Santri Cendekia
Home » Sebelum Membahas Agnez, Mari Mundur Alon-Alon

Sebelum Membahas Agnez, Mari Mundur Alon-Alon

Jika menyebut nama Agnez Monica ada dua frasa yang selalu muncul menggelitik benak saya. Frasa pertama adalah pernikahan dini. Saya tidak akan membahas ini lebih jauh. Jika kau paham kaitan frasa itu dengan Agnez, berarti kita seusia. Sama-sama sudah tua. Saya ingin berbicara tentang frasa kedua, yakni go internaional. Mungkin anda juga pernah kurang kerjaan atau khilaf menonton infotainment jaman itu, ketika saban hari si Agnez  muncul di tv mengumbar mimpinya; ia mau menjadi artis Indonesia yang go internesyeinel.

Agnez adalah seorang pemimpi dan pekerja keras.  Entah bagaimana caranya dia berhasil juga naik panggung di manca negara. Meskipun harus diakui, dia kalah jauh dari kembaran Ilham Ibrahim, Rich Brian.  Namun tidak seperti Rich Brian yang setelah go international lalu dibangga-banggakan sampai diundang ke istana nasional. Agnes malah jadi musuh nasional setelah slip lidah di sebuah panggung internasional. Eh, apa benar salah lidah? Atau kita yang salah dengar?

Konon, Agnez dianggap tidak nasionalis. Mentang-mentang lagi di panggung mancanegara, dia jadi malu mengakui keindonesiaannya. Dia malah ngaku-ngaku punya darah Jepang atau Jerman. Belum lagi agamanya yang tidak dianut mayoritas warga NKRI (harga mati!) membuatnya merasa bukan bagian dari masyarakat  pengguna  nomor ponsel +62.  Sepotong videonya viral dan Agnez Mo pun dikerubungi media, seperti burung bangkai berpesta di atas sebuah hewan mati.  Rasa-rasanya, kita kurang-kurang nasionalis bila tidak ikutan marah, atau minimal jengkel. Belum lagi dimensi agamanya yang tampaknya juga memunculkan sejenis reaksi tidak senang tersendiri.

 Tentu saya tidak akan ikut-ikutan marah-marah di sini. Lagipula, bila melihat kalimat Agnez lebih lengkap, sesungguhnya tidak ada indikasi tak nasionalis sama sekali. Ia hanya merasa berbeda dari kebanyakan kita, rakyat biasa. Kalaupun mau jadi SJW, saya akan lebih keberatan pada tendensi elitisnya. Huh, dasar anak orang privilej! Lebih menarik untuk melihat gunung es besar yang puncaknya beruapa amukan massal pada Agnez Mo ini.  Sekali lagi, kita menyaksikan eksploitasi kemarahan dimainkan dengan apik oleh media-media dan para pencari share-like-viral. Kasus Agnez Mo, dan sebelumnya catur UAS, menunjukan bahwa memang iklim netizen +62 sudah dipenuhi kabut kecanduan ngamuk (outrage addiction).

Santricendek pernah menurunkan dua artikel terkait eksploitasi kemarahan dan outrage addiction. Intinya, sebagai efek dari begitu cepatnya informasi datang dan pergi. Kita jadi matirasa pada nuansa kebaruan (new) dari  berita (news) yang dalam media tradisional merupakan bumbu yang membaut sebuah informasi menggairahkan untuk dicerna. Maka saat ini, sensasi yang menggantikan gairah itu adalah sensasi menjadi pihak yang benar sedangkan seseorang yang lain ada di posisi moral yang lebih rendah. Kita menunggu seseorang viral karena kebodohan, kejahatan, ucapan kontroversial, dan hal-hal buruk lainnya agar kita bisa ber-outrage ria. Dalam kasus Agnez Mo, dia menjadi artis yang sok internasional dan dan malu mengakui keindonesiaannya; memancing amarah dari kita yang nasionalis.

Baca juga:  Obsesi Viral Bukan Ciri Khas Muhammadiyah!

Tentu bisa ditebak, fenomena ini tidak ada bagus-bagusnya bagi kita. Hal paling merugikan adalah kehilangan daya kritis dan ketenangan menalar. Tidak main-main, tensensi outrage addiction pernah begitu menjamur di dunia permedsosan orang Amrik di musim pemilu yang lalu. Hasilnya, banyak yang terpengaruh dan memilih Trump. Tapi jadi outrage junkie tidaklah buruk. Apalagi jika anda ingin menghidupi mereka yang memang mencari hidup dari mengeksploitasi kemarahan kita. Mereka yang meraup pundi-pundi dollar tiap situsnya dikunjungi. Juga bagi mereka yang tiba-tiba dapat poin sosial setelah statusnya ramai dibagikan.

Bagi umat Islam, saya kira inilah pentingnya memiliki fikih media sosial yang lebih komprehensif. Fikih media sosial tidaklah melulu soal saring sebelum sahring, atau tabayyun. Fikih Informasi yang digagas Majelis Tarjih Muhammadiyah membahas pula soal nilai komersial dari informasi. Saat ini, informasi adalah komiditas ekonomi, sehingga orang-orang akan mengeksploitasi sisi-sisi “tak rasional” kita agar info yang mereka jual bisa laku. Sisi-sisi ini adalah kecendrungan untuk empati, bersedih, mengutuk sambil ngamuk dan sejenisnya.

Namun ada satu prinsip bermedsos yang belum dicover oleh Fikih Inforamsi ala Muhammadiyah itu, padahal al-Qura’an sanagat menekankannya, yakni mewaspadai lingkaran pertemanan dan informasi yang tersirkulasi di dalam lingkaran pertemanan kita itu (QS. Al-Zukhruf: 67/QS. Al-Furqon: 28).  Berada di dalam lingkaran pertemanan di medsos, bisa mempengaruhi apa yang dipikirkan dan bagaimana kita memikirkannya. Ibu Jose Van Dijk kontributor jurnal Social Media + Society dari Univ of Amsterdam menyebutnya sebagai salah satu social media logic. Yakni programability dan popularity.  Jadi meski awalnya media sosial diprogram oleh manusia, tapi pada akhirnya sosial media bisa memprogram para penggunanya.

Baca juga:  Nilai al-Qur’an dan Logika Media Sosial

Maka sebelum membahas Agnez kemana-mana. Mari kita mundur pelan-pelan, melihat diri kita ini siapa. Seperti ucapan seorang filsuf agung tanah Jawa itu. Apa benar kita mau begitu outrage karena ucapan si Agnez tapi santai saja pada hal-hal yang lebih layak menyinggung rasa cinta tanah air kita? Bila memang nasionalisme yang menggerakan, bukannya logika popularity-programmability, bukannya karena latah saja, apa memang ucapan Agnez akan seterblow up begitu? Mengapa misalnya, kasus lucu semisal petani lokal ditangkapi sebab “bibit ilegal” perdebatannya biasa-biasa saja. Reaksi para nasionalis sejati kelihatannya tenang-tenang saja? Tapi, hei, ini hanya artikel sok kritis saja. Tidak apa-apa sebenarnya, ayo kita bersama maemarahi Agnez, atau memarahi mereka yang marah-marah pada Agnez. You do you!

Ah, ini jadi kemana-mana. Namanya juga hanya menunggangi tren. Santricendek kan juga pengen ikutan dapat turahan klik dari isu Anges ini.

Beberapa link terkait

https://www.elephantjournal.com/2016/07/outrage-junkies-getting-angry-is-our-new-addiction/
https://www.researchgate.net/publication/263566996_Understanding_Social_Media_Logic
https://www.republika.co.id/berita/q1lqay282/jernih-melihat-agnez-mo

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar