid, dan dapat diuji kebenarannya, mengenai berbagai fenomena yang ada di alam ini (a set of activities and habits of mind aimed at contributing to an organized, universally valid, and testable body of knowledge about phenomena).

Memang, pada awalnya, istilah sains –sejak Abad Pertengahan– dipakai secara umum untuk segala macam pengetahuan. Dari bahasa Latin scio, scire, scientia (aku tahu, mengetahui), sains berarti pengetahuan tentang apapun oleh siapapun dengan cara apapun. Tak meng- herankan jika kitab metafisika Ibn Sina yang berjudul Ilahiyyat (‘Masalah-masalah Ketu- hanan’) diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi Scientia Divina (‘Sains Ketuhanan’). Maka sebenarnya tidak salah apabila sekarang pun, misalnya, ‘ulum al-Qur’an (‘Ilmu-ilmu al- Qur’an’) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Quranic sciences. Namun, seiring dengan berjalannya waktu istilah sains berangsur-angsur mengalami pengerucutan makna (semantic reduction) dan akhirnya kini hanya dipakai untuk menunjuk ilmu-ilmu alam saja, sehingga ilmu-ilmu selain fisika, biologi, kimia, dan cabang-cabangnya (astrofisika, geofisika, thermofisika, dan lain sebagainya itu tidak lagi dianggap sains.

Baca juga:  Peran Ulama dalam Kemerdekaan Indonesia

Namun, jika istilah sains pada zaman dahulu berarti pengetahuan secara luas, lalu istilah apakah yang digunakan untuk ilmu-imu alam? Jawabnya tidak lain dan tidak bukan adalah ‘filsafat’. Itulah sebabnya mengapa karya monumental Isaac Newton dalam bidang fisika judulnya berbunyi Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica, yang artinya ‘prinsip matematika dari filsafat alam’ (1687). Jelaslah bahwa penggunaan istilah sains yang amat sempit hanya untuk ilmu-ilmu fisika, biologi, kimia dan sebagainya itu baru marak belakangan ini saja, sebagaimana istilah saintis baru digunakan secara luas pada abad ke-20: “The word ‘scientist’ was not seriously propounded before 1840 and not widely used until well into the twentieth century”. Memang benar, kurang lebih 2000 tahun lamanya istilah Yunani philosophia itu berarti ilmu pengetahuan yang dikontraskan dengan mitos ‘isapan jempol’. Sehingga yang dikritik oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah itu tak lain dan tak bukan adalah para saintis di zaman itu.

Tiga Aspek Sains

Kembali ke pernyataan Goenawan Mohamad tentang sains yang katanya perlu dihargai sekaligus dikritisi, kita dapat meniliknya dari tiga sisi, yaitu aksiologis, epistemologis, dan ontologis. Meski berhasil melakukan terobosan- terobosan baru, penemuan-penemuan, dan menghasilkan teknologi canggih yang sangat bermanfaat bagi kemajuan industri dari mulai tekstil, pangan, kesehatan dan obat-obatan hingga transportasi, telekomunkasi, energi dan militer, secara aksiologis, sains kerap menjadi sasaran kritik para cendekiawan yang ‘melek’ terhadap hal-hal buruk yang difasilitasi olehnya: aneka bencana alam dan krisis kemanusiaan berupa perusakan ekosistem, pembunuhan dengan senjata pemusnah masal, peracunan tubuh manusia dengan zat kimia, beragam penyakit mental, berbagai eksperimen tak bermoral, dan lain sebagainya.

Meminjam ungkapan Syed Naquib al-Attas, sains modern yang berkembang sejak dua kurun terakhir hingga sekarang telah ‘menimbulkan kekacauan di dalam tiga kerajaan alam sekaligus’ (has brought chaos to the three kingdoms of nature). Akibatnya, seperti dikatakan Ignatius Bambang Sugiharto, bagi manusia zaman ini, sains bukan lagi sesuatu yang sangat mengagumkan, dan kalau pun masih tersisa kekaguman, maka itu kini bercampur dengan kecemasan dan kecurigaan. Dan semakin banyak orang yang cenderung setuju dengan Goenawan Mohamad daripada AS Laksana untuk “tak memandang sains dengan mata berbinar-binar.”

Dari sisi epistemologis apa yang dikemu- kakan oleh para saintis sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai gambaran atau “model” daripada kenyataan hakiki yang ingin diterangkan. Dalam wacana filsafat sains, pandangan ini disebut “instrumentalisme” yang menekankan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat atau sarana yang berguna untuk membuat prediksi dan memecahkan masalah. Sains hanyalah cara manusia memahami segala fenomena yang terdapat di alam semesta, yang boleh jadi tepat dan bisa juga meleset. Dan ini bukan hanya berlaku bagi konsep-konsep dan teori-teori ilmiah serta rumus-rumus persamaan atau model matematis yang dibuat oleh para saintis tetapi juga bagi apa yang dinobatkan sebagai “hukum-hukum ilmiah” (scientific laws).

Baca juga:  Afi itu Nggak Liberal!

Tentu tidak berarti salah atau tak berguna, justru sebaliknya. Nalarnya cukup sederhana: it’s true because it works (terbukti benar karena berhasil) dan it works because it’s true (terbukti berhasil karena memang benar). Bagaimana jika terbukti salah, jika eksperimen gagal, jika yang diharapkan tidak muncul? Ya tinggal direvisi, dikoreksi. Itulah prinsip falsifikasi yang membedakan sains dan bukan sains, kata Karl Popper dalam bukunya, Logik der Forschung.

Pandangan yang berlawanan dengan instrumentalisme disebut “realisme.” Saya rasa pandangan inilah yang hendak dikritik dan ditolak oleh Goenawan Mohamad dan Ulil Abshar Abdalla. Apa yang diutarakan oleh AS Laksana dan Nirwan Arsuka menepati definisi mazhab realisme ini: sikap yang meyakini penjelasan para saintis tentang segala hal di alam semesta baik yang kasat mata maupun yang tidak (belief in both observable and unobservable aspects of the world described by the sciences) –teori Kopernikus bahwa bumi mengelilingi matahari, teori Darwin bahwa manusia sebagaimana spesies lain ‘muncul’ (evolved) dengan sendirinya dari proses seleksi alam, teori ‘Big Bang’, hingga teori bumi ini bulat –untuk menyebut beberapa contoh saja.

Bahwa teori-teori terbaik dalam sains luar biasa sukses dalam membantu kita membuat berbagai prediksi maupun retrodiksi, menjelaskan obyek-obyek penelitian dengan ketepatan yang mengagumkan dan melakukan rekayasa sebab-akibat yang rumit terhadap berbagai fenomena. Dalam versi A.S. Laksana: “Para saintis terus memproduksi informasi baru, dan banyak informasi yang mereka sampaikan telah menggugurkan informasi-informasi agama dan juga spekulasi filsafat.” Saya khawatir jangan-jangan keyakinan Laksana bahwa sains menyajikan “kebenaran” sedangkan agama dan filsafat menyodorkan dogma dan spekulasi belaka ini pun adalah dogma dan spekulasi yang dipeluk dengan ‘keimanan’ juga.

Aspek ketiga terkait ontologi. Mendaulat sains sebagai jalan terbaik dan tervalid untuk memahami realitas alam semesta adalah sikap yang lugu (naïve) dan keliru. Ahli fisika teoritis dari Universitas Cambridge, Profesor David Tong, mengatakan bahwa dunia ini jauh lebih sukar dimengerti dan berlawanan dengan tatapan akal kita dari apa yang selama ini dibayangkan: “the world is much more mysterious and counterintuitive than we ever really imagine it could be”. Menurutnya, apa yang tidak tampak jauh lebih banyak daripada yang bisa dicerap oleh indera dan alat-alat yang kita ciptakan. Dalam kitab suci difirmankan: “Dan Ia ciptakan apa-apa kamu tidak ketahui” (QS an-Nahl 8).

Baca juga:  Berfatwa Tanpa Ilmu

 Kesimpulan ini mengukuhkan apa yang sudah dinyatakan oleh Werner Heisenberg di abad silam melalui Prinsip Ketidakpastian (‘Principle of Uncertainty’) yang berlaku pada partikel-partikel di level sub- atomik, di mana nyaris tidak mungkin kita dapat mengamati atau mengukur posisi dan momentum suatu partikel secara bersamaan. Realitas di tingkat mikro tersebut bersifat tidak pasti (indeterminate), bergulir (fluid) dan lincah (volatile) seakan mengelak untuk diketahui, sehingga “objektivitas ilmiah seakan lenyap digantikan dengan subjektivitas pengamat. Apa yang didapat ternyata ditentukan oleh pengamat dan perangkat, dan dengan demikian keyakinan tentang objektivitas menjadi ilusi. Sebagai pengamat, kita menciptakan kenyataan, bukan mengeksplorasinya.”

Epilog

Ada tiga butir kesimpulan yang dapat kita petik dari perdebatan mengenai hakikat sains dan kedudukannya itu. Pertama, kendati berangkat dari pengamatan empiris dan sebagainya kesimpulan-kesimpulan para ilmuwan lebih bersifat dugaan (conjecture) ketimbang kepastian (certainty). Dalam konstruk epistemologi Islam, pengetahuan semacam ini disebut zhann atau sangkaan. Validitasnya hanya sedikit lebih tinggi dari keraguan dan perkiraan (wahm). Pengetahuan yang dibangun di atas teori sejenis ini tidak sampai derajat yakin. “Mereka sekadar mengikuti sangkaan belaka, padahal sangkaan itu tidak bisa menggantikan kebenaran,” firman Allah dalam al-Qur’an (53:28).

Kedua, sains sebagai penjelasan dan penafsiran terhadap fenomena sesungguhnya merupakan sebuah cerita (a story) yang belum berakhir (open-ended) dan oleh karenanya tidak perlu didogmakan atau dilindungi dari kritik.

Ketiga, tak mungkin dimungkiri bahwa ilmu- ilmu yang kini disebut sains tidak senetral yang sering dibayangkan orang, akan tetapi juga diwarnai oleh nilai-nilai dan kepentingan non- saintifik serta Weltanschauung ilmuwan bersangkutan.

*Doktor dari International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Malaysia. Ia lalu berguru kepada Hans Daiber di Orientalisches Seminar, Johann Wolfgang Goethe Universität Frankfurt, Jerman selama empat tahun. Kini Dosen Pascasarjana di Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor.

Tulisan ini pernah dimuat di KASYAF Jurnal Populer Pemikiran Ekonomi Islam, Volume 2 Tahun 2/2020. Dimuat ulang di situs ini dengan seizin penulis.

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

1 komentar

Tinggalkan komentar