Santri Cendekia
Home » Seri Fallacy : Overthinking

Seri Fallacy : Overthinking

Seri Fallacy : Overthinking

Pada suatu hari, Sherlock Holmes membaca tulisan mengenai dirinya yang ditulis John Watson. Sherlock protes karena pada tulisan tersebut John mempermasalahkan ketidaktahuan Sherlock tentang bumi mengelilingi matahari.

“Begini.” Kata Sherlock menjelaskan. “Otak manusia pada awalnya sama seperti loteng kecil yang kosong, dan kau harus mengisinya dengan perabot yang sesuai dengan pekerjaanmu.

Orang bodoh mengambil semua informasi yang ditemuinya, sehingga pengetahuan yang mungkin berguna baginya terjepit di tengah-tengah atau tercampur dengan hal-hal lain. Orang bijak sebaliknya. Dengan hati-hati ia memilih apa yang dimasukkannya ke dalam loteng-otaknya. Ia tidak akan memasukkan apa pun kecuali peralatan yang akan membantunya dalam melakukan pekerjaannya, sebab peralatan ini saja sudah sangat banyak. Semuanya itu diatur rapih dalam loteng-otaknya sehingga ketika diperlukan, ia dapat dengan mudah menemukannya.

Keliru kalau kau pikir loteng-otak kita memiliki dinding-dingding yang bisa membesar. Untuk setiap pengetahuan yang kau masukkan, ada sesuatu yang sudah kau ketahui yang terpaksa kau lupakan. Oleh karena itu penting sekali untuk tidak membiarkan fakta yang tidak berguna menyingkirkan fakta yang berguna.”

Sherlock mencetuskan sebuah metode untuk menemukan kebenaran kasus. Ia berkata;

Once you eliminate the impossible, whatever remains, no matter how improbable, must be truth.

Warren Buffet, seorang investor tersukses dunia, sejalan dengan pemikiran Sherlock dan mempraktikkannya dalam bisnis. Ia memperkenalkan istilah Circle of Competence, yakni lingkaran kepakaran.

Sebagai investor yang sukses, Warren mengaku hanya mengetahui dan menguasai sedikit bidang dalam bisnis. Ia menjauh dari bidang-bidang yang ia tidak ketahui dan berfokus pada circle of competence-nya.

Warren memberi nasihat;

The most important thing in terms of your circle of competence is not how large the area of it is, but how well you’ve defined the perimeter.

Baca juga:  Seri Fallacy : Rivalry Bias

Warren sangat tahu batasan-batasan kepakaran yang ia miliki. Ia tahu apa yang ia tahu dan apa yang tidak ia tahu. Warren sukses menjadi investor dan tercatat sebagai orang ketiga terkaya di dunia tahun 2015 karena ia berfokus pada bidang yang ia kuasai.

Berbeda dengan Sherlock Holmes dan Warren Buffet, kebanyakkan orang memasukkan terlalu banyak informasi ke dalam otak sehingga mereka terlalu banyak berpikir (overthinking). Berpikir adalah sesuatu kegiatan yang bagus dan bermanfaat, tapi overthinking justru sebaliknya.

Kebiasaan overthinking sangat berbahaya. Overthinking is the art of creating problems that weren’t even there. Kebiasaan ini dapat membuat kita gelisah dan bingung. Overthinking menghasilkan kekhawatiran pada masalah yang belum tentu terjadi.

“Bagaimana kalau aku gagal ya?”

“Apa pilihanku sudah tepat?”

“Apa kata orang lain tentang ini?”

“Saya takut ide saya ini dikiritik lalu saya sakit hati”

Seringkali kita tidak memulai mengerjakan tugas karena terlalu banyak berpikir. Padahal tugas itu akan selesai dengan dikerjakan, bukan dengan hanya dipikirkan terus-terusan. Sama halnya dengan mengobati sakit kepala. Kita perlu meminum obatnya, bukan dengan hanya mengingat-ngingat merk obatnya, “Paramex. Konidin. Panadol”.

Langsung saja mulai karyamu karena inpirasi ada di dalam proses. Berpikir terlalu banyak dan menunggu inpirasi datang tidak akan mempercepat proses kerjamu, justru malah menghambatnya.

Dalam kegiatan menulis pun, kita jangan berpikir terlalu banyak. Langsung tulis saja apa yang ada dalam benak. Irfan Amalee Full, seorang kyai perdamaian dan penulis buku-buku ensiklopedia anak pernah berpesan; Jika kamu sedang menjadi penulis jangan merangkap menjadi editor. Kalau tidak begitu, kamu tidak akan pernah menyelesaikan tulisanmu. Jadilah editor ketika semua tulisanmu sudah selesai.

Baca juga:  Artificial Intellegence Berfatwa?

Overthinking biasa terjadi karena kita mengharapkan kesempurnaan pada karya kita. Ingatlah bahwa kesempurnaan itu hanya milik Allah. Kita tidak akan pernah menciptakan karya yang sempurna. Harapan menciptakan karya yang sempurna akan membebani diri kita sehingga kita takut salah, takut mengambil risiko, takut berekspresi yang pada akhirnya membuat proses pembuatan karya menuju titik buntu.

Kita tidak bisa menciptakan karya yang sempurna, tapi kita selalu bisa membuat kemajuan. Waiting for perfect is never as smart as making progress. Jadi, tidak apa-apa karya kita tidak sempurna, yang penting  kita bisa membuat progres dan meningkatkan kualitas karya kita selanjutnya.

Overthingking does not lead to insight. Pada kasus tertentu kita tak memerlukan pikiran, tapi memerlukan keberanian untuk mencoba dan memulai.

Ginan Aulia Rahman

Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia, dulu nyantren di Darul Arqam Muhammadiyah Garut dan Ma'had Addauly Damascus, Syria.

2 komentar

Tinggalkan komentar