Santri Cendekia
Home » Seri Fallacy : Past-Future Resemblance

Seri Fallacy : Past-Future Resemblance

Seri Fallacy

Past-Future Resemblance Fallacy

“Kamu kok berubah sih? ga seperti kamu yang dulu” Ucap seorang kekasih yang merasa kehilangan cinta dan perhatian pasangannya.

Beberapa waktu kemudian, pasangan itu berpisah. Salah seorang dari mereka merasa tak memiliki lagi alasan untuk terus bersama. Entah kenapa hubungan mereka terasa hambar bagi dirinya. Ia memilih untuk balik kanan, tanpa penghormatan, bubar barisan, jalan!

Orang yang ditinggalkan merasa sedih. Separuh jiwanya pergi. Dia mengemis cinta dengan bernyanyi lagu Adele

But don’t you remember?
Don’t you remember?
The reason you love me before
Baby please remember
Me once more

Baginya, dunia sudah hancur lebur. Kiamat. Jiwa raga ambruk oleh serangan pedihnya kehilangan. Hahhh…

Jangan salahkan yang pergi, tapi salahkan diri sendiri yang terlalu percaya diri. Dia lupa bahwa masa depan tidak selalu akan sama dengan masa lalu. Kekasih yang merana ditinggalkan belahan jiwanya itu telah terkena past-future resemblance fallacy, yakni sebuah kekeliruan berpikir bahwa masa lalu akan serupa dengan masa depan, tidak ada yang akan berubah.

Orang bisa saja berubah. Sangat naif jika kita berpikir orang akan terus sama seperti biasa sebagaimana kita mengenalinya. Tegar penyanyi jalanan saja sudah pernah bilang bahwa dia yang dulu bukanlah yang sekarang, dulu ditendang sekarang disayang. Bisa saja yang terjadi pada dirimu sebaliknya. Dulu disayang sekarang ditendang.

Kamu kurang ajar bila terus mencap seseorang sebagai berandal. Semua orang mungkin berubah menjadi lebih baik, termasuk kawanmu yang kebetulan saat dulu kamu kenal dia sebagai orang yang nakal. Tentu kamu ingat kisah Ummar ibn Khatab yang hendak membunuh Rasulullah tapi berbalik menjadi penjaga setia beliau. Manusia selalu dalam proses menjadi. Kamu tidak bisa menghakimi masa depan seseorang akan sama dengan masa lalunya.

Baca juga:  Prestise Bahasa Arab sebagai Bahasa Sekuler Profan

Keadaan juga mungkin berubah. Nah, pada titik ini orang yang meninggalkan kekasihnya setelah berjanji sehidup sesurga patut disalahkan jika alasannya pergi hanya karena merasa hambar dan bosan. Ingat kata Pidi Baiq, kalau kamu merasa bosan, mungkin dirimulah yang membosankan itu. Atau alasannya berpisah karena ada masalah. Jaman dulu hidup senang karena ada uang tapi ekonomi sedang sulit sekarang. Jaman dulu pasangannya tampak gagah dan keren tapi sekarang beruban. Keadaan jaman dulu tidak sama dengan keadaan jaman sekarang, kalau sudah berkomitmen ya beradaptasilah dengan keadaan itu dan ciptakan keindahan bersama seperti saat kalian jatuh cinta. Bukankah itu esensi dari saling cinta dan berjanji setia? Untuk terus saling membuat pasangannya jatuh cinta berkali-kali.

Terkait dengan jaman yang berubah, Ali ibn Abi Thalib memberikan pesan pada setiap orang tua dalam mendidik anak; “Didiklah anakmu sesuai dengan jamannya, karena mereka hidup bukan di jamanmu.”

Untuk dirimu yang masih sendiri, pesan Ali ibn Abi Thalib pun berguna. Jika kamu mau mendidik dirimu untuk bisa gahol dan keren, kamu harus berpikir futuris. Jangan berpikir sesuai trend. Trend itu selalu jadi masa lalu meski ia sedang ramai sekarang. Ibarat pecatur kamu harus sudah tahu beberapa langkah yang kamu akan ambil ke depan.

Beberapa tahun lalu menjadi mahasiswa teknik pertambangan adalah anugrah karena permintaan dan kebutuhan bahan bakar fosil atau bahan bakar mineral melambung setiap tahun. Tapi sekarang orang-orang mulai sadar dengan dampak buruk yang dihasilkan kedua bahan bakar tersebut dan berlomba-lomba mencari bahan bakar dan sumber energi terbarukan yang aman untuk lingkungan. Harga minyak dan batubara turun, banyak karyawan perusahan tambang yang terPHK.

Baca juga:  Seri Fallacy : Sunk Cost Fallacy

Kemampuan yang perlu kita miliki sekarang adalah kemampuan pemrograman karena ada kemungkinan semua karya akan berbentuk aplikasi di masa depan. Sekarang saja sudah banyak aplikasi komputer dan ponsel pintar untuk berbagai kebutuhan dari membaca buku sampai menonton film. Apapun profesi kita misalnya penulis, sastrawan, fotografer, musisi, kemampuan dasar pemograman akan sangat membantu mengemas karya kita di era digital.

Past-future resemblance fallacy sering terjadi juga di bidang olahraga. Para komentator bola sering memprediksi pertandingan sebuah tim dari riwayat pertemuan dua kesebelasan yang akan bertanding.

Misalnya, prediksi pertandingan final piala Euro antara Prancis melawan Portugal. Portugal tidak pernah menang melawan Prancis dalam lima pertandingan terakhir, mereka mengalami 4 kekalahan dan 1 kali seri. Berdasarkan riwayat tersebut Portugal diramalkan kalah oleh Prancis. Prediksi model ini tidak rasional karena riwayat pertandingan yang dijadikan acuan adalah masa lalu yang sudah tidak relevan dengan keadaan kedua tim sekarang. Kita tahu ternyata prediksi kemenangan Prancis terbukti salah. Portugal menang 1 – 0 melawan Prancis.

David Hume mengatakan bahwa pikiran kita secara alamiah selalu mengasosiasikan pengetahuan yang dulu dengan yang sekarang. Asosiasi yang kita lakukan berupa resemblance, contiguity, dan causal-effect pada setiap kejadian. Kemampuan asosiasi ini membuat kita bisa memahami rangkaian peristiwa. Tapi, jika kita tidak waspada, kecenderungan berpikir asosiasi ini akan mengelabui kita. Maka selalu ambil sikap skeptis jika ingin selamat dari jebakan psikologis mengira masa lalu akan sama dengan masa depan. Ingatlah, hidup seringkali tak bisa ditebak.

Ginan Aulia Rahman

Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia, dulu nyantren di Darul Arqam Muhammadiyah Garut dan Ma'had Addauly Damascus, Syria.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar