Santri Cendekia
Home » Sang Batu Bara di Bumi Irian Jaya

Sang Batu Bara di Bumi Irian Jaya

Sehabis hujan, pagi digantungi pelangi ketika tanah Sorong Irian Jaya mendapat kabar menggembirakan akan datangnya sebongkah batu bara sesungguhnya. Hasil bumi melimpah di tanah Sorong bukan hal menggembirakan , toh selama ini hanya dikuras sang pemangku jabatan dan diberikan pada bangsa lain yang arogan, sementara rakyat jelata kembali disisakan relung kesengsaraan. Namun kali ini berbeda, batu bara bukan sembarang akan didatangkan dari kaki gunung Merbabu untuk menjadi sumber bumi dengan pantulan gempita teriakan Islam di segala penjuru yang tentunya telah lama mereka nanti-nantikan.

Irian jaya saat itu dan mungkin hingga kini merupakan tanah penuh obsesi bagi penjajah NKRI. Wilayahnya diperebutkan sana sini tanpa ada waktu untuk penduduknya memeluk alam apalagi menikmati malam yang begitu sempurna. Tahun 1545, Spanyol secara paksa mendeklarasikannya dengan nama Nueva Guinea. Lalu kemudian 1770, Belanda menyematkan nama Nieu Guinea sebelum nantinya ia ubah kembali menjadi Nederlands Nieu Guinea demi upaya merebutnya dari kekuasaan Inggris. Meski begitu, sempat pada Kesultanan Tidore berkancah di sebagian daerah  Indonesia Timur, ia memberikan nama Papua pada tanah yang diperebutkan itu dengan arti “Tidak Memiliki Bapak/Pemimpin”. Baru kemudian setelah Papua menjadi milik Indonesia tersebutlah dengan nama Irian Jaya, Irian berartikan “Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands”. Dan Ketika presiden Gus Dur menjabat, penduduk Irian menginginkan namanya dikembalikan pada “Papua” seperti yang pernah diberikan kesultanan Tidore kala itu.

Keos benar bumi Irian saat itu, diontang antingkan kolonialis yang haus penindasan. Namun bukan berarti tiada kebahagiaan di langit Irian. Dengan keterbatasan yang mereka punya selalu ada usaha untuk mengais nikmat Tuhan. Agama dan pendidikan menjadi dua hal yang paling dinanti oleh warga setempat, dahaganya bukan seperti keadaan kekeringan air, lebih seperti jiwa yang selalu mendaki namun tetap dipunggungi gunung, hampa.

Kehidupan harus tetap berjalan, para warga Irian tidak hanya warga asli namun juga pendatang. Sorong menjadi daerah Irian yang paling banyak manusia trans, hal ini karena letak geografisnya yang berada di paling Barat Papua. Menjadikan setiap transmigran singgah dan mencari kehidupan di dalamnya. Tidak salah Belanda sempat menamai Sorong sebagai kota minyak, karena melimpahnya hasil bumi minyak yang tiada henti hingga saat ini.

Tidak semua hal yang diusahakan di tanah Irian menjadi sesuatu, banyak pula transmigran menyerah melihat hasil panennya yang gagal total karena tanah yang tidak berkawan atau banyaknya hama yang memakan. Mereka pulang ke tanah kelahiran dengan senyum pahit setelah gagal di tanah orang. Kira-kira mampukah seseorang untuk mengabdi di tanah terjal ini? Jika makhluk tanpa jiwa seperti tanaman saja menolak untuk berbuah, apalagi manusia?

Malam separuh kabut, di kaki gunung Merbabu sebelah barat Boyolali Jawa Tengah

Bagaimana perasaanmu kala itu wahai hamba Allah yang penuh dengan kerapuhan jiwa? Namanya Nursono Sidiq, asli putra Jawa tanpa campuran. Lahir pada tanggal 2 Juli 1963 di Sukoharjo. Ikatan Dinas yang memberimu beasiswa pendidikan S1 beberapa tahun lalu menetapkan kau akan mengabdi di daerah terpencil Indonesia Timur yang berjarak ribuan pulau dari tanah Jawa. Saat itu kau sudah menjadi kepala keluarga dari istri tercinta yang tengah mengandung buah hatimu yang kedua. Hampir tidak percaya, ingin segera kau pacu tungkai kakimu berlari sekencang mungkin dan kemudian roboh. Tidak mungkin lari karena jelas ini sebuah tanggung jawab dan kewajiban sebagai seorang penerima beasiswa.

Segera setelah buah hati kedua lahir, kau bersiap berangkat menuju kota pengabdian Sorong, Papua. Istri dan anak dititipkan pada Allah di tempat orang tuamu. Berharap perjuanganmu untuk berdakwah akan menjadikan keluarga kecilmu pun di jaga-Nya siang dan malam. 18 April 1990 bulan Ramadhan, bermodalkan uang seadanya berangkat menuju Surabaya dan sempat singgah di rumah salah satu wali murid tempat mengajar dulu di Sukoharjo lalu kemudian menaiki kapal selama 8 setengah jam hingga akhirnya tiba di Sorong. Penuh syukur rupanya warga setempat menjemputmu dengan mobil dan memboyong ke tempat penginapan sementara.

Foto sesaat sampai di Papua

Selamat datang hamba Allah yang ditakdirkanNya untuk bertutur kehidupan dan keilmuan pada salah satu belahan bumi nusantara-Nya.. Siapa yang pernah menyangka kakimu kini sudah berpijak di tanah Papua. Tanah yang selama ini tidak pernah kau dengar pekiknya untuk sekedar dirindukan. Tempat yang selama ini bayangnya saja tidak pernah kau temukan cahayanya, apalagi untuk menghalangi cahayanya. Tapi kau adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan citra-Nya bukan? Sehingga keimanan dan ketaqwaanmu pasti akan menuntunmu hingga babak penuntasan.

Pagi sekali di tanah rantauan, Nursono sudah mudah saja mendapatkan teman baru, kebanyakan malah sama pendatang. Muslim pun tidak jarang, meski Manokwari terkenal dengan sebutan kota Injil nyatanya Islam subur di tanah ini. Bahkan muslimah di Sorong tidak sedikit yang sudah mengenakan jilbab dan tidak mendapatkan perlawanan dari warga setempat atau agama lain yang penting bisa membawa diri. Semuanya hidup berdampingan tanpa ada caci, yang penting dapat tetap hidup memberi amunisi perut dan tabu tentang toleransi-intoleransi. Cukup dengan tidak mengganggu sesama warga adalah perwujudan toleransi yang selama ini mereka yakini.

Nursono tinggal untuk sementara di jalan Rajawali no. 27 Remu-Sorong. Segala rasamu sejak pertama menapaki kota Sorong ditumpahkan dalam setiap lembaran yang kau kirimkan pada istri tercinta di Jawa. Katamu, hidup di tanah rantau tidak ada yang berat selain berpisah jauh dari keluarga. Arti, panggilan sayangmu kepada istri tercinta yang memang menjadi pembingkai arti keberadaanmu di dunia; Ma-inn dan Aqid dua pasang bola mata yang binarnya selalu terbayang dalam tiap relung hidupmu; dan keluarga besarmu Ayah, Ibu serta adik-adik yang akan selalu menyita perhatian dan kasih sayangmu meski nun jauh di sana. Seluruhnya menjadi titik lemah sekaligus kekuatan yang akan selalu berdiri sebagai tujuan mengapa kau berada di tempat ini sekarang.

Awal perjuangan baru saja dimulai, hari selanjutnya Nursono menghadap Kepala Sekolah STM yang nantinya ia akan ajar. Ternyata dia orang Jogja dan sesama muslim. Obrolan terjalin dan tidak ada yang mengganjal, semuanya memantik semangat untuk mulai berkiprah. Rencananya, Nursono akan pindah ke Panti Asuhan Km. 19 yang berlokasi sejalur dengan STM. Menurut keterangan, nantinya di sana akan dibangun pondok pesantren. Hatimu berdegup, akan ada ladang dakwah sekali lagi di sekitarmu, sungguh Maha Besar Allah dengan segala rencanaNya. Lagi-lagi yang kau pikirkan adalah amal shaleh.

Foto bersama guru-guru STM

Genap sudah 1 bulan di Sorong, genap pula puasa Ramadhanmu di tahun ini. Idul Fitri tiba, tanpa sanak dan keluarga. Berat sekali rasanya, hingga kau ayun kaki mengunjungi banyak tetangga agar lupa sesaknya dada karena ragamu yang perih di tengah hari kemenangan. Penasaran Arti masak apa, Ma-in dan Aqid sudah bisa apa, Ayah dan Ibu sehat atau tidak. Rasanya lama sekali menunggu 15 hari hingga balasan surat dari Jawa datang, satu minggu perjalanan dari Sorong-Boyolali dan satu minggu perjalanan dari Boyolali-Sorong, itupun jika lancar kadang-kadang bisa lebih dari 15 hari.

Suasana Id kali ini, Nursono banyak dikelilingi pemuda Darul Arqam. Darinya, Nursono mulai sedikit demi sedikit mengarungi siluet perjuangan Muhammadiyah di kota Sorong. Tidak banyak memang orang Muhammadiyah kala itu, tapi ia merasa sedikitnya orang Muhammadiyah di sini tidak berbanding lurus dengan tingkat militansi yang dimiliki. Biasanya, menjadi minoritas adalah tentang semangat seseorang yang minimalis, tidak berani terlalu timbul tapi tidak juga hilang. Tapi orang Muhammadiyah di sini berbeda, minoritas justru memantik semangat dan loyalitas mereka untuk selalu berjuang di tanah orang. Ternyata Nursono tidak sendiri, ada banyak batu bara sang surya di tanah ini.

Baca juga:  Fatih Seferagic; Jadi Hafidz Karena ‘Paksaan’ Ibu
Foto di depan PDM Sorong

30 April 1990, Nursono pindah tinggal ke Kawasan Perumnas dekat STM tempat ia mengajar. Lagi-lagi kau ucap syukur untuk nasibmu yang begitu indah, meski tempat tinggalmu kali ini jauh dari masjid, tapi atas semua yang terjadi ini sungguh adalah takdir terbaik. Beberapa minggu kemudian Nursono berjalan mengunjungi daerah Trans yang letaknya cukup jauh dari perumahan. Ternyata, di sana ia banyak belajar. Perjuangannya dalam Islam bahkan kini dirasa belum di titik permulaan melainkan hanya sebatas asa. Jauh sebelum kedatangannya telah ada seorang da’i yang terjun di kota Sorong dan bertahan hingga kini. Da’i tersebut berhasil hapuskan sedikit demi sedikit budaya jual beli anak, istri bahkan agama yang sebelumnya tertancap mengakar. Tujuannya di bidang dakwah terbukti dari berbagai penolakan da’i tersebut atas sekian penawaran, dari mulai menjadi pegawai Negeri hingga bantuan material untuk pembangunan rumahnya yang terlampau sederhana. Bahkan bantuan material tersebut beliau mantap alihkan kepada pembangunan sekolah MTs yang tengah beliau rintis. Malu sekali Nursono mendengar kisah itu, ia merasa belum ada apa-apanya dan ia bertekad harus berjuang mulai saat itu juga.

Foto bersama da’I transmigrant

Perjuanganmu baru saja dimulai..

Awal Juni, Nursono sudah tidak lagi di Perumnas dan berpindah ke Panti Asuhan Putra al-Amin. Menjadi pengasuh dari 20 anak yatim dan miskin. Lucunya, Nursono semakin bahagia karena di Panti ia kini dapat shalat jama’ah dan senantiasa diselimuti suasana amal shalih. Kamar Nursono ia bangun sendiri dengan bantuan triplek karena alasan tidak ingin memakan hak anak yatim. Betapa banyak di luar sana pemangku jabatan dan penguasa yang bahkan peduli saja tidak pada apa yang menjadi haknya dan yang bukan, tamak. Jatah beras 10 kg dari 30 kg Nursono dan 25000 dari gaji akan ia berikan kepada anak-anak di Panti toh mereka kini adalah keluarga. Itu saja tetap belum bisa memberikan perubahan berarti pada mereka seperti diadakannya jatah sarapan, itu semua karena kebutuhan lain masih sangat banyak. Akhirnya Nursono pun membiasakan diri berjalan ke sekolah tanpa sarapan.

Belajar bersama anak panti

Panti Asuhan telah membuat kesibukan baru di hidup Nursono, penuh dengan makna. Mendampingi shalat jamaah lima kali dalam sehari, mengisi pengajian tafsir al-Quran setiap habis maghrib, latihan membaca abjad dan hijaiyyah selepas shubuh dan belajar bahasa Arab. Ternyata rasanya berbeda, berbuat untuk suatu hal yang investasinya jangka panjang. Keuntungan duniawi tidak dirasa tapi melihat bibir mungil anak-anak panti membuatmu yakin bahwa suatu saat mereka akan berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Nursono tidak peduli ia diberikan penghidupan atau tidak oleh pihak panti, sedari awal ia memang berniat membantu. Biaya makan, listrik dan air adalah tanggungannya pribadi dan tidak sama sekali tercampur dengan hak para mustahiq.

Malam semakin larut begitu pula geliat pikirmu yang tidak kunjung terlelap. Di sini kau bantu anak-anak orang lain lalu bagaimana dengan kedua darah dagingmu di tanah kelahiran? Yatim sosok ayah dan hanya terwakilkan melalui sepucuk surat di tiap bulan. Tentu Ma’in dan Aqid merindukanmu, bukan merindukan tepatnya tapi membayangkan bagaimana seharusnya sosok dan kehadiranmu ketika di pelupuk mata. Istrimu Artimu sungguh berjuang di dua sisi agar buah hatimu tidak membenci kerinduan dan keadaanmu. Satu hal yang pasti, kau berharap semoga dengan membantu anak-anak Panti di sini maka Allah tolong pula Ma’in dan Aqid di jauh sana.

Secercah Pengasah Batu Bara…

Selain di Panti, Nursono juga disibukkan dengan mengajar di sekolah. Materi ajarnya sangat bervariasi, dari yang linear dengan bidang keilmuannya seperti Matematika hingga yang jauh melompat seperti Keagamaan (Aqidah, Ibadah dan lain-lain). Total jam mengajar saat itu sebanyak 24 jam. Nyatanya itu sedikit, karena di Sorong tidak kekurangan guru mata pelajaran umum, justru mata pelajaran keagamaan yang masih rumpang, makanya kemudian Nursono sanggupi untuk mengampu mata pelajaran keagamaan, hitung-hitung mengulang ilmu agama yang pernah di dapat di Pondok Sobron.

11 Agustus 1990, Nursono secara resmi tergabung dalam BAKOPEM (Badan Koordinasi Pembantu Muballigh) di Sorong, acaranya rutin dua bulan sekali. Banyak hal yang dibahas dan membuat cakrawala wawasan Nursono kian hari semakin luas. Dari mulai membahas masalah yang dihadapi di tengah proses dakwah hingga pemantauan dampak masyarakat setelah dakwah selesai. Semuanya diketuai oleh muballigh dari Muhammadiyah dan beberapa da’I transmigran lain. Mereka semuanya sederhana, tidak ada yang berkecukupan. Ternyata temanmu banyak Nursono, apa karena dunia tidak berpihak sehingga orang-orang sejenis kalian dapat lebih peka terhadap akhirat? Entahlah, yang jelas kini telah tersedia wadah pemecah potensimu sehingga kini kamu mengerti bagaimana dan kapan harusnya berpijar sebagai batu bara.

Pijar itu Nursono buktikan dengan menjadi pengurus di bagian Pengembangan Dakwah Bersama rekan di BAKOPEM pada bulan Desember. Setidaknya lewat platform ini kau dapat benar-benar berjuang dalam Islam secara konkret. Meski masih saja sebenarnya hatimu mengganjal, apakah benar jalan yang kau ambil ini? berjuang di rantauan meninggalkan istri dan dua anak di sudut rumah dengan penuh keusangan. Tiap Langkah yang kau perbuat rasanya munafik, disanjung di sini tapi hina di sana, semoga Allah segera berikan titik terang. Aku yang pulang atau mereka yang kesini.

Waktu berlalu, rasa salahmu kian beradu….

Anak-anak Panti kian pintar, meski sekolah formalnya tak dapat memenuhi kebutuhan tapi Panti sedikit demi sedikit dapat menutupinya. Sekolah Dasar mereka di tahun 90 an seperti keadaanmu dulu ketika Sekolah Dasar di SDN Tanduk tahun 1974. Dan Sekolah Menengah Pertama mereka sama halnya seperti keadaanmu dulu di SMPN Ampel tahun 1977, begitu pula keadaan SMA mereka sama halnya dengan keadaanmu dulu ketika bersekolah di SMAN Boyolali di tahui 1981, bahkan bisa dibilang kau lebih baik. Time framenya seperti jauh tapi nyatanya Sorong memang jauh dari peradaban normal. Tiada rasa selain rasa syukur melihat dirimu saat ini jika sedang berhadapan dengan para anak-anak Sorong.

Tapi anak-anak mu di Jawa juga bertumbuh besar. Sakit, sehat, nakal, dan lucunya mereka luput dari segala perhatianmu. Arti istrimu sendirian Nursono, tidakkah kau ingin mengetahui bagaimana perasaannya karena telah berusaha kuat berdiri untukmu dan anak-anakmu? Nyatanya Arti justru meyakinkanmu untuk melanjutkan dakwah, jangan pernah merasa ragu dan menoleh ke belakang meski hanya sesekali katanya. Karena Arti dan anak anak mu tidak sedang menunggumu di belakang melainkan di depan.

Jadi pejabat bukan keinginanku…

Bulan Mei pertengahan tahun 1991 akhirnya Nursono bisa kembali ke Jawa. Sepulangnya dari sana, Nursono seperti mendapatkan curahan bahan bakar untuk semakin semangat berjuang. Tapi perjuangan ini untuk apa sesungguhnya wahai Nursono? Karena nyatanya pada bulan November kau hendak diangkat menjadi pengurus Muhammadiyah daerah Sorong di acara MUSDA (Musyawarah Daerah) Muhammadiyah justru kau menolaknya. Katamu, jadi pengurus atau pejabat itu berat tanggung jawabnya belum lagi jika ternyata berbuat kesalahan, hisab nanti di akhirat akan lebih mengerikan. Berdakwah tidak harus melalui jabatan menjadi pengurus, berdakwah ala grassroot itu sudah cukup. Bahkan hingga kini kau secara sengaja lebih sering mengunjungi daerah trans dibanding perkotaan, tujuannya agar orang-orang atau pengurus Muhammadiyah kota tidak mengenalmu dan ujungnya tidak akan mengajukan namamu menjadi pengurus di MUSDA mendatang.

Baca juga:  Kiyai Dahlan, Merdeka Belajar, dan Dilema Palsu Pendidikan Kita

Pendapatmu memang tidak selalu benar Nursono, nyatanya meski kau datang terlambat di MUSDA karena ada kepentingan di sekolah yang begitu mendesak, pak Bahar yang kau kenal sebagai penggerak intinya Muhammadiyah di Sorong memaksamu untuk tetap dicalonkan di antara 26 kandidat yang ada. Dari 26 kandidat, 13 suara terbanyak akan diambil menjadi pengurus Muhammadiyah. Takdir kembali menggiring nama Nursono menjadi bagian dari 13 nama terpilih bahkan mengalahkan pengurus-pengurus Muhammadiyah lain yang lebih senior. Sampai pada akhirnya nama Nursono menjadi pengurus Muhammadiyah Sorong bagian Majelis BPK (Badan Pendidikan Kader) tanpa harus menyerahkan formulir pendaftaran pengurus, Sungguh Allah Maha Tahu.

Di Sorong sedang giat-giatnya mengadakan berbagai macam training, oleh karenanya dengan mengajak IPM, Nursono mengadakan beberapa training selama 5 hari dari IPM untuk para anak-anak SLTA (jika sekarang namanya SMA), pesertanya cukup banyak yakni 40 orang. Meskipun menjadi dewan BPK tidak lalu membuat Nursono lupa akan kebutuhan Panti. Akhir tahun 1991, Nursono sengaja tidak pulang ke Jawa selain karena hari libur yang hanya sebentar, juga karena Panti membutuhkan tenaganya untuk membangun pagar di sekitar ladang yang akan mulai dimanfaatkan oleh anak-anak Panti.

Nursono bukannya berambisi membesarkan anak-anak Panti hingga melupakan kewajiban terhadap keluarga intinya. Baginya, mendidik anak-anak Panti ataupun buah hatinya sendiri bukan sedang berharap agar mereka menjadi seorang yang sukses ataupun berprestasi. Mengapa harus berharap pada sesuatu yang lemah padahal kita tahu bahwa manusia penuh kelemahan? Yang terpenting adalah menanamkan pola pikir yang benar pada anak-anak. Dengan begitu di umur dan situasi apapun nanti mereka dihadapkan, akan lahir tindakan-tindakan baik dari diri mereka. Kalaupun akhirnya mereka berprestasi maka itu adalah hal biasa dan sebuah kewajiban, kalaupun tidak maka mereka akan menghargai kemampuan diri mereka sendiri tanpa menyalahkan takdir atau siapapun.

Ternyata di sini tidak jauh lebih baik dari Jawa…

Lambat laun Nursono menyadari, keadaan Islam di Papua khususnya Sorong tidak dalam keadaan baik. Bukan karena kekurangan muballigh justru para warga asli yang memang tidak berminat dan para muballigh sendiri jika telah lama mukim, lama kelamaan hanya akan berorientasi pada dunia. Merasa dikucilkan padahal tidak, merasa tidak berguna padahal tidak itulah yang saat ini sering menghantui Nursono dan berkali-kali ia tumpahkan pada Arti istrinya saat berkirim layang. Apakah ia harus kembali ka Jawa atau bertahan di Papua dengan meneruskan tahapan pengabdian Ikatan Dinas yang sebentar lagi akan mengantarkannya pada tahapan PNS. Sementara kebanyakan teman-teman pendatang Nursono yang telah menjadi PNS justru kini malas kerja, yang terpenting gaji tetap turun, bahkan terkesan seperti memeras murid, yakni mengajar tidak serius tapi para siswa membayar dengan tarif yang sama.

Bergidik romamu melihat tingkah para teman sejawatmu, padahal kalau dipikir pikir keserakahan tidak kemudian membawa mereka pada tatanan kehidupan nan kaya raya. Bisa dibilang mereka biasa saja. Awalnya mungkin Nursono bisa menghindar dari pola pikir dan hidup layaknya Togog dalam kisah pewayangan, tapi siapa yang bisa jamin itu akan selamanya?. Mungkin tidak sampai mengikuti tapi mulai merasa biasa melihat keserakahan, apa yang seperti itu tidak sama halnya dengan melakukan?.

Suatu kali, Nursono diberikan kesempatan oleh pihak sekolah di mana ia mengajar Matematika untuk mengikuti acara Penataran Matematika Kejuruan di Jayapura. Kota besar, kiranya akan menjadi insight baru dalam perjalananmu kali ini, siapa tahu ruhmu bisa kembali lagi setelah sebelumnya melayang-layang di ambang titik zenit dan nadir kehidupan. Ternyata benar, Jayapura berada di satu titik yang sama dengan Sorong dalam hal keagamaan dan pendidikan. Problematika yang melanda kurang lebih serupa, transmigran tua muslim yang datang ke Jayapura kebanyakan hanya berniatan materi, demikian kawula muda yang sedang semangat-semangatnya mencari pencerahan justru dirangkul oleh LEMKARI (Lembaga Karyawan Islam) pada masa itu. alih-alih mendapatkan hidayah, justru kesesatan semakin menjadi-jadi. Mudah sekali mengkafirkan dan anti terhadap muslim yang berbeda golongan.

Di sini, suka berbeda dan berbangga

Awal-awal kedatangan Nursono ke Papua, fanatisme antar kelompok Islam belum terlalu kentara, Tapi makin kesini makin terkuak perlahan di permukaan. Kaum Minoritas Muhammadiyah membuat fanatisme anggotanya semakin defense, warga NU sebagai mayoritaspun tak kalah fanatik karena merasa berkuasa dengan mega koloni, klaim suci LEMKARI hanya menjadi milik pribadi berbai’at dan yang lain hanya musuh yang harus dikebiri. Pusing, begitu pikirmu, jika Islam di daerah pelosok saja begini, bagaimana yang lainnya? Katanya orang desa menjunjung tinggi persaudaraan, realitanya justru mencari peperangan. Tidak masalah berbeda mazhab fikih, yang penting bukan mazhab shillatu rahmah baina ikhwah (menjalin persaudaaran). Semuanya benar selama ada landasan al-Quran dan as-Sunnah, begitu kan?.

Prinsip Nursono saat itu, seorang muslim yang terpenting adalah memahami Islam dengan benar, kalaulah ia seorang Muhammadiyah maka ia harus memahami Islam dengan baik, begitupula apabila dia NU maka ia harus berpahamakan Islam dengan benar pula. Jangan asal ikut-ikutan mengelompok tapi malas cari ilmu. Suatu saat mimpi ini harus lahir, batinmu. Anak cucumu harus merasakan betapa indahnya persaudaraan dengan penuh kesadaran dan keilmuan.

1992, aku resmi menjadi PNS

Ragumu kian jadi, surat PNS sudah turun tahun ini. Nursono menjadi PNS bersama teman-teman yang ia takutkan dahulu akan keserakahannya. Pintamu kepada Allah hanya agar tetapkan selalu keteguhan hati untuk menjauh dari perkara-perkara buruk. Surat PNS turun itu tandanya Arti dan anak-anakmu harus diboyong segera ke Sorong. Tentu itu bukan keputusan mudah dan sekali jadi. Butuh persiapan yang menyeluruh untuk keluargamu dapat menetap di tanah tandus Papua. Tentunya menunggu hingga anak ketigamu lahir terlebih dahulu baru nanti berpikir bersama untuk pindahan. Itu kira-kira tahun depan yakni 1993.

1994, Allah telah memantabkanku…

Bersama istri dan 3 anak, Nursono menaiki kapal menuju Papua. Sesekali Nursono menatap raut wajah Arti, ia tahu betul Arti percaya padanya tapi tentu ia tetaplah seorang manusia yang memiliki segudang hal untuk dikhawatirkan, terutamanya mengenai bagaimana nanti anak-anak dibesarkan. Jangan khawatir Arti, Papua tidak segersang itu. Tentu kau ingat Jazirah Arab sesaat sebelum nabi Ibrahim dan istrinya tinggal di sana, tanaman begitu trauma merasakan hawanya, akar tumbuhan apapun tak mampu berdiri tegak di sana, bahkan air saja merasa asing dengan dataran yang satu itu. Tapi semenjak kedatangan nabi Ibrahim, keadaan berbalik 180 derajat kan? Itu karena keimanan nabi Ibrahim, sehingga dapat mengantarkannya pada takdir baik yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh makhluk Allah satupun. InsyaAllah, kita juga akan dibawa-Nya menuju takdir terbaik meski bukan seorang nabi dan rasul.

Nursono dan keluarga akan tinggal di Panti sampai nanti akhirnya ia mampu membawa keluarganya ke tempat yang lebih baik. Entah sampai kapan, tapi saat ini Panti adalah tempat yang kondusif untuk membesarkan anak-anak dan sembari itu Arti dan anak-anak juga harus beradaptasi perlahan untuk hidup di suasana yang jauh berbeda dari Jawa. Di sini tidak banyak fasilitas seperti di Jawa, istri dan anak-anakku. Di sini, hawanya tidak menentu anak-anakku, jadi sewaktu-waktu kalian bisa kepanasan dan sebentar kemudian kedinginan. Di sini, kualitas pendidikan tidak sestabil seperti di Jawa tapi Nursono yakin semua ini akan cepat terlalui dan berakhir menjadi sebuah keridhoan serta kemudahan.

Baca juga:  Mereka yang Tak Dimaafkan oleh Rasulullah

Saat itu tahun 1995, ketika Nursono dicalonkan menjadi Wakil Sekretaris MUI Sorong. Semakin teguh prinsipmu untuk membumikan Islam sebagai pendamai bagi pemeluknya. Selama seseorang itu diketahui memiliki akidah tauhid, berjamaah dalam beribadah (mahdhah dan ghoiru mahdhah) dan bertoleransi dalam hal-hal khilafiyyah maka seharusnya seorang muslim harus bersatu padu untuk sukses bersama dunia akhirat, jangan sampai ada saudara semuslim kita yang tercecer tidak masuk surga. Hal ini Nursono tunjukkan pula melalui cara ia memilihkan sekolah untuk anak-anaknya. Anak-anak Nursono disekolahkannya di MI ma’arif yang jelas-jelas berbasic NU dan cenderung terbelakang padahal saat itu telah banyak pula sekolah Muhammadiyah yang sudah lebih maju. Hanya satu alasan Nursono saat itu, jangan sampai ada sekolah Islam yang jelek, kalaulah saat itu sekolah Muhammadiyah sudah bagus maka saatnya kita sesama muslim membantu sekolah Islam lain tanpa harus melihat latar belakang organisasinya. Nursono bukan membantu sekolah NU dengan harta atau benda melainkan ia hibahkan masa depan anaknya untuk berjuang bersama. Hingga akhirnya jika kini terlacak MI Ma’arif di Sorong, maka akan muncul sebagai respresentasi sekolah favorit di Sorong, Papua.

Tidak berhenti sampai disitu, Nursono bahkan bergabung sebagai penasehaat dalam sebuah kelompok pengajian tafsir al-Quran bernama Yabsira. Di dalamnya beragam, ada yang salafi, NU, HTI dan Muhammadiyah. Tapi semuanya rukun dan bertujuan sama yakni ingin memahami agama dengan benar. Prinsip ini terlampau unik, karena nasab Nursono sendiri bahkan tidak perlu diragukan kemuhammadiyahannya, orang tua dan mertua Nursono adalah berpaham Muhammadiyah tapi itu bukan berarti circle amal shaleh dan muamalahnya hanya sampai di garis manhaj Tarjih. Dampak panjangnya terlihat ketika hari lebaran tiba, tempat tinggal Nursono sering disambangi beragam kau muslimin, itulah kiranya kenikmatan persatuan Islam.

Kami pergi dari Panti…

5 tahun setelah kelahiran anak perempuan Nursono yang keempat lahir, Nursono pindah dari Panti untuk tinggal di rumah sendiri. Ini bukan berarti Nursono telah menandai selesai pada perjuangannya di Panti. Ia akan tetap mengawal keberlangsungan sistem pendidikan di Panti tapi tidak seintens dulu ketika jadi pengasuh. Di tahun 2004 ini pula, sembari ia mengajar di SMKN 3 Sorong ia juga mulai mengajar di STKIP Muhammadiyah Sorong sebagai Dosen AIK (al-Islam dan Kemuhammadiyahan).

Sebelum menjadi dosen di STKIP, kala itu pendidikan tinggi di Sorong masih terombang ambing, membutuhkan nasehat sana-sini untuk dapat berdiri tegak sebagai Lembaga pendidikan resmi. Para pengurus kampus tidak ragu dan segera mendapuk Nursono menjadi BPH STKIP Muhammadiyah Sorong dan sampai akhirnya bersama dengan pejuang lainnya, kita mengenal kini nama Universitas Pendidikan Muhammadiyah atau UNIMUDA Sorong. Perubahan instansi Sekolah Tinggi menjadi sebuah Universitas tentu membutuhkan perjuangan yang berat, Nursono murni lakukan karena loyalitasnya pada Islam dan Muhammadiyah. Islam harus maju melalui sektor pendidikan, dengan begitu tidak ada pelajar muslim yang bodoh.

Hari berganti, Nursono masih menjadi batu bara bagi agama dan sekelilingnya…

Idelismemu dulu saat sebelum memboyong keluarga nyatanya bukan pencitraan. Meski sudah bersama mutiara kehidupanmu, berlimpah rezeki dari jabatan yang ada, dukungan istri yang selalu di dekatmu…nyatanya tidak mampu merubuhkan prinsip-prinsip kehidupan yang bagimu itu harga mati, yakni tawadhu’. Dari tawadhu’ sebuah syukur merekah, dari tawadhu’ sebuah keikhlasan berbuih, dari tawadhu’ sebuah kebahagiaan tumbuh dan dari tawadhu’ pulalah sebuah keberkahan mengucur deras dalam kehidupan seorang muslim.

Keberkahan ini akan dirasakan oleh saudara seagama dan semanusia. Tetangga rapat Nursono adalah non-Islam, namun siapa sangka tetangga itu merasa sangat nyaman dengan kedatangan Nursono dan keluarga. Melihat tindak tanduk keluarga Nursono membuatnya mempelajari lebih dalam halal haram seorang muslim. Tidak membuatnya beralih menjadi muallaf, tapi berkali-kali tetangga tersebut memberikan hadiah pada Nursono berupa makanan mentah atau makanan kemasan, alasannya karena ia tahu bahwa masakan yang dimasak dari bejana yang sama oleh seorang non-muslim tidaklah diperbolehkan untuk dikonsumsi karena khawatir masih menyisakan makanan-makanan haram milik non-muslim sebelumnya. Lalu, dari situ jika sedang natal Nursono mengucapkan selamat natal dan sebaliknya jika sedang idul fitri mereka mengucapkan selamat idul fitri pula? Tentunya tidak…keduanya amat rukun dengan cara memahami batasan-batasan teologis di antara mereka. Jika orang lain menggembar-nggemborkan toleransi tanpa pernah berdiri di sesungguhnya situasi, itu artinya dusta. Lakukan dulu baru akan paham makna toleransi dalam Islam.

Jangan membiasakan dirimu penuh fasilitas, karena hidup ini penuh dengan adaptasi…

Arti istrimu meminta rumah agar diberi kramik. Rumahmu saat ini hanya berbentuk alusan semen dan kemudian ditutupi ‘tiker bakso’ kalau orang bilang. Tiap melewatinya, tiker bergerak dan tidak jarang tertekuk dan tidak kembali ke bentuk semula. Profesimu dosen, PNS dan pendakwah..yakinkah dirimu tidak mampu mengkramik rumah Nursono? Bukan..bukannya tidak mampu, saat itu Nursono melihat bahwa masjid sebagai rumah Allah masih belum lebih baik dari rumahnya, maka sebagai seorang muslim kewajiban yang utama adalah merenovasi masjid terlebih dahulu.

Tahun berganti, alhamdulillah masjid kini telah direnovasi. Arti kembali menagihmu untuk mengkramik kediaman kalian. Jawab Nursono saat itu, rumah orang tua di Boyolali belum direnovasi, ada baiknya kita mengutamakan beliau-beliau dulu. Layaknya tahun berganti asa, baru ketika anak ragilmu menginjakkan kaki di bangku kuliah, akhirnya kediaman Nursono diberi kramik. Ini merupakan satu hal dari sekian hal tentang kehidupan pribadi Nursono yang selalu penuh kesederhanaan. Sofa di rumah rutin Nursono plitur dan cat ulang karena merasa masih fungsional, motor yang sudah susah di slah, kipas angin yang juga begitu. Bukan pelit, toh kebutuhan-kebutuhan primer keluarga Nursono selalu dicukupinya dengan maksimal.

Sampai pernah saat itu ada seorang jamaah Nursono menawarkan untuk umroh gratis dengan biaya ditanggung jamaah, dan sekali lagi Nursono menolaknya. Selain karena ia sudah haji, juga yang terpenting uang pembiayaan itu bisa dialihkan pada orang-orang yang tidak mampu namun berkeinginan untuk ke Makkah. Momen lainnya dikisahkan seorang guru di Sorong yang bersilaturahmi ke rumah Nursono, betapa kagetnya ia melihat sosok Nursono dengan segala nama besarnya hanya berumahkan sederhana, hal ini kemudian guru itu sampaikan pada anak Nursono nomer tiga, bahwa sepulangnya dari rumah Nursono, guru tersebut bergegas membagi-bagikan perabotan rumah yang sekiranya tidak dibutuhkan. Manfaatnya kini ia rasakan, hidup menjadi lebih nyaman dan tenang. Lagi-lagi idealismemu pengaruhi orang lain, Nursono..

2015-sekarang, Menjadi wakil ketua PWM Papua Barat…

Tidak mengikuti pencalonan apalagi pemilihan tapi masyarakat Muhammadiyah Papua Barat sepakat menobatkan Nursono menjadi wakil ketua PWM Papua Barat. Bertambah jabatan dan kekuasaan bertambah pula tanggung jawab di hadapan Allah. Keluargamu sendiri bahkan baru mengetahui jabatan ini di tahun 2020. Yang terpenting adalah melaksanakan tanggung jawab tanpa menganggap ini sebagai beban.

Nursono adalah batu bara milik semua, tidak hanya sang surya Muhammadiyah. Darinya representasi muslim kamil dimulai. Menjadi pemantik kebaikan harus dimulai dari versi terbaik dirinya. Kebaikan harus diusahakan jika tidak mau ia pergi angkuh untuk selamanya. Kebaikanmu akan diuji dengan segala tempaan kondisi kehidupan, jika dirimu merasa kuat sejatinya itu masih lemah, tapi kemudian Allah akan menguatkan. Tujuan-tujuan kebaikan bukan sebuah prestasi dalam jati diri muslim, itu semua tidak lain adalah tanggung jawab yang jika darinya menghasilkan jabatan serta kekuasaan maka jadikanlah kedua hal tersebut sebagai wasilah kemanusiaan bagi seluruh alam.

Foto ustadz Nursono dan keluarga

Aabidah Ummu Aziizah

Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah dan FAI UMY

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar