Santri Cendekia
Home » Seri Fallacy : Rivalry Bias

Seri Fallacy : Rivalry Bias

Seri Fallacy

Rivalry Bias

Apa rahasia perkembangan progresif dalam bisnis, kelompok, dan organisasi?

Dahulu kala warga sedunia tidak mengenal sama sekali Arab. Di antara kekuatan adidaya Persia dan Romawi, Arab hanyalah butiran pasir gurun yang tak punya reputasi.

Seorang pemuda dengan ajaran agama yang ia bawa mengubah keadaan sebuah bangsa yang kerjaannya mabuk, judi, zina, dan perang saudara menjadi masyarakat adidaya yang saling menghormati manusia tanpa memandang suku dan kelas sosial hanya dalam waktu 23 tahun, bahkan pengaruhnya terasa sampai sekarang dengan pengikut lebih dari 1,6 milyar orang. Pemuda itu adalah Muhammad, rasulullah shallallahu alaihi wa salam.

Muhammad sukses karena ia tak pernah takut tersaingi oleh orang-orang yang ia rekrut. Muhammad mengajak orang-orang terbaik untuk ikut bersamanya. Dan para pengikutnya memiliki sikap yang sama, tidak takut tersaingi oleh kawannya.

Misalnya Abu Bakar mengajak Utsman bin Affan untuk masuk Islam. Padahal Utsman adalah seorang pengusaha hebat, sangat kaya, dan amat dicintai oleh kaumnya. Apakah Abu Bakar tidak takut posisi penting di sisi seorang utusan Allah diambil oleh Utsman, orang yang ia rekrut sendiri? Ya, Abu Bakar tidak takut. Bahkan ia mengajak orang-orang hebat lainnya.

Sering kita berpikir bahwa hidup adalah kompetisi. Kita harus jadi pemenang, artinya kita harus menjadi orang yang lebih superior dari orang lain. Cara berpikir ini membuat kita enggan untuk menolong orang lain yang kita anggap lebih hebat dan pintar dari kita. Kita jadi enggan mengajak mereka bergabung karena takut posisi kita terancam.

Di kampus misalnya, sering terjadi politik yang tidak sehat. Profesor menjegal karir dosen muda cemerlang karena takut reputasinya goyah. Caranya tentu dengan halus. Bisa dengan bersikap terlalu kritis terhadap karya si dosen, pemberian persyaratan yang berat untuk naik pangkat, pemberian jam mengajar yang berlebihan, atau monopoli proyek riset. Selintas itu akan membuat posisinya aman, padahal dalam jangka panjang bisa merugikan dirinya dan universitas.

Baca juga:  Benarkah Aisyah R.A Mengingkari Mi'raj?

Newton beruntung karena profesornya, Isaac Barrow, bukan profesor seperti yang tertulis di atas. Ketika Isaac Barrow merasa karir akademisnya menuju titik buntu, ia sering mengobrol dengan Newton mengenai penelitian-penelitiannya. Barrow terkesan dan melihat potensi luar biasa di diri Newton. Akhirnya Barrow menyerahkan posisi profesornya pada Newton dan ia menjadi murid Newton. Sebuah sikap yang bijaksana, bukan?

Guy Kawasaki, seorang venture capitalist dan penasehat entrepreneur memiliki rumusan yang keren tentang bagaimana merekrut orang. Katanya, seorang pemain level A akan merekrut orang yang lebih hebat dari dirinya ke dalam tim. Pemain Level B akan merekrut pemain Level C, yakni orang yang lebih jelek dari dirinya supaya dia merasa superior di banding bawahannya. Cara merekrut pemain Level B ini sangat berbahaya karena pada akhirnya sebuah perusahaan akan merekrut pemain Level Z yang sama sekali tidak becus bekerja. Tentu kumpulan pekerja-pekerja jelek akan menghasilkan kualitas perusahaan dan bisnis yang jelek. Lihatlah betapa keegoisan dalam jangka panjang bisa merusak sebuah bisnis yang dibangun dengan susah payah!

Mungkin inilah sebab mengapa sebuah negara berjalan dengan kurang baik, yaitu sistem perekrutan berdasarkan pertandingan politik yang saling menjatuhkan dan menjegal. Seandainya para pengurus negara dipilih berdasarkan kemampuan dan tidak ada ketakutan tersaingi oleh partner kerjanya, pastilah orang-orang kompeten dan bersih yang akan memimpin kita.

Adam Smith, bapak ilmu ekonomi klasik mengatakan; masyarakat sejahtera (titik equiblirium ekonomi) bisa tercapai apabila orang-orang di dalamnya berusaha melakukan terbaik untuk dirinya. Harga barang dan jasa jadi murah karena orang berusaha produktif, efektif, dan seefisien mungkin. Pemikiran Adam Smith betul dan masuk akal, tapi ketika dipraktikkan dalam kerja kelompok bisa menimbulkan rivalry bias yang sudah kita bahas dan memungkinkan adanya monopoli pasar.

Baca juga:  Fikih al-Maun; Membela Mustad’afin, Mengusir Hantu PKI

John Nash memberikan revisi yang keren. Menurutnya, masyarakat sejahtera bisa tercapai apabila orang-orang di dalamnya berusaha melakukan terbaik untuk dirinya dan juga untuk kelompoknya. Dengan cara ini orang tidak masalah terjegal oleh orang yang memang lebih baik dirinya, asalkan semua orang bisa diuntungkan.

Rivarly bias juga harus kita hindari dalam berteman. Jangan pernah merasa sedih karena teman kita lebih sukses. Jangan pernah merasa dongkol apabila teman kita selangkah di depan. Justru kita harus mendoakan dan mendukung dia agar lebih hebat dan sukses. Karena jika teman kita sukses, bukankah menyenangkan ketika ditanya “kamu temannya si fulan ya? Dia orang hebat!” dan kita akan ikut dianggap hebat padahal

“da aku mah apa atuh”

Ginan Aulia Rahman

Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia, dulu nyantren di Darul Arqam Muhammadiyah Garut dan Ma'had Addauly Damascus, Syria.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar